Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Positif Vs Berpikir Negatif di Masa Pandemi

21 April 2020   12:27 Diperbarui: 21 April 2020   12:39 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yin-yang Simbol Keseimbangan (Sumber : pixabay.com)

Sebagai manusia, kita pasti punya cara berbeda dalam merespon sesuatu. Ada yang lebih cenderung menampakkan diri sebagai orang yang berpikir positif, ada juga yang menampakkan diri sebagai orang yang berpikir negatif.

Nah, menurut anda, didunia ini, kita lebih baik banyak berpikir positif atau berpikir negatif?

Sebagian orang, bahkan mayoritas, pasti memilih ingin selalu berpikir secara positif. Namun pertanyaannya, berpikir positif dalam hal apa dulu? dalam situasi yang bagaimana dulu?

Berpikir positif memang selalu mengarahkan kita pada hal-hal baik, dimana kita tidak terlalu memikirkan dampak, resiko, keamanan, atau keselamatan dari apa yang kita pikirkan. Karena kita punya prasangka baik.

Sebaliknya hasil dari berpikir negatif cenderung mengarahkan kita pada hal-hal yang tidak baik, dimana kita terlalu memikirkan dampak, resiko, keamanan, atau keselamatan dari apa yang kita pikirkan. Karena kita punya prasangka yang tidak baik.

Sebenarnya tidak ada yang lebih baik dari berpikir positif atau berpikir negatif. Karena keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kita hanya perlu menempatkan keduanya pada konteks dan situasi yang tepat.

Maksudnya begini, kelihatannya akan konyol sekali jika dimasa-masa pandemi ini kita terlalu berpikir positif. 

Karena terlalu berpikir positif, akhirnya kita menjadi abai, menganggap terlalu remeh, tidak melakukan antisipasi, tidak mengikuti anjuran pemerintah yang justru akan sangat membahayakan diri sendiri.

Akibat terlalu berpikir positif, kita melihat banyak orang yang menyepelekan pandemi ini.

Dalil yang biasanya sering di dengungkan adalah, "Ya positif aja. Tenang, kita mah enggak bakal kena Corona, gak perlu panik berlebihan lah!".

Di permukaan luar, tampak cara berpikir seperti itu memang positif, tapi di permukaan yang lebih dalam, pemikiran seperti itu justru malah bisa menjerumuskan diri sendiri.

Bahkan orang-orang yang terlalu berpikir positif biasanya, enggan, menolak, atau merasa risih jika disuguhi data-data tentang covid-19. 

Mereka beralasan, lebih baik mengurangi, bahkan tidak mendengar dan membaca beritanya sama sekali, daripada sampai pikiran mereka terpengaruh dan akhirnya jadi tidak berpikir positif lagi.

Di lain sisi, ada sebagian orang yang berpikir terlalu negatif tentang pandemi ini. 

Mereka terlalu menanggapinya dengan serius, waspada terlalu berlebihan, takut dan panik secara berlebihan.

Mereka justru terlalu asyik tenggelam dalam kecemasan, terus menerus mengamati berita tentang covid-19, lalu menebarkan ketakutannya sendiri kepada orang lain.

Memang berpikir sedikit negatif adakalanya membantu kita untuk lebih waspada, menjaga diri, melakukan antisipasi, namun jika dilakukan secara berlebihan jelas bisa merugikan diri sendiri.

Saya sejenak ingin mengajak anda untuk merenung, menyelami akar dari ketakutan yang ada didalam diri anda.

Kita semua pasti memiliki ketakutan didalam hidup ini, ada yang sudah kita sadari, ada juga yang seringkali tidak kita sadari keberadaanya.

Saya akan mulai dengan pertanyaan sederhana namun cukup menohok, jika anda takut covid-19, sebenarnya anda itu takut karena keberadaan covid-19, atau karena sebenarnya anda takut mati?.

Anda takut karena ada covid-19 atau jangan-jangan covid-19 hanyalah sebagai pemicu ketakutan yang sebenarnya sudah ada didalam diri anda?.

Atau bisa jadi ada penyebab lain mengapa anda takut covid-19, sehingga anda bisa-bisanya terlalu berpikir negatif dan cemas secara berlebihan.

Rasa takut sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena itulah yang sebenarnya mendorong manusia bisa survive hingga sampai sekarang.

Namun bilamana ketika anda menonton berita, atau disuguhi data tentang covid-19, lalu tiba-tiba anda langsung merinding ketakutan setengah mati, paranoid berlebihan, berarti memang benar, ketakutan itu sebenarnya sudah ada didalam, covid-19 hanyalah sebagai trigger ketakutan anda.

Karena ketika media terus menerus memberitakan tentang covid-19, membandingkan angka kematian dari satu negara dengan negara lainnya, bisa jadi itu hanya merupakan data, tidak lebih dari sekedar angka statistik yang diperlukan untuk keperluan medis. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti anda.

Pasalnya, suka ada yang berseloroh, "Ngapain sih posting data covid-19 terus? Bikin takut aja!".

Padahal niat kita tidak lebih sekedar untuk menyodorkan data. Untuk mengingatkan, untuk mengedukasi supaya kita bisa lebih waspada dan melakukan antisipasi.

Dalam khazanah spiritual, takut mati merupakan sebuah pertanda bahwa kita terlalu melekat kepada dunia, ini merupakan sebuah pelajaran bahwasanya tidak ada yang abadi didunia ini.

Namun bukan berarti, dengan adanya pandemi ini, kita jadi abai dan tidak menjaga diri, meskipun hidup dan mati selalu ada di tangan-Nya, kita sebagai manusia wajib berusaha, melakukan yang terbaik, tetap waspada dan melakukan antisipasi.

Kita perlu tahu kapan harus berpikir positif, kapan harus berpikir negatif. Kita perlu menempatkan keduanya pada konteks dan situasi yang tepat secara bijak.

Kita juga perlu lebih jauh menyelami, apa sih ketakutan-ketakutan yang selama ini sudah terlalu lama bersemayam didalam diri? Supaya kita dapat menyadari dimana letak kemelakatan kita selama ini.

Karena kita tidak bisa melekat pada hal apapun, kita tidak pernah memiliki apa-apa, kita hanya dititipi, termasuk jiwa raga ini, suatu saat pasti akan kembali diambil oleh yang Maha Kuasa. 

Kadangkala kita perlu sejenak melampaui positif dan negatif, berdiri tepat berada diatasnya, lalu menggunakan kedua kekuatan itu dengan bijak.

Sejatinya hidup ini penuh dengan paradoks, kita perlu memiliki fleksibilitas dan elastisitas dalam menjalani hidup.

Karena jika sampai melenceng terlalu ke kiri, atau terlalu ke kanan, akibatnya kita bisa menjadi oleng dan tidak mampu melihat realitas yang sesungguhnya.

Tetaplah seimbang, tetaplah berada ditengah.***

Sahabat Anda

Reynal Prasetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun