Mohon tunggu...
Fahruddin Fitriya
Fahruddin Fitriya Mohon Tunggu... Jurnalis - Redaktur

Kita akan belajar lebih banyak mengenai sebuah jalan dengan menempuhnya, daripada dengan mempelajari semua peta yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Barito Timur Kabupaten Beta

11 April 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Kabupaten yang masih terus mencari bug-bug program agar bisa menjadi Kabupaten yang full version, begitu banyak biaya riset yang harus dikeluarkan karena harga sebuah program canggih berlisensi memang mahal. Sudah jadi resiko ketika sebuah Kabupaten masih berversi trial ini melakukan instal dan reinstal aplikasi pendukung program kabupaten beta yang tepat. Ketidakpuasan bukanlah sebuah aib untuk produk berlabel beta. Tindak lanjut oleh mereka yang merasa puas biasanya terbagi dalam dua hal. Sebagian begitu antusias dan berharap Kabupaten ini segera terbebas dari segala pembatasan. Yang sebagian lagi merasa sayang membayar mahal secara relatif dan lebih suka mencari aplikasi crack untuk mencuranginya. Seolah mereka lupa bahwa crack itu seringkali disisipi virus yang bisa merusak program tanpa disadari. Efek domino akan terjadi. Kecurangan yang satu akan selalu diikuti kecurangan lain. Virus, worm, spyware, malware, korupsi, kolusi dan sebagainya akan semakin banyak mengganggu pengembangan program kabupaten beta ini. Selain menjadi craker, beberapa lainya belajar menjadi hacker. Keinginan merebut kendali program berkembang dalam dua versi tindakan. Yang pertama bergerak secara samar membuat berbagai macam virus untuk melemahkan kabupaten ini secara perlahan. Mereka menunggu popularitas operating system terpasang menurun di kalangan user, agar mereka bisa mempromosikan sistemnya sendiri dan mendapatkan pasar. Mungkin ini memang bisa berhasil. Kampanye kotor semacam ini secara jangka pendek bisa efektif untuk merebut kekuasaan. Namun secara mendasar, teramat besar kekuatan yang harus dimiliki untuk membangun kembali kultur yang terlanjur dirusak secara sistematis dengan metode pelemahan moral sebelumnya. Merobohkan dasar pondasi seharusnya dilakukan setelah menyiapkan sistem lain yang sudah full version dan bebas bug. Kenyataan yang ada, sistem operasi dibongkar dan diganti dengan versi beta juga. Jadinya rakyat sebagai user selalu dipaksa untuk menikmati proyek trial error para penguasa yang baru. Tak jarang para pembuat program baru ini malah hanyut kedalam paradigma program lama dan melupakan tujuan semula mereka membuat virus agar bisa menjadi robinhood. Namun tidak sedikit memilih bergabung dengan komunitas open source yang tak memikirkan keuntungan pribadi. Mereka bisa membuat berbagai macam program yang handal dengan biaya gotong royong. Namun ketika sila pertama sudah diamandemen menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, segala ketulusan mereka selalu dipinggirkan dengan berbagai cara. Open source itu mahal namun tidak bisa dijadikan lahan basah bagi penguasa dan pengusaha, bagi pejabat dan penjahat. Pandangan miring terhadap open source tak cuma menjadi milik pembesar. End user level terbawah pun lebih suka diracuni oleh para penguasa dan menganggap lebih asik nge-crack program trial daripada menggunakan program gratisan yang disiapkan oleh komunitas peduli bangsa. Amandemen sila kedua Keadilan Sosial Bagi Seluruh Penguasa dan Kroninya juga berhak mereka nikmati. Sayang cara mereka meminta keadilan kadang berada di jalan yang keliru. Kita dicekoki penguasa dengan amandemen sila ketiga yang berbunyi Mangan Ora Mangan Asal Kumpul. Akibatnya rakyat jadi gemar berkumpul tanpa perlu mikirin makan apa engga dan harus puas dihibur dagelan para wakilnya. Kenapa kita tidak milih ngumpul dengan komunitas open source untuk bergotong royong membuat program-program nyata untuk memperbaiki kabupaten ini. Sama-sama tidak makan tapi akan berbeda hasil akhirnya. Banyak kearifan lokal yang bisa digali di Kabupaten ini. Sayang kita lebih suka hidup dikotak-kotakan oleh konspirasi tingkat tinggi yang bersembunyi di balik tren. Sesuatu yang luhur dikatakan jadul. Yang masih mau menggali dibelokan ke arah yang keliru. Tuntutan akan adil makmur selalu ditepis dengan buaian akan hadirnya sosok Ratu Adil tanpa kita dikasih kesempatan berpikir secara nalar. Kita hanya diam menunggu Satrio Piningit yang katanya masih bersemedi di ujung dunia. Lupakah kita bahwa dunia ini bulat dan tidak ada ujungnya..? Bisa juga semua ini merupakan kesalahan dari numerologi sejarah suksesi rejim negeri ini. Rejim orde lama digantikan oleh orde baru di tahun 66. Orde baru tumbang dan orde reformasi berkuasa tahun 99. Bisa jadi angka yang sama membuat perjalanan sejarah juga berjalan di alur yang sama. Mungkin ini perlu juga dipikirkan oleh para pembuat program untuk memilih angka yang tepat saat mengganti sistem, agar sejarah bisa berbalik dan atas bawah sama sama nikmat. Misalnya pakai angka 69. Tamiang Layang, 1/2 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun