"Malam ini makan apa ya?" Pertanyaan di atas muncul di benak saya ketika sedang menunggu kakak saya di lorong gereja. Tidak banyak warung makanan yang buka saat-saat ini. Fast food? Mungkin nantilah kalau tiang sudah cukup besar dan bisa bertahan. hehe. Lantas saya pulang ke rumah dengan sebelumnya singgah di sebuah warung pecel lele. Namanya saja warung pecel lele, tapi cuma menjual ayam goreng dan tahu tempe. Cukup membingungkan, tetapi tidak apalah. hehe.Sepotong ayam goreng dan dua tempe goreng dibungkus untuk saya. "Pakai nasi ,sep?" tanya bapaknya. Sudah ada rencana saya bahwa nanti di rumah saya masak nasi saja. Kan ada Rice Cooker, praktis. Di rumah kontrakan, sebelum beres-beres baju, tas dan cuci muka, seperti rencana maka saya masak nasi dulu. Sembari menunggu nasinya matang, saya cuci muka. Settt... selesai cuci muka, mendadak pandangan hitam dan tidak bisa melihat apa-apa. Saya kira saya buta mendadak, tidak, ternyata mati lampu. hehe. Setelah diselidiki ternyata listriknya 'loncat'. Maaf, saya kurang tahu istilah teknisnya apa. :p Jiah, mana nasinya belum matang pula. Apa ini ada hubungannya dengan lampu kamar yang saya ganti jadi 24W ya? haha. Terpikir sejenak bahwa sebaiknya saya membeli nasi saja di luar. Namun, melihat beras yang sudah direndam air dan airnya juga sudah hangat, saya tidak tega membiarkan beras itu didiamkan sampai besok pagi. Lantas, saya memutuskan memasaknya secara manual. Dari yang tadi namanya praktis, kembali ke zaman panji manusia milenium: manual. hehe. Dengan bermodalkan kompor minyak (maap pak JK, saya belum ikut ambil bagian dalam program konversi minyak ke gas. hehe) dan sebuah tempat kukusan, saya memasaknya. Dulu waktu masih duduk di bangku SD sampai bangku SMA, saya sering diajarin masak manual seperti ini. Jadi, cukup berpengalaman lah. haha. Pengalaman yang tidak diasah ternyata menurunkan kinerja. :p Sedikit banyak, ada yang dilupakan. Contohnya, harus sering diaduk dan apinya jangan kegedean. Akibatnya, permukaan kukusannya tertempel banyak nasi yang matang. Wah, susah nih. Kebanyakan praktisan sih. hehe. Pada akhirnya, nasi tersebut matang dengan tekstur yang oke dan kelembapan yang di bawah batas abnormal. Oiya, jangan lupa kadar airnya juga oke. hehe. Melihat nasi yang telah matang, merasa sangat senang dan banggalah karena yang masak saya sendiri dan bukan si RiceCooker :p Panjang lebar cerita begini pada akhirnya saya jadi belajar sesuatu dari kompor dan masak nasi ini. Semakin berkembangnya teknologi, banyak proses yang disulap menjadi praktis dan instan. Efeknya memang baik bagi manusia, segala hal dapat dilakukan dengan mudah. Namun, setiap hal punya efek positif dan negatif. Efek negatifnya jatuh pada semakin tipisnya rasa penghargaan kita terhadap sebuah hasil. Kemudahan membuat kita terkadang kurang menghargai sesuatu. Contoh sehari-hari, yah nasi tadi. Mungkin jika membayangkan petani, cukup jauh tetapi ketika kita memasaknya saja repot, tentunya rasa menghargai itu jadi lebih tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya mungkin kita perlu sesekali berbalik pada proses yang tidak praktis dan mencobanya dengan cara lama. Sederhananya, kita mengingatkan diri kita bahwa perlunya rasa menghargai itu. Menurut saya, inilah salah satu alasan adanya acara "Ji*ka a*ku Men*jadi". Yah, mirip-mirip dan berhubungan lah. Kita manusia memang terkadang lupa daratan, tetapi mungkin dari hal-hal kecil sehari-hari kita bisa lagi diingatkan untuk kembali ke daratan. Selalu ada ruang kok untuk kita bersyukur. :) Jangan karena nenek moyang kita seorang pelaut, lantas kita senangnya lautan dan lupa akan daratan. Eh, tidak nyambung ya. Maaf, di luar topik. :p Missa solemnis... :) tulisan aslinya:Â http://j.mp/r2Brlb pic: hendrysetiady.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H