Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demo Omnibus Law: Kok Sampai Segitunya, sih?

10 Oktober 2020   12:04 Diperbarui: 10 Oktober 2020   12:14 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Halte MRT Bundaran HI yang terbakar di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020) Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Yang terpenting adalah pemantik. Yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepentingan adalah memanfaatkan momentum. Ketika momentum itu tiba, dengan cerdik mereka menyusup dan menunggangi para demonstran untuk memuluskan tujuan politik mereka dengan cara membuat kericuhan dan menggoyang stabilitas politik sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.

Terus terang saya tidak ingin memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah ataupun oposisi yang selalu kontra dengan pemerintah. Apalagi saya tidak begitu mengerti dan betul-betul memahami substansi tentang RUU Cipta Kerja yang membuat heboh masyarakat akhir-akhir ini.

Saya bukan pengamat politik, dan saya juga tidak mengerti tentang hukum. Jadi, saya hanya ingin berbicara sebagai individu yang mempunyai keresahan tersendiri, karena hampir setiap hari disuguhi berita tentang perkembangan sosial politik yang terjadi di negeri ini. 

Jujur saja, hingga hari ini saya belum membaca keseluruhan isi dokumen Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang berisikan 905 halaman itu. Jadi saya lebih memilih untuk menahan diri agar tidak cepat-cepat mengeluarkan kritik, penolakan, cemoohan, ataupun hujatan, sama seperti yang dilakukan oleh mayoritas orang di media sosial.

Karena untuk apa teriak-teriak dengan lantang, sok-sokan mengkritik dengan keras, tapi kita tidak mengerti sama sekali tentang subtansi yang kita persoalkan itu?

Ketika niat meluruskan, malah dibilang pro pemerintah. Ketika memberikan keterangan bahwa apa yang beredar di media sosial itu belum tentu benar, malah dibilang tidak mendukung rakyat. Terus saya harus bagaimana?

Percuma saja, orang yang bermasalah secara psikis tidak akan bisa melihat persoalan secara jernih dan objektif. Mereka hanya mengambil kesimpulan berdasarkan emosi, dan apa yang diyakini berdasarkan validitas kelompok.

Sehingga tidak heran, sesuatu yang sebenarnya palsu, rekayasa, atau hoax pun bisa mereka akui sebagai sebuah kebenaran. Sulit sekali untuk mengajak mereka sejenak menggeser sudut pandangnya agar bisa sedikit meluas. Sehingga bisa berdiri objektif dan melihat realitas yang sesungguhnya.

Fenomena itu lazim disebut sebagai, "Bandwagon Effect". Sederhananya bisa diartikan sebagai fenomena ikut-ikutan, karena melihat banyak orang juga melakukannya. Maka ketika banyak orang melakukan hal yang sama, orang yang terkena Bandwagon Effect akan mengkonfirmasi bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kebenaran. Karena mayoritas orang melakukannya, mereka jadi meyakini berada di pihak yang benar dan apa yang dilakukannya itu merupakan tindakan yang tepat.

Orang yang kritis dan objektif tidak akan mudah terkena Bandwagon Effect, karena orang-orang yang rentan terserang "wabah" ini adalah mereka yang cenderung hanya melihat dinamika politik dari kulit luarnya saja. 

Padahal politik tak sesederhana apa yang selama ini kita pikir. Politik akan selalu meninggalkan tanda tanya sebelum akhirnya kita sampai pada suatu kesimpulan. Kita tidak bisa melihat suatu persoalan hanya dari sudut pandang oposisi saja, atau dari sudut pandang pemerintah saja. Pintar-pintarlah menempatkan diri jika ingin melihat realitas yang sesungguhnya.

Jadi saya tidak ingin ikut memperdebatkan apakah UU Cipta kerja itu menguntungkan pengusaha atau tidak, merugikan buruh atau tidak, semua pasti ada plus minusnya. 

Saya hanya ingin menyoroti peristiwa unjuk rasa kemarin, di beberapa daerah yang ternyata berujung pada aksi pengrusakan dan vandalisme. Mengapa hal ini seakan menjadi budaya kita? Menyuarakan pendapat tidak harus beringas dan bertindak radikal seperti itu juga dong!

Kenapa harus sampai menyerang dan melempari kantor-kantor pemerintah? Mengapa harus sampai merusak kendaraan aparat? Mengapa harus sampai menghancurkan fasilitas-fasilitas umum?

Demo kok sampai harus memblokade jalan? Demo kok sampai harus menghancurkan kendaraan polisi? Demo kok sampai harus membakar halte? Demo kok sampai segitunya sih?

(Sumber: tangkapan layar dari situs news.detik.com)
(Sumber: tangkapan layar dari situs news.detik.com)
Ketika ditanya apa maksud dan tujuan untuk berdemo, mereka menggeleng kepala. Menjawab tidak tahu, hanya diajak, hanya ingin berdemo. Lalu kalau tidak tahu mengapa mesti ikut membuat suasana semakin kacau?

Dari sini kita bisa membedakan, mana yang benar-benar ingin berdemo, dan mana yang sekedar ingin merusuh. Kita harus membedakan antara pendemo dan perusuh. Karena tujuan mereka untuk terjun ke lapangan tentu berbeda. 

Karena ada perusuh yang menyusup, pendemo yang tadinya berunjuk rasa dengan damai pun akhirnya menjadi ikut-ikutan terprovokasi untuk membuat kericuhan. Pada saat sedang dalam kerumunan seperti itu, mereka menjadi tidak sadarkan diri. Mereka tidak lagi menjadi diri mereka sendiri. Aksinya telah berubah menjadi aksi kolektif yang telah dipengaruhi oleh oknum-oknum yang sengaja ingin membuat kekacauan. 

Apakah aksi demo kemarin ada yang menunggangi? 

Saya pikir naif sekali apabila kita mengatakan aksi kemarin hanyalah murni aksi hati nurani. Ya, saya juga melihat awalnya banyak yang melakukan demo karena sadar dengan hak-hak mereka terutama buruh. Akan tetapi kita juga tidak bisa menampik, ada sekelompok yang memang hanya ingin membuat kekacauan dan kerusuhan. 

Seperti para anak pelajar yang juga kini jadi lebih sering turun kejalan, ketimbang fokus untuk sekolah. Mereka tentu masih sangat labil dan cenderung mudah sekali digerakkan. Polanya hampir sama seperti demo yang sudah-sudah. Anak-anak pelajar yang ikut berdemo tidak tahu apa-apa dan hanya sekedar ikut-ikutan, ada juga yang tergiur dengan iming-iming bayaran.

(Sumber: tangkapan layar dari situs metro.tempo.co)
(Sumber: tangkapan layar dari situs metro.tempo.co)
Setidaknya dugaan saya selaras dengan hasil penyidikan dari kepolisian, bahwa aksi demo kemarin disinyalir ada yang menunggangi. Ada yang memanfa'atkan momentum untuk kepentingan politik. 

Tapi terus terang saja, saya sangat menyayangkan di tengah situasi pandemi seperti ini, mengapa protes dan penolakan itu harus dilakukan dengan cara berdemo? Padahal negara sudah menyiapkan prosedur yang sesuai dengan konstitusi. 

Kita punya banyak mahasiswa dan para pakar hukum yang berintelektual tinggi, mengapa tidak langasung mengajukan gugatan uji materi saja ke Mahkamah Konstitusi? Di situ bisa bebas berperang intelektual sesuka hati. Tunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang cerdas tanpa harus selalu menggunakan otot pada setiap aksi.

Untuk apa ada kebijakan PSBB, protokol kesehatan dll, kalau ujung-ujungnya harus berkerumun juga? Sia-sialah semua itu. 

Bangsa kita memang kekurangan edukasi dan minim literasi, sehingga masih mudah dipengaruhi dan diprovokasi. Rentan di adu domba oleh bangsa sendiri. 

Katanya komunis telah bangkit, komunis berbahaya dan ideologi yang terlarang di negeri ini. Tapi nyatanya kemarin mereka berdemo tanpa sadar sedang memperjuangkan ideologi komunisme itu sendiri. Baru sadar kali ya, kalau ekonomi kapitalis itu cenderung menyengsarakan rakyat bawah? Hehehe...

Ya, jadi itu tanggapan sederhana saya terkait disahkannya RUU Cipta Kerja ini. Semua pasti ada plus minusnya. Saya hanya menyoroti aksi demonstrasi-nya yang berujung ricuh saja sih. Bagaimanapun, mereka yang telah membuat onar dan menghancurkan fasilitas-fasilitas umum harus ditindak tegas. 

Ujung-ujungnya negara juga yang menanggung biaya perbaikan, keluar lagi uang yang tidak sedikit kan? Padahal negara harus menghemat anggaran ditengah situasi ekonomi seperti ini. 

Terakhir, untuk adik-adik pelajar yang aku sayangi dan cintai, jangan lupa banyak belajar, banyak membaca buku, membaca berita dan belajar politik lah kalau mau. agar kelak bisa menjadi anak-anak sukses dan membanggakan kedua orangtua... :)

Salam Literasi

Reynal Prasetya

Referensi: [1] ; [2] ; [3] ; [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun