Mohon tunggu...
Hendro Adrian
Hendro Adrian Mohon Tunggu... -

Penggemar Dream Theater

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rinjani, Surga Yang Tersembunyi (3)

7 Januari 2015   07:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:39 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Plawangan Sembalun

Jam lima pagi saya sudah bangun. Semalam saya tidur sedikit agak larut karena harus mengatur kembali barang-barang yang akan dibawa. Sebelumnya, saya sempatkan untuk menemui dan berbicara dengan porter yang akan membantu selama pendakian. Sebelum tidur, Cemplung dan saya berdiskusi cukup lama untuk mematangkan kembali rencana pendakian; termasuk merancang plan-B seandainya cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan summit-attack pada hari H.

Rencana kami, hari pertama trekking ke Plawangan Sembalun dan bermalam dengan mendirikantenda di sana. Hari kedua, jam 02:30 pagi mendaki ke puncak, kemudian turun ke Segara Anak dan berkemah di pinggir danau. Hari ketiga, trekking ke Plawangan Senaru dan turun ke desa Senaru. Di Senaru, Puring akan menjemput.

Sedangkanuntuk plan-B, kita asumsikan cuacadi hari kedua tidak memungkinkan untuk summit-attacksehingga harus stand-by di Plawangan Sembalun sehari penuh.Baru di hari ketigajam 02:30 pagi pendakian ke puncakdilakukan dan langsung turun kembali ke Sembalun. Di Sembalun, Puring akan menjemput.

“Mudah-mudahan plan-B tidak diperlukan Mas. Kalau sampai tidak ke Plawangan Senaru, berarti lain waktu Mas masih harus kembali ke sini. Pemandangan Segara Anak dari Plawangan Senaru terlalu bagus untuk dilewatkan begitu saja” komentar Cemplung setelah kami selesai diskusi dan setuju dengan rencana pendakian.

“Cemplung, entah bagaimana caranya, saya harus sampai di puncak. Kalau perlu di short-rope pun, akan saya lakukan. Plawangan Senaru prioritas kedua” jawab saya.

Kami merencanakan untuk naik ojek dari penginapan sampai di jembatan runtuhsebelum Pos-1. Menurut Cemplung itu jaraknya sekitar 4 km. Berarti kami akan dapat menghemat tenaga dan waktu sekitar 1.5 jam. Cemplung sudah memesan ojek untuk pagi-pagi jam tujuh menjemput kami di penginapan.

Setelah mandi, kami sudah kembali duduk di meja makan restoran menunggu sarapan. Saya minta kopi hitam dan pan-cake untuk sarapan. Sampai dengan kami selesai sarapan, selain Cemplung dan saya, tidak ada tamu lain yang masuk ke restoran. Kemana teman-teman Cincin Api semalam. Rasanya tidak mungkin kalau mereka berangkat pagi-pagi sekali. Tadi pagi sejak jam lima saya sudah berkeliaran di halaman penginapan untuk melihat keindahan Rinjani saat sunrise, saya tidak melihat ada kegiatan.

“Enam orang yang semalam makan di meja sana sudah pergi ?” saya bertanya ke pelayan restoran saat dia mengangkat piring bekas sarapan saya. Kebetulan pelayannya adalah orang yang sama dengan pelayan semalam.

“Belum, katanya mereka baru akan check-out besok pagi” jawabnya. Menurut pelayan ini, mereka masih menunggu empat orang temannya lagi yang baru akan tiba di Sembalun nanti siang. Berarti saya tidak akan mendaki beriringan dengan mereka.

Jam tujuh kurang saya mendengar derum beberapa sepeda motor yang beriringan masuk ke halaman penginapan. Pengendaranya terlihat celingak-celinguk seperti mencari seseorang.

“Ojek kita sudah datang Mas....” kata Cemplung sambil berdiri dan kemudian menghampiri konvoi ojek tersebut.

Cemplung dan saya segera kembali ke kamar untuk berkemas. Subur, salah seorang porter kami yang nantinya merangkap sebagai juru masak membantu mengemasi barang. Semua barang-barang kami, diantaranya rucksack besar ukuran tujuh-puluh liter ditaruh di keranjang dan diikat. Cara porter di sini membawa barang berbeda dengan umumnya porter di Jawa. Di sini mereka memakai dua buah keranjang bambu yang masing-masing diikatkan di ujung bilah bambu, kemudian dipikul.

Setelah semua barang tertata dan terikat rapi di kedua ujung bilah bambu, saya iseng mencoba mengangkat pikulannya. Hups, ternyata berat sekali. Saya hanya mampu mengangkat hingga setinggi lutut. Padahal porter kami nanti akan memikul semua barang ini naik-turun gunung selama tiga hari.

“Cemplung, apakah pikulan itu tidak terlalu berat untuk Subur ?” saya berbisik ke Cemplung untuk minta pendapatnya. Sejak tahap persiapan, saya sudah mengatakan lebih dari satu kali di e-mailbahwa saya tidak mau membawa beban selama pendakian, saya ingin berjalan melenggang. Oleh karenanya waktu itu saya katakan untuk membawa porter secukupnya. Kalau perlunya tiga bawa tiga, kalau perlunya empat bawa empat. Seandainya beban Subur ini memang terlalu berat, saya akan sarankan untuk mencari porter satu lagi.

“Ini tidak berat buat mereka Mas, mereka sudah biasa....kalau nanti Mas kecapekan di jalan dan mau duduk di keranjang-pun, mereka masih kuat memikul”kata Cemplung sambil cengengesan, setelah mencoba mengangkat pikulan.

Sekitar jam tujuh pagi, kami berangkat dengan dibonceng ojek. Rean dan Sar, dua porter kami yang lain ternyata telah lebih dulu berangkat dengan berjalan kaki. Mereka berdua, dengan membawa semua keperluan logistik untuk lima orang selama tiga hari, tidak mampir di penginapan tapi langsung berangkat dari rumah mereka lewat jalan pintas.

Cemplung dan saya mampir dulu sebentar di kantor Taman Nasional Gunung Rinjani untuk mendaftar. Di sana kami diminta untuk mengisi formulir pendakian, mengisi buku tamu dan membayar karcis masuk Taman Nasional yang besarnyasaya lupa, tapi relatif sangat murah. Petugas kemudian memberi kami salinan formulir pendaftaran yang telah kami isi dan tanda-tangani, untuk nantinya diserahkan di kantor Taman Nasional pintu Senaru saat keluar.

Ketiga ojek kami kemudian meluncur kembali ke arah penginapan, kali ini hanya lewat dan terus melaju ke arah Pos-1 melalui jalan kampung yang berdebu. Jalannya bergelombang, naik turun dan banyak lubang sehingga ojek harus meliuk kesana-kemari. Saya lihat Subur agak kerepotan mengatur keseimbangan karena dia harus memangku beban pikulannya.

Selama dibonceng, pandangan saya tidak pernah lepas dari Rinjani yang ada di depan saya. Dari sini pandangan ke arah Rinjani tidak terhalang sama sekali, saya dapat melihat dengan sangat jelas mulai dari kaki hingga ke puncaknya. Sepintas secara fisik gunung ini terlihat sangat biasa, tidak memberikan kesan sebagai gunung berapi tertinggi nomor dua di Indonesia. Mungkin karena kedua bahunya yang relatif landai, membuat kesan menjulang dan angkuh menjadi kabur.



Rinjani terlihat dari ujung jalur pendakian

Di satu tempat saya minta berhenti sebentar untuk mengambil beberapa photo. Saya kira tidak ada seorangpun yang akan melewatkan pemandangan frontal ke arah gunung seperti ini. Cuaca pagi yang sangat cerah membuat Rinjani menjadi tampak seperti lukisan gunung yang menempel di dinding rumah Ibu saya di Yogya.

“Sudah Pak, kita cuma bisa antar sampai sini” kata tukang ojek sambil melambatkan motornya karena di depan kami ada jembatan runtuh. Debu jalan beterbangan saat ketiga ojek kami mengerem hingga motor berhenti. Saya perkirakan kami naik ojek dari kantor Taman Nasional hingga di tempat ini, tanpa memperhitungkan waktu berhenti saat mengambil photo di jalan, sekitar dua-puluh menit.

(Bersambung..)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun