Ayah saya adalah lulusan Akademi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Magelang, litting/angkatan 1969 – 1972, Akabri mencetak calon-calon perwira terbaik TNI yang dipersiapkan berkiprah di pemerintahan dimasa yang akan datang.
Yang saya tahu sendiri dari pengakuan Ayah, dia sebenarnya memiliki cita-cita menjadi Gubernur selepas karier militernya kelak. Namun ternyata takdir berkata lain.
Ayah sempat bertahan menjalani kehidupan militer pasca perang Tim-Tim, namun hanya sebagai pelaksana tugas-tugas administrasi. Hal tersebut tentu saja suatu keadaan yang membuatnya tertekan secara mental, karena seorang prajurit infantri seharusnya bertempur bukan di balik meja. Namun Ayah bertahan, dia tidak bisa memikirkan dirinya sendiri, dia memiliki anak dan istri yang harus dinafkahi.
Sebenarnya bisa saja Ayah egois dengan selamanya berkarier di dunia militer, Ayah memiliki kesempatan untuk sekolah lagi di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) yang menunjang karir militernya, namun jenjang karir seorang tentara yang sehat secara fisik dengan tentara yang cacat fisik akan berbeda, tentara yang cacat fisik kenaikan jenjang karirnya akan lebih lama, yang otomatis secara pendapatan finansial juga akan seadanya.
Ayahku berpikir realistis, dia memikirkan kebutuhan ekonomis keluarganya, dia tahu jika dia bertahan di dunia militer maka akan kurang terpenuhi.
Suatu ketika dia mendapat pilihan karir, yaitu dikaryakan. Maksudnya, seorang anggota TNI dapat berkarir di dunia sipil, khususnya pada perusahaan milik Negara atau Badan Usaha Milik Negara, yang masa dinas berkarir di dunia sipil tersebut dapat dikonversi pada kenaikan kepangkatan di militer.
Namun demikian untuk lebih memenuhi kualifikasi berkarir didunia sipil Ayah mengambil pendidikan tinggi/kuliah. Dia kemudian kuliah di Perguruan Tinggi Hukum Militer/Akademi Hukum Militer (PTHM/AHM), ketika lulus Ayah menyandang gelar Sarjana Hukum (SH).
Akhirnya ayah berkarir di dunia sipil yaitu di PERTAMINA, yang memang secara finansial dan ekonomis kehidupan keluarga kami terangkat. Namun kenyataannya tidak mudah juga bagi Ayah berkarir di dunia sipil.
Pernah suatu kali pada saat makan malam bersama dia bercerita di kantor mendapat perlakuan dipandang sebelah mata atas kekurangan fisiknya, kemudian Ayah bertanya kepada kami anak-anaknya; “apakah kalian malu memiliki bapak yang bertangan buntung?”, tegas saya dan adik saya bilang; “tidak!,malahan kami bangga!”.
Dan memang sudah sepatutnya kami bangga, Ayah telah berkorban bagi Negara Indonesia dan Ayah berkorban bagi kami sekeluarga. Meskipun dengan kecacatan fisiknya Ayah tidak pernah membutuhkan rasa kasihan, dia membuktikan dia mampu.
Karena perjuanganyalah saya dan adik dapat bersekolah hingga ke pendidikan tinggi sampai akhirnya kami mandiri, kemudian kehidupan ekonomi keluarga kami boleh dibilang lebih dari cukup.