Mohon tunggu...
Hendro Adrian
Hendro Adrian Mohon Tunggu... -

Penggemar Dream Theater

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rinjani, Surga Yang Tersembunyi (16)

20 Januari 2015   04:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:47 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjalanan turun dari warung di batas hutan hingga desa Senaru saya tempuh relatif sangat cepat, kurang dari tiga-puluh menit meski jaraknya hampir 2 km. Subur, Sar dan Rean berangkat sekitar sepuluh menit lebih dulu, sedang Andi dan Khairul menyusul di belakang kami. Jalur ini ternyata sudah bukan lagi jalur pendakian, tapi jalan kampung. Saya sudah memasuki daerah perkampungan dengan kontur tanah yang relatif datar. Saya mulai melihat rumah-rumah penduduk di kanan-kiri jalan. Hewan-hewan peliharaan seperti ayam, bebek juga terlihat berkeliaran di pinggir jalan dan halaman rumah.

Sesampai di kantor Taman Nasional di desa Senaru, Cemplung dan saya masuk ke dalam kantor. Kantornya masih buka tapi sepi sekali, tidak ada orang. Kami bermaksud menyerahkan salinan formulir yang dulu saya isi dan tanda tangani saat mendaftar untuk mendaki di kantor Taman Nasional Sembalun Lawang.

“Petugasnya tidak ada Mas. Kalau ke sini lagi saja nanti saya serahkan formulirnya, saya sering ke sini” kata Cemplung. Saya mengusulkan untuk meninggalkan saja di atas meja petugas. Tapi Cemplung tidak setuju. Entah kenapa, Cemplung tidak mau meninggalkan salinan formulir tersebut.

Saat keluar dari kantor Taman Nasional, saya bertemu dengan Puring di halaman kantor. Katanya sudah sejak jam dua siang dia menunggu di sini. Kemudian Andi dan Khairul juga muncul.

“Mobilnya parkir di sebelah sana, di depan kampung Pemangku Adat” kata Puring. Saya lihat mobil yang sama dengan yang mengantar ke Sembalun Lawang dua hari sebelumnya parkir tidak terlalu jauh dari kantor Taman Nasional. Saya melihat seseorang berdiri di samping mobil. Rupanya dia adalah teman Puring yang diajak untuk menjemput kami. Saya langsung berpikir namanya pasti lucu. Saat saya kemudian bersalaman untuk berkenalan, teman ini menyebutkan namanya Ambem. Belakangan nanti, saat dalam perjalanan ke Mataram, saya baru mengetahui kalau nama sebenarnya adalah Mohammad Samsul Hadi, nama yang bagus dan sangat Islami. Ambem adalah mahasiswa Fakultas Peternakan Unram semester akhir, sekarang sedang sibuk mengerjakan Tugas Akhir.

Rute hari ketiga : (1) Segara Anak, elevasi 2025 m. (2) Plawangan Senaru, elevasi 2640 m (3) Pos-3 Senaru, elevasi2140 m (4)Pos-2 Senaru, elevasi1605 m.(5) Gerbang Hutan/Pintu Senaru, elevasi840 m. (6) Desa Senaru, elevasi 610 m. Total jarak yang ditempuh : 16.4 km.

“Mas, mau lihat desa adat Senaru dulu ?” tanya Cemplung saat kami sedang memasukkan dan mengatur barang ke mobil. Dari beberapa sumber yang saya baca sebelum berangkat ke Rinjani, di desa Senaru memang ada satu perkampungan yang masih mempertahankan adat dan budaya asli Sasak. Saya pikir tidak ada salahnya melihat-lihat dulu sebentar. Hari masih terang dan saya tinggal duduk di mobil untuk sampai di Mataram.

Cemplung mengantar saya ke perkampungan desa Sasak yang ternyata hanya di belakang tempat parkir mobil Puring. Teman-teman lain tidak ada yang ikut, mereka melanjutkan mengatur barang di mobil supaya nanti kami bisa duduk dengan lebih nyaman.

Saat saya mulai memasuki wilayah perkampungan adat, suasana lingkungannya langsung terasa berbeda. Ukuran maupun bentuk rumahnya terlihat seragam. Berbentuk segi-empat, terbuat dari dinding anyaman bambu dan atap ijuk. Lantai rumah terlihat sedikit di-tinggi-kan dari tanah sekitar. Rumah satu dengan lainnya berbaris rapi seperti di dalam kompleks perumahan modern. Pohon-pohon kelapa yang sangat tinggi memagari wilayah perkampungan ini dengan desa sekitarnya.

Saya berhenti sebentar saat akan melewati halaman yang agak luas. Di sudut halaman, saya lihat ada anak muda sedang membidikkan kamera SLR besarnya ke arah perkampungan. Saya bermaksud menunggu sampai dia selesai me-photo baru akan lewat.

“Silahkan lewat dulu Pak” kata anak muda itu. Sambil mengucapkan terima kasih, saya bermaksud untuk menyeberang halaman.

“Dari Kompas ya Mas ? Kok tidak naik ke Rinjani ?” tanya saya sambil lalu setelah saya lihat di bajunya ada logo dan tulisan kecil Kompas TV.

“Saya tidak ikut team pendaki Pak, tugas saya meliput di bawah. Team pendaki kami berangkat ke puncak kemarin dari Sembalun, mereka ada sepuluh orang” jawabnya lagi. Ah, ini sesuai dengan deskripsi dari enam orang yang ketemu di penginapan Lembah Rinjani dua hari yang lalu. Pelayan restoran waktu itu mengatakan kalau mereka masih menunggu empat orang temannya. Pakaian ke-enam orang waktu itu juga sama dengan wartawan muda ini, baju hitam dengan celana jeans. Kamera-nya pun serupa. Saya baru tahu kalau ekspedisi Cincin Api Kompas terdiri dari beberapa team dengan tugas yang berbeda-beda.

Saya dan Cemplung kemudian menyeberang dan kembali melanjutkan melihat-lihat suasana perkampungan Sasak. Di salah satu bangunan yang terlihat seperti tempat untuk berkumpul warga, kami justru bertemu dengan petugas kantor Taman Nasional yang tadi kami cari-cari. Cemplung berbicara dalam bahasa daerah lalu menyerahkan salinan formulir pendaftaran. Saya ikut berbasa-basi sebentar sebelum kemudian meneruskan berkeliling.

Susu Sasak ini, meski mereka mencoba untuk tetap mempertahankan tradisi dengan menolak memanfaatkan peralatan modern, nyatanya serbuan arus modernisasi sedikit demi sedikit mulai tidak terbendung. Di salah satu rumah yang saya longok, saya melihat ada pesawat TV dan pemutar DVD(saya sempat masuk ke beberapa rumah. Seingat saya, saya melihat ada pesawat TV dan pemutar DVD di ruang tengah mereka).Sepeda motor umum terlihat diparkir di depan rumah, beberapa diantaranya bahkan lebih dari satu. Di halaman rumah banyak berkeliaran hewan peliharaan berupa ayam. Beberapa ekor anjing juga saya lihat berkeliaran di halaman.

Menurut Cemplung, perkampungan Sasak ini termasuk dalam wilayah Pemangku Adat Senaru. Secara hirarki berada dibawah Kerajaan Bayan. Pada waktu-waktu tertentu mereka masih setia menyerahkan upeti, berupa hasil bumi, ternak dan semacam itu. Secara materi, upeti ini sebenarnya tidak banyak nilainya, tetapi lebih sebagai simbol bahwa mereka masih tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Bayan di utara.

“Pak, Pak....Bapak wisatawan ya ? boleh minta waktunya sebentar untuk wawancara” wartawan Kompas itu begitu sadar bahwa saya bukan orang lokal, langsung mengejar untuk wawancara. Dia minta saya memberikan kesan dan komentar mengenai perkampungan ini.

“Mas, saya baru turun dari gunung dan sampai di sini baru lima menit yang lalu. Tidak banyak yang saya ketahui. Mungkin sebaiknya guide saya Mas Dian ini saja yang di wawancara, dia orang sini” usul saya kemudian.

“Jangan Pak, saya perlu kesan dan komentar dari wisatawan, bukan dari orang sini” lanjutnya. Akhirnya wartawan tersebut setuju saya bicara mengenai pendakian Rinjani, pemandangan indah Segara Anak dari Plawangan Senaru dan juga sepintas mengenai kehidupan serta suasana perkampungan Sasak di Senaru ini.

(Bersambung…)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun