Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Melawan dengan Kasih

2 Desember 2015   01:02 Diperbarui: 2 Desember 2015   01:27 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Meningkatnya sikap skeptisme dan pesimisme masyarakat saat ini merupakan fenomena yang sedang terjadi. Pada waktu merebut kemerdekaan, jiwa nasionalisme masyarakat sangat berkobar, oleh karena itu tidak heran setiap warga negara rela berkorban jiwa dan raga untuk Indonesia. Akan tetapi apabila kita memperbincangkan kondisi Indonesia saat ini, maka akan banyak orang yang bersikap skeptis dan pesimis. Tidak mengherankan memang apabila kita melihat kondisi bangsa ini melalui media massa. Setiap hari kita disuguhkan drama politik yang berjudul “berebut kekuasaan”, yang berjalan sangat mengharu biru, penuh dengan intrik yang memuakan. Aktornya pun beragam dari para elite yang mengaku negarawan namun jadi tahanan,sampai tokoh agama, kaum intelektual, bahkan gerakan sosial yang sering dianggap pahlawan justru mereka terlibat di dalam “panggung sandiwara” kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan pribadi.

Kondisi tersebut seakan semakin membuyarkan cita-cita dan menghasilkan kegelisahan(galau) untuk melihat Indonesia yang Baru. Indonesia Baru adalah suatu kerinduan untuk melihat terpenuhinya janji kemerdekaan di dalam segala aspek kehidupan. Dalam kondisi seperti ini kita mungkin bertanya-tanya apakah Indonesia Baru akan benar-benar terwujud? Apakah revolusi mental itu hanya wacana politik semata? Ketika banyak orang berebut untuk jadi pahlawan yang ternyata hanya untuk kepentingan pribadi tertentu.

Ketika mencoba untuk merenungkan hal ini, Sang Pencipta membukakan mata ini kepada sosok gadis desa dan sekumpulan anak muda lugu dengan banyak keterbatasan sedang asik dengan sebuah buku dan alat belajar sedaanya. Tampak dari dari raut mereka sebuah kerinduan untuk menggapai cita-cita dan kerinduan untuk melihat Indonesia yang baru. Namanya Suci, gadis desa yang lugu dan polos yang lahir dari keluarga sederhana dari desa Sambirembe, Sragen. Dia bukan anak pejabat atau orang terkenal di desanya, tinggalnya pun hanya rumah beralas tanah yang letaknya tidak jauh dari kandang sapi. Akan tetapi suci selalu optimis untuk melihat masa depan dirinya, keluarganya, lingkungannya, bahkan bangsanya. Dia selalu berusaha untuk menggapai pendidikan tinggi meskipun budaya setempat tidak memberi akses yang besar pada perempuan untuk menggapai pendidikan tinggi.

Sampai saat ini dia berjuang untuk memperjuangkan anak-anak di desanya agar memperoleh pendidikan yang layak sehingga mereka kelak dapat mengejar cita-cita. Dia tidak ingin terkenal, atau sekedar mencari pujian yang terjadi dia sering mendapat tantangan dan ejekan dari banyak orang. Jangankan digaji dia justru harus mengeluarkan uang pribadinya. Dia tidak ingin menjadi lurah, atau pejabat desa lainya, dia hanya ingin menjadi guru (pahlawan tanpa tanda jasa) sebuah pilihan yang tidak popular saat ini. Motivasinya sederhana dia melakukan itu semua karena dia melihat ketidakadilan yang terjadi dimana tidak semua anak diijinkan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Melihat hal tersebut dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia mulai langkah sederhana yang dia bisa kerjakan untuk memperjuangkan masa depan anak-anak didesannya.

Inilah bentuk revolusi mental yang nyata dimana yang lain mengutuki keadaan, dia justru berusaha menjadi terang dalam kegelapan. Meskipun yang dilakukannya sederhana, akan tetapi telah menjadi lilin kecil yang memberikan terang ditengah kegelapan yang pekat. Bahkan tantangan dan hambatan dari banyak pihak tidak membuatnya takut untuk bergerak.

Ternyata jika kita mata dibukakan maka kita akan melihat masih banyak pahlawan-pahlawan yang terus berjuang untuk Indonesia Baru. Suci bukan satunya-satunya tapi dialah salah satu dari banyak pahlawan yang ada di bangsa ini. Mereka mungkin tidak kelihatan, mereka seakan tak terdengar, akan tetapi mereka sebenarnya sedang berjuang. Mereka mungkin tidak dikenal sebagai pahlawan akan tetapi mereka mengerti betul arti perjuangan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun