Minuman Berpemanis
Rasa manis memang menjadi favorit bagi beberapa orang. Beberapa studi menyatakan bahwa konsumsi makanan manis dapat merangsang pertumbuhan hormon dophamine yang mengakibatkan konsumen nya berpotensi untuk kecanduan. Salah satu produk yang memberikan rasa manis adalah minuman berpemanis yang akhir -- akhir ini menuai kontroversi antara dunia kesehatan dan dan industri minuman berpemanis.Â
Minuman berpemanis mengandung kadar gula yang cukup tinggi. Sebagai contoh kandungan gula pada hanya satu botol  minuman soda ukuran 375ml mencapai 10 -- 11 sendok teh atau setara dengan 11 gram, sementara himbauan  batasan konsumsi gula per hari oleh Kementerian Kesehatan RI adalah 54 gram. Data tersebut menunjukkan, konsumsi satu kaleng minuman berpemanis (soda) menyumbang 20,37% kebutuhan konsumsi gula tubuh manusia per hari dan tergolong sangat tinggi.Â
Konsumsi atas minuman berpemanis memiliki potensi menimbulkan kegemukan (obesitas) badan dan atas kalori  konsumsinya cenderung tidak dikenali oleh mekanisme appetite. Hal ini mengakibatkan banyak orang akan tetap mengonsumsi banyak makanan lain (Qoirinasari et al., 2018).  Akibatnya seseorang akan secara tidak sadar mengonsumsi gula berlebih per hari nya. Perilaku ini berdampak negatif bagi kesehatan tubuh dan dalam kasus ekstrim membahayakan nyawa seseorang akibat kelebihan berat badan atau terkena penyakit diabetes.Â
Adapun angka penderita diabetes-- penyakit mematikan ketiga di Indonesia  -- terus meningkat dari tahun ke tahun dan diproyeksikan mencapai angka 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Adapun berdasarkan riset Kementerian Kesehatan Tahun 2018, prevalensi diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur 15 tahun sebesar 2%.  Kondisi tersebut sungguh mengkhawatirkan. Lazim nya diabetes dipengaruhi oleh faktor genetika, namun faktor lingkungan, gaya hidup, dan pola konsumsi juga mempengaruhi penyebab diabetes. Salah satu nya adalah konsumsi gula berlebih yang terdapat pada minuman manis.
Fenomena konsumsi tersebut perlu untuk dikendalikan oleh masyarakat karena membawa dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat sama hal nya dengan konsumsi rokok dan minuman berakholol yang juga membawa dampak negatif bagi tubuh manusia. Konsumsi minuman berpemanis sebanyak 20,23 liter/orang/tahun (Audwina, 2021) dipandang perlu untuk dikendalikan agar tidak semakin membawa dampak buruk. Salah satu instrumen pengendalian konsumsi nya adalah cukai.
Cukai Pada Minuman Berpemanis
Cukai merupakan pajak atas konsumsi barang -- barang sesuai karakteristik UU Cukai yang secara sederhana membawa dampak negatif bila dikonsumsi. Barang yang memenuhi karakteristik tersebut disebut Barang Kena Cukai (BKC). Berdasarkan karakteristik yang dimiliki minuman berpemanis yang menimbulkan dampak negatif atas konsumsinya pada kesehatan manusia (obesitas/ diabetes) dan perlu untuk dikendalikan, atas produk tersebut dapat diekstensifikasi sebagai BKC.Â
Sebagai tambahan informasi, BKC di Indonesia hanya berjumlah tiga, yakni etanol, minuman mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Jumlah ini masih tergolong sedikit dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang bahkan sudah menerapkan cukai pada minuman berpemanis dengan alasan yang sama bahwa konsumsinya perlu untuk dikendalikan seperti Nigeria dan Meksiko. Indonesia juga menjadi negara yang memiliki BKC paling sedikit di ASEAN dan oleh sebab itu, dalam pengenaan cukai, Indonesia masih tergolong dalam negara yang extremely narrow coverage (Chandra & Gufraeni, 2009)
Wacana pengenaan cukai kepada minuman berpemanis sudah lama muncul, berguling, dan menuai kontroversi dari beberapa pihak walaupun dengan fakta bahwa tidak semua minuman berpemanis akan dikenakan cukai. Adapun pengecualian pengenaan cukai terdapat pada produk yang dibuat dan dikemas non -- pabrikasi, madu, jus sayur tanpa gula, dan ekspor barang mudah rusak  (Permana, 2020).
Salah satu pihak kontra dengan rencana pemerintah dalam mengenakan cukai pada minuman berpemanis adalah Asosiasi Industri Minuman Ringan yang menyatakan bahwa pengenaan cukai justru akan mengakibatkan penurunan ekonomi pada sektor industri minuman ringan dan tidak sesuai dengan momentum pemulihan ekonomi. Beberapa kalangan juga menyatakan bahwa pengenaan cukai pada minuman berpemanis mengakibatkan suatu industri akan sulit berkembang akibat harga produk nya yang mahal dan market demand yang menurun serta dalam jangka panjang akan berujung pada PHK karyawan untuk mengurangi cost perusahaan. Tentu hal ini menjadi wujud pemerintahan yang tidak Good Governance sebab mengakibatkan penurunan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan, Triyono Prijosoesilo, menyatakan bahwa minuman berpemanis bukan lah penyebab utama diabetes, oleh sebab itu Triyono menyatakan bahwa pengenaan cukai tidak tepat dan agak berlebihan jika menyatakan bahwa minuman berpemanis sebagai penyebab utama diabetes (Kurniati, 2020)