Mohon tunggu...
Reyha Nabila
Reyha Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

:-)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksplorasi Etis Tanpa Eksploitasi

29 Juni 2024   14:26 Diperbarui: 29 Juni 2024   15:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era industri hiburan yang semakin maju, film menjadi salah satu media yang kuat untuk menyampaikan pesan sosial dan meningkatkan kesadaran terhadap berbagai isu. Namun, terdapat batas tipis antara penggunaan film sebagai alat edukasi dan eksploitasi. Salah satu topik sensitif yang sering diangkat ke layar lebar adalah kekerasan seksual. Sayangnya, dalam banyak kasus, representasi kekerasan seksual dalam film lebih diarahkan untuk meraih keuntungan komersial daripada membangun pemahaman dan empati.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kekerasan seksual mencakup segala bentuk aktivitas seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang terlibat, atau melalui tekanan, ancaman, paksaan, manipulasi, atau penipuan. Pasal 4 ayat (1) UUD ini mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual. Ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan kekerasan berbasis gender.

Industri film merupakan bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Dalam upaya memenuhi tekanan untuk menciptakan film-film yang sukses di box office, produser dan sutradara sering kali mengeksploitasi tema-tema kontroversial seperti kekerasan seksual sebagai strategi pemasaran. Adegan-adegan mengerikan dan grafis tentang kekerasan seksual kerap dijadikan daya tarik utama, dipromosikan secara sensasional untuk menarik perhatian penonton. Namun, sedikit sekali perhatian yang diberikan pada dampak psikologis dan emosional yang mungkin timbul bagi audiens, terutama mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual.

Penggambaran yang eksplisit dan sering kali berlebihan dalam adegan-adegan tersebut tidak hanya mengejutkan, tetapi juga dapat memperparah trauma bagi korban kekerasan seksual. Penonton yang memiliki pengalaman pribadi dengan kekerasan seksual dapat mengalami pemicu emosional yang kuat, merasa tidak nyaman, atau bahkan merasa diremehkan oleh cara cerita mereka dieksploitasi demi hiburan. Selain itu, pendekatan seperti ini mengabaikan peluang untuk menciptakan diskusi yang lebih mendalam dan edukatif tentang masalah kekerasan seksual, mengurangi kompleksitas isu menjadi sekadar alat untuk mencapai tujuan komersial.

Produser dan sutradara mungkin beralasan bahwa penggambaran yang realistis diperlukan untuk menunjukkan kekejaman kekerasan seksual. Namun, pendekatan ini sering kali tidak diimbangi dengan narasi yang memberikan konteks yang memadai atau mendalam, serta jarang memberikan ruang bagi perspektif korban. Hal ini mengarah pada distorsi realitas, di mana kekerasan seksual ditampilkan lebih sebagai alat sensasional daripada sebagai isu serius yang memerlukan pemahaman dan penanganan yang hati-hati.

Ketika kekerasan seksual dijadikan sebagai elemen plot yang mendominasi, sering kali narasi ini gagal untuk mengedukasi penonton tentang kompleksitas trauma yang dialami korban. Alih-alih, adegan-adegan ini dapat memperkuat stereotip dan mitos yang merugikan, seperti pandangan bahwa korban kekerasan seksual hanya bisa direduksi menjadi status mereka sebagai korban, tanpa menunjukkan kekuatan, ketahanan, dan keberanian yang mereka tunjukkan dalam menghadapi situasi tersebut. Tanpa perspektif yang seimbang, representasi ini dapat menambah penderitaan korban yang sesungguhnya, karena mereka melihat pengalaman mereka disalahartikan atau dieksploitasi untuk kepentingan hiburan.

Selain itu, representasi yang sensasional dan tidak bertanggung jawab ini dapat mempengaruhi cara masyarakat melihat dan merespons kekerasan seksual di dunia nyata. Jika media terus-menerus menampilkan kekerasan seksual secara grafis tanpa menyediakan ruang untuk diskusi yang bermakna, ini bisa mengurangi sensitivitas publik terhadap isu tersebut, menjadikannya sebagai sesuatu yang normal dan diterima. Hal ini sangat berbahaya karena bisa menghambat upaya untuk memberikan pendidikan yang tepat mengenai kekerasan seksual dan bagaimana mencegahnya.

Namun, bukan berarti kekerasan seksual tidak boleh ditampilkan di media sama sekali. Sebaliknya, penting untuk menampilkan kekerasan seksual dengan cara yang menghormati pengalaman korban dan berfokus pada dampak jangka panjang yang dihadapi korban. Ini bisa dilakukan dengan memperlihatkan perjalanan penyembuhan korban, mendalami aspek psikologis dan sosial dari trauma, dan memberikan platform bagi suara korban untuk didengar. Dengan cara ini, media dapat berperan sebagai alat edukasi yang kuat, membantu menghilangkan stigma dan meningkatkan kesadaran publik tentang isu kekerasan seksual.

Lebih jauh lagi, keterlibatan para ahli dalam pembuatan konten yang menggambarkan kekerasan seksual adalah langkah penting untuk memastikan akurasi dan sensitivitas. Konsultasi dengan psikolog, advokat korban, dan individu yang telah mengalami kekerasan seksual dapat membantu menciptakan narasi yang lebih otentik dan bermakna. Ini juga membuka peluang bagi media untuk menjadi agen perubahan sosial, mendorong pergeseran sikap dan perilaku masyarakat terhadap kekerasan seksual.

Pada akhirnya, tanggung jawab ada pada pembuat konten untuk memastikan bahwa penggambaran kekerasan seksual dilakukan dengan cara yang menghormati, mendidik, dan memberikan suara bagi mereka yang terkena dampaknya. Hanya dengan pendekatan yang penuh perhatian dan terinformasi, media dapat benar-benar membantu dalam perjuangan melawan kekerasan seksual, bukan hanya menjadikannya sebagai alat sensasi.

Memilih film yang menggambarkan kekerasan seksual dengan bijaksana adalah tindakan yang menghormati kompleksitas dan kepekaan topik ini. Dengan mendukung karya-karya yang memperlakukan isu ini dengan penuh empati dan kehati-hatian, kita tidak hanya membantu mengubah budaya visual kita menuju representasi yang lebih ilmiah dan terinformasi, tetapi juga membuka jalan bagi dialog yang lebih dalam tentang perlindungan korban dan pencegahan kekerasan seksual secara keseluruhan. Pilihan kita sebagai penonton dan produsen film memiliki kekuatan untuk mempengaruhi cara kita memahami dan merespons masalah yang penting ini dalam masyarakat kita hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun