Mohon tunggu...
Reynaldi Pratama
Reynaldi Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pribadi yang suka menulis, membaca, dan berdiskusi. Senang mempelajari hal baru di berbagai bidang seperti politik, hukum, sejarah, mitologi, dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Naturalisasi Vs Local Pride: Menguji Kualitas Sepak Bola Indonesia

6 Mei 2024   00:00 Diperbarui: 6 Mei 2024   00:57 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir - akhir ini, euforia sepakbola begitu menggema di seluruh daerah di Indonesia. Setelah 33 tahun, Indonesia berhasil mencetak sejarah masuk ke dalam semifinal Piala AFC Cup. Salah satu ajang sepakbola terbesar dan bergengsi di Asia di bawah naungan FIFA. Masyarakat bersorak gembira setelah timnas Indonesia U-23 berhasil memaksa pulang Korea Selatan lewat drama adu penalti yang mendebarkan. Dunia seakan dikejutkan oleh pencapaian Indonesia ini, pasalnya Korea Selatan bukanlah lawan sembarangan.  

Tim berjuluk Taeguk Warriors itu merupakan negara dengan peringkat ke-23 di FIFA, artinya kekuatan tim ini tidak bisa dipandang remeh. Korea Selatan juga mencatat rekor menjadi juara dalam 6 laga berturut - turut, yakni di West Asian Footbal Federation Cup (WAFF) U-23 dan Asian Federation Confederation (AFC) Cup U-23. Tim ini juga pernah mengikuti piala dunia tahun 2018 dan berhasil mengalahkan Jerman, sang juara piala dunia bertahan dengan skor 2-0.

Sebelumnya, Indonesia cukup membuat kejutan juga setelah berhasil mengalahkan Australia dengan skor 1-0. Hal tersebut mengundang banyak perhatian pengamat sepakbola nasional dan internasional melihat perkembangan timnas Indonesia yang dinilai cukup pesat. Antusiasme dan ekspektasi masyarakat pun terhadap timnas semakin tinggi untuk menjadi juara. Namun, Indonesia harus menerima kenyataan berada di peringkat 4, setelah kalah dari Uzbekistan dengan skor 2-0 dan Irak dengan skor 2-1.

Kesempatan untuk melaju ke Paris Olympics masih ada lewat pertandingan play-off pada tanggal 9 Maret nanti melawan Guinea, negara asal Afrika Barat untuk memperebutkan tiket ajang bergengsi tersebut. 

Namun dibalik euforia tersebut, perdebatan tentang kualitas pemain naturalisasi dengan pemain lokal semakin menguat dengan dalih pemain lokal mulai dilupakan. Apakah pemain naturalisasi dapat membantu prestasi timnas ? atau justru memendam potensi pemain lokal ? 

Mari simak ulasan berikut 

Perkembangan Naturalisasi di Indonesia

Fenomena tentang pemain naturalisasi bukanlah hal baru dalam sepakbola Indonesia, tercatat bahwa telah terjadi naturalisasi selama kurun waktu tahun 2010 - 2015, setidaknya ada 11 pemain yang telah di naturalisasi, diantaranya adalah : 

  • Christian Gonzales (Uruguay) 
  • Kim Jefrey Kurniawan (Jerman -Indo)
  • Diego Michels (Belanda)
  • Victor Igbonefo (Nigeria)
  • Greg Nwokolo (Nigeria)
  • Sergio Van Dijk (Belanda - Indonesia)
  • Raphael Maitimo (Belanda)
  • Tonnie Cussel (Belanda)
  • Stefano Lilipaly (Belanda)
  • Johnny Van Baukering (Belanda)
  • Ruben Wuarbanaran (Belanda)

Di tahun 2024, naturalisasi pemain juga dilakukan di era pelatih Shin Tae Yong yang sudah memimpin timnas Indonesia dari Desember 2019.Nama - nama tersebut adalah :

  • Jordi Amat (Spanyol - Swansea City)
  • Sandy Walsh (Belanda - KV Machelen)
  • Shayne Pattynama (Belanda - KAS Eupen)
  • Rafael Struick (Belanda - ADO Den Haag)
  • Ivar Jenner (Belanda - Youth FC Utrecht )
  • Justin Hubner (Belanda - Wolves skrg Cerezo Osaka)
  • Jay Idzes (Belanda - Venezia)
  • Nathan Tjoe Aon (Belanda - Eredivisie Heerenveen)
  • Ragnar Oeratmangoen (Belanda - Eredivisie Fortuna Sittard)
  • Thom Haye (Belanda - Eredivisie Heerenveen)
  • Marteen Paes (Belanda - Dallas Fc)
  • Elkan Baggot (Bangkok - Ipswich Town)

Puncaknya pada tahun 2024, Shin Tae Yong melakukan keputusan yang cukup berani dengan memotong generasi timnas sebelummya dan menggantikannya dengan pemain-pemain muda. Era Marselino, Arhan, dkk mulai menjadi debut perdana timnas Indonesia dengan wajah - wajah baru. 

Pro Kontra Pemain Naturalisasi

Sejak program naturalisasi digalakan, perdebatan mulai muncul di permukaan. Ada yang setuju ada pula yang mengkritik. Salah satunya pengamat sepakbola Tommy Welly yang berpendapat bahwa banyaknya pemain naturalisasi di tubuh timnas Indonesia berpotensi memendam bakat dari pemain lokal. 

Akibatnya, pemain lokal tidak diberi kesempatan untuk bermain di kancah internasional. Federasi sepakbola Indonesia PSSI pun menjawab hal tersebut dengan menerangkan bahwa naturalisasi adalah hal yang lumrah. 

PSSI juga menambahkan bahwa pemain naturalisasi didatangkan bukan untuk memendam kualitas pemain lokal, melainkan untuk membantu progress pemain lokal agar bisa bersaing dan meningkatkan kualitasnya. 

Diharapkan adanya pemain naturalisasi bisa mengangkat performa pemain lokal lain seperti Marselino, Witan Sulaeman, Arhan, dkk. Karena selama ini, dinilai bahwa kualitas pemain lokal belum bisa menandingi tim - tim kuat di ASEAN seperti Vietnam dan Thailand. dimana kedua negara tersebut lebih banyak menjuarai piala internasional di kawasan Asia Tenggara. 

Erick Thohir selaku ketua umum PSSI juga menerangkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah dari pesepakbolaan Indonesia yang harus dibenahi. Banyaknya skandal di tubuh kepengurusan, pengaturan skor, hingga tragedi Kanjuruhan sebelumya membuat era kepengurusan Erick Tohir dipenuhi dengan problematika yang harus diselesaikan. 

Pembenahan timnas Indonesia menjadi agenda utama PSSI untuk mengikuti Piala Asia di Qatar. Selain mencapai target sebagai juara, diharapkan hal tersebut juga dapat memicu perbaikan di liga - liga di Indonesia. 

Haruskah Naturalisasi Terus dilakukan? 

Tidak dapat dipungkiri bahwa persepakbolaan Indonesia harus banyak berbenah. Indonesia tercatat menjuarai Pesta Olahraga Asia Tenggara pada tahun 1991. Setelah itu, prestasi timnas terus menurun dari waktu ke waktu. 

Program naturalisasi menjadi hal yang patut dilakukan untuk dapat memberikan efek pemantik bagi pemain lokal untuk maju. Pemain - pemain seperti Elkan Baggot, Justin Hubner, dkk bukanlah yang pertama kalinya di naturalisasi, sebelumnya sudah banyak pemain lainnya yang mendapat hal serupa. 

Arya Sinulingga selaku Eksekutif Komite PSSI menghimbau agar tidak perlu mengkotak - kotakan antara pemain naturalisasi dan pemain lokal. Ia menerangkan bahwa selama pemain - pemain tersebut memiliki keturunan Indonesia, ia tetap menjadi bagian dari Indonesia. Jika dilihar secara fakta, Indonesia bukan negara yang pertama kali melakukan naturalisasi. 

Di beberapa negara eropa juga banyak ditemukan pemain naturalisasi. Salah satunya Mesut Ozil yang merupakan pemain timnas Jerman yang memiliki darah Turki dari orang tuanya. 

Hal yang sama juga dapat ditemukan di timnas Filipina dimana para pemainnya di dominasi oleh pemain naturalisasi. Selain itu, Perancis sebagai negara langganan Piala Dunia ini juga mengandalkan pemain naturalisasi untuk memperkuat skuad mereka. 

Pengkotak - kotakan pemain naturalisasi dan pemain lokal berkembang diikuti oleh faktor masyarakat yang telah "haus" akan gelar juara. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat di dunia dengan 270 juta jiwa yang tinggal di dalamnya di dominasi oleh 80 persen pecinta sepakbola. Netizen Indonesia mengharap perkembangan terhadap timnas di Indonesia. Impian untuk dapat tembus ke Piala Dunia juga masih membayang - bayangi masyarakat kita. Tercatat, Indonesia pernah ikut Piala Dunia hanya 1 (satu) kali, yaitu pada tahun 1938 saat namanya masih Hindia - Belanda. 

Pemain lokal harus berbenah untuk menaikan kualitasnya agar dapat setara dengan pemain naturalisasi. Rochi Puttiray, legenda sepakbola Indonesia dalam sebuah podcast menyatakan bahwa kekurangan pemain Indonesia saat ini adalah masalah disiplin dan kurangnya mental. 

Ia menerangkan bahwa pemain Indonesia saat ini perlu ditingkatkan kedisiplinan dalam latihan dan peningkatan jam terbang. Selain itu, pembenahan liga - liga sepakbole juga harus menjadi perhatian utama agar dapat menghasilkan pemain - pemain berpotensi. 

Program naturalisasi adalah sebuah akselerasi menuju peningkatan kualitas sepakbola yang lebih baik. Indonesia telah tertinggal jauh dari negara lain. Sudah banyak negara yang memperkenalkan dan menerapkan gaya sepakbola modern kepada dunia. 

Di mana sepakbola dianggap bukan hanya sekedar permainan kompetisi, melainkan ada filosofi dan seni yang terkandung di dalamnya. Sehingga tak heran jika masyarakat Indonesia lebih tertarik menonton liga luar negeri. Sepakbola Indonesia belum melaju ke tahap Industri. 

Tentunya pembenahan ini membutuhkan waktu bertahun - tahun untuk mendapatkan hasil yang nyata. Langkah STY dan PSSI baru permulaan menuju sepakbola Indonesia yang lebih baik. 

Dengan dibantu FIFA, Indonesia memiliki harapan untuk dapat memperbaiki kualitas sepakbolanya dalam rangka membina bibit - bibit pemain unggul yang mampu bersaing di kancah internasional. 

(RP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun