Mohon tunggu...
Rey Laotong
Rey Laotong Mohon Tunggu... Mahasiswa - A writer who likes to see the world through imagination and different perspective.

Biarkan setiap tulisan itu bersuara dengan nada nada yang tidak pernah kita dengarkan, membantu membangun imajinasi menjadi sebuah realitas yang dapat mengubahkan kita dan seisi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesuai Titik

29 Juli 2022   14:18 Diperbarui: 29 Juli 2022   19:43 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku teradu dengan perasaan yang hampir tidak pernah ku rasakan, hangat dan dingin disaat yang bersamaan. Kita melangkah terlalu jauh dan terlampau maju, sehingga melupakan langkah - langkah kecil yang harusnya kita tapaki. kita sering beradu angan dan bimbang menjadikannya sebagai sebuah alasan untuk menentukan mana yang terbaik bagi kehidupan kita, kesalahan - kesalahan yang muncul akibat letihnya  raga membuat warna yang sedikit lebih hitam dari pada sebelumnya, perubahan arah angin selalu menjadi alasan para pelaut untuk berlayar, apakah akan menuju pada badai? atau terhanyut dalam ketenangan samudera. 

Bisakah kita berpura - pura dalam relung relung nadir untuk menyembunyikan kekecewaan serta tangis yang hampir tak terbendung bimbang kata kaki tapi teguh kata hati selalu menjadi dialog indah dalam menuju pada tujuan yang disepakati oleh jiwa dan tubuh. Berkata pada sang mentari yang abinawa ketika ia coba memancarkan hangatnya dunia di kala sang surya mereka, basa - basi tentang aku, kamu, dan kita harus teguh dan jangan menyerah akan situasi yang sama sekali matapun tak pernah melihatnya, membuat ayam yang berkokok sesekali menertawakannya dengan nada yang sedikit menyindir. Ah bukanya nasib dan semua keberuntungan ada di tangan sang Pencipta? tapi bukannya semua tergantung pada raga? siap atau tidak. 

Pada saat tulisan ini tercantum dalam setiap ketikan pada layar laptopku aku sedikit berbisik pada diri ini, apa dan bagaimana kelak engkau akan bertaut dengan alam semesta segala angan dan ekspektasi yang bercampur dengan realitas kehidupan yang selalu berperan menjadi seorang antagonis layaknya dalam sinetron 'Bawang Putih' dan 'Bawang Merah'. Aku adalah orang yang berhasil dengan menjinakkan setidaknya keberhasilan yang sedikit agresif dan susah untuk manusia sebayaku taklukan, kadang aku dipuja tapi kadang juga dipatahkan. Mereka segelintir sosialis yang hanya mencoba menjelaskan apa itu kekuasaan dan hidup tanpanya, membosankan. Sedikit tentang apa yang coba otakku proyeksikan tentang aku dan masa depan ku begitu unique kata mahkluk yang eksistensinya selalu berada di dekatku.

Mereka bingung bahkan sampai tak mampu menelan kebenaran yang harus mereka terima, yah aku yang selalu ingin mencoba banyak hal beranjak lebih banyak tempat dengan tapak kaki kecil ku ini, hanya ingin bercerita dilematis keputusan yang coba untuk aku hindari dan pada akhirnya terjebak dan tersudutkan hingga mau tak mau, harus tak harus aku berkata pada diriku 'mengapa tak sekalian basah dari pada hanya celanamu yang basah?' pada akhirnya aku maju hingga bingung ujungnya dimana, bertanya - tanya  sejauh mana lagi harus melangkah berapa lama lagi aku akan sampai?.  Sebagian dari diri ku bungkam akibat jarak yang bersuarapun ia enggan, aku membisu mecoba untuk bertanya, tersesat kah aku? telah sampai kah aku? harus kah aku berhenti?. Halus ia berbisik, 'Jalan mu tak berujung, lelah mu tak terbendung, sayup mata mu tak berkantung,' tak lama ia terkikih dengan lembut. 

Aku maju dan terus maju sampai kadang usia pun tak  terasa hampir memutih ia berubah menjadi teman seperjalanan yang begitu mengasyikkan ketika aku terjatuh dia menertawakan dan menolong ku, ketika aku terantuk akan kesalahanku ia membela ku dan aku menjadi sahabat yang karib dengannya. 

Terima kasih ku haturkan akan kebaikan dan kesetianmu bukan kepada lelah tapi kepada ragu ia yang selalu menjadikan ku kuat, hebat, dan berani tatkala aku menuju alam kebimbangan kudapati diriku sedang berproses untuk keberhasilan, mencari alternatif lain ketika ku dipukul mundur oleh tembok - tembok kekecewaan. Senandika coba untuk rancang tapi sayang hatiku belum begitu siap untuk mencurahkan segala bentuk umpatan dan mutiara dari bongkahan pengendalian diri yang hampir hilang akalnya, aku tidak begitu hebat untuk bercerita dengan mentari hanya rembulan yang menjadi teman dan pendengarku yang begitu baik dan setia, kala air mata ku tercurah ia bahkan tidak menghinaku ia bersamaku sampai lara ku selesai menghampiri. Aku senang dan bahagia karena pada akhirnya perjalanaku berputar pada porosnya, aku dan porsi ku menjadi hal terbaik dari apa yang dapat ditawarkan, pada akhirnya sampai lah aku sesuai titik yang ingin aku tuju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun