Gusdur,
Adalah orang kampung yang pulang setelah merantau
Tapi saat dikerumuni tetangga
Dia tidak bercerita tentang Pizza dan Keju
Dia tetap menikmati singkong bersama tetangga
Walaupun dirinya kini, telah menjadi Pizza
Itulah yang membedakan Gusdur diantara Intelektual Kafirun lainnya semisal Cak Nur, Ulil dan kawan-kawan, yang tiap hari, mencerca tetangganya yang makan singkong biasa. Sambil menyodorkan Pizza bermerk Singkong dari rantau. Mereka menyodorkan Barat dengan kemasan Islam. Mereka melakukan westernisasi, dengan cara rasionalisasi. Mereka membenarkan pemikiran Barat dengan cara mengutip ayat-ayat Alquran.
Tapi Gusdur, tidak
Gusdur tidak bicara sekuralisasi
Tidak bicara postmodernisme
Tidak menyinggung soal sosialisme Marxis
Apalagi tentang Post Strukturalis
Padahal semua itu, adalah makanan favoritnya
Yang dia lakukan, ikut meramu masakan bersama tetangga di dapur
Tapi yang dia ceburkan kedalam kuali, isinya juga sama dengan Kafirun lain
Lalu menyantapnya bersama tetangga sambil tetap membaca basmalah
Itu sebabnya Gusdur bisa menjadi Politikus dibanding Cak Nur
Karena Gusdur, meminjam isitlah Gramsci, adalah seorang Pemikir Organik
Dia, bukan hanya Intelektual yang bisa mikir
Tapi juga bisa menjadi bunglon yang cerdik di medan tempur
Dia bisa hadir di kerumuman berbagai kalangan agama dan kepercayaan
Dia adalah prototype manusia dalam impian Pragamatisme Richard Rorty
Itu sebabnya Gusdur digelari dengan berbagai label
Seorang Islam Moderat, seorang Budayawan, bahkan seorang Universalis
Kesadarannya, sudah melampaui semua garis batas demarkasi sektarianisme
Tapi tetap bisa hadir duduk bersama dengan para pemuja sektarianis dari berbagai kalangan
Revo Samantha
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H