Mohon tunggu...
Fahruddin Fitriya
Fahruddin Fitriya Mohon Tunggu... Jurnalis - Redaktur

Kita akan belajar lebih banyak mengenai sebuah jalan dengan menempuhnya, daripada dengan mempelajari semua peta yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa yang Akan Kita Wariskan Kepada Anak Cucu?

22 Januari 2012   23:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:33 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327276095486416243

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang Berpadu dengan jerit isi rimba raya Tawa kelakar badut-badut serakah Dengan HPH berbuat semaunya Lestarikan alam hanya celoteh belaka Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu… Oh mengapa... Sepenggal lagu dari bang Iwan tersebut saya rasa sangat tepat jika digunakan untuk menggambarkan sebagian besar kondisi di wilayah Kabupaten Barito Timur (Bartim), apalagi mendengar dongeng dari beberapa penduduk lokal, bahwa beberapa tahun lalu, daerah itu masih merupakan rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon raksasa. Hal semacam ini ternyata sudah tidak dirasakan aneh lagi bagi sebagian besar orang disini, kekayaan alam terus menerus diangkut keluar dan hanya menyisakan masalah untuk warga setempat, pohon-pohon besar dibabat habis dengan reboisasi seadanya, setelah penghuni permukaan tanah diamputasi menjadi gundul tak menawan, gantian isi perutnya dirobek untuk mengambil batu bara atau kandungan mineral lainnya, setelah habispun reklamasi (usaha pemulihan hutan, red) lahan sering asal-asalan dan lebih banyak diserahkan kepada alam untuk disemaikan lagi. Penjarahan dan pemerkosaan sumberdaya alam tidak berhenti di situ saja, semak-semak yang baru saja mulai bertunas sudah dibakar orang membuka lahan, untuk dijadikan ladang atau perkebunan, ada yang benar-benar berladang, ada juga yang cuma berniat menguasai lahan sebagai investasi, tujuannya tidak lain tidak bukan adalah menunggu investor, misalnya pembukaan perkebunan sawit, mereka akan jual lahan tersebut dan kembali membakar hutan untuk memiliki lahan baru lagi, karena disini memang jarang masyarakat yang menggunakan legalisasi sesuai prosedur yang sudah negara tetapkan bagi warga setempat untuk memiliki tanah hutan, sebidang tanah secara adat akan dianggap milik seseorang atau keluarga hanya dengan syarat dia atau leluhurnya pernah berladang di lahan hutan tersebut. Saat negara dan warganya sudah tidak mampu lagi menjaga kelestarian hutan, kadang saya berpikir untuk menyerahkannya kepada setan, bukan soal tahayul, tapi melihat kenyataan disini, pohon yang katanya angker biasanya akan disisakan untuk tidak ditebang, bukan sesuatu yang aneh jika suatu saat kita melihat ada satu pohon tersisa di tengah lahan yang gundul, sepertimya mereka lebih sayang setan daripada sayang anak cucu yang tentunya ingin diwarisi hutan lestari. Kisah Pohon angker mungkin sudah tidak mudah lagi dijumpai, situasi sekarang mulai berubah, karena yang tersisa hanya satu pohon untuk berlindung, sementara kuntilanak terus beranak-pinak, lama-lama mereka tak betah dan mulai mengungsi jauh-jauh untuk cari perumnas yang layak bagi anak cucunya, jadinya satu persatu pohon yang tersisa mulai ditebang juga, karena sudah tidak angker lagi, karena saya merasa sayang bila monumen sisa-sisa keperkasaan hutan di masa lalu harus dibabat juga, dalam perbincangan dengan warga setempat, sempat terlantar pertanyaan, “Kenapa mesti ditebang?” Dan ternyata jawaban beliau teramat sederhana, "Kalo dicabut susah, pak…" Gubrak!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun