Mohon tunggu...
Revi Masengi
Revi Masengi Mohon Tunggu... -

Saya bukan siapa-siapa, bukan pula jurnalis. Hanya orang biasa yang suka menuangkan isi kepala ke dalam sebuah karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sisa tangis serpihan hati

9 Maret 2011   06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hatiku sebening kristal. Bila kamu menatap, akan terlihat pantulan cantik dirimu disana. Berkacalah sepuasmu, jelita! Namun angkara murka menjadikan cermin itu kini retak. Kosong melompong, tanpa refleksi. Sementara semua bentuk bayang-bayang memudar bersama hatiku yang remuk dan akhirnya hancur perlahan. Hatiku lebih keras dari permata. Ternyata, hanya butuh satu kata darimu untuk membuatnya berantakan. Luluh lantak. Serpihannya terserak sampai ke seluruh penjuru angin. Mulai dari ujung bumi, hingga ke kolong langit. Walau 1000 tahun terhabiskan takkan terkumpul seluruh kepingannya. Percayalah. Meski 1000 tahun mencoba, reruntuhan hatiku takkan terbangun utuh seperti sedia kala.

Semua ini salahmu!

...Ataukah salahku?

*****

Tak seharusnya aku bermain-main dengan 'Maut'. Ya, bukankah namamu 'Maut'? Aku tak berharap untuk mengenal kamu, namun suratan terlalu memaksakan pertemuan kita. Ini juga pasti akibat ulah sang semesta! Selalu saja ikut campur dalam segala perhelatan nan ajaib. Memang selayaknya aku bertanya dulu, siapa kamu, darimana asalmu. Jangan main asal selonong, tanpa lihat kiri-kanan! Aku sendiri tak mengerti, mengapa aku tertarik padamu? Padahal auramu tak lebih hijau dari padang gersang, bahkan suaramu tak lebih indah dari bunyi ranting patah. Ooh, aku tahu... Wangi semerbak tubuhmu yang sangat aku suka! Bila malam kita bercinta, dalam desahan kamu merayap di antara bulir-bulir darah merah, perlahan menggerayangi sukma... Pada akhirnya kamu tiba pada ambang hati, berteduh sejenak di sana, lalu memporak-porandakannya segala isinya. Sungguh tidak sopan! Tamu macam apa itu?! Semena-mena kamu bertandang meski tak kuundang, dan pergi begitu saja tanpa pesan.

*****

Kini kamu biarkan sisa-sisa yang hanya tinggal sampah puing dan debu. Melangkah dan melangkah, tak peduli atau menoleh lagi. Tanpa hati aku tak merasa gundah. Sesungguhnya aku benci! Aku benci bila tak merindukanmu lagi. Aku merana. Terisak. Aku meraung. Tak perlu kamu melipur, namun satu pintaku. Tanggalkan pakaianmu sejenak dan galilah disana, dibalik reruntuhan itu. Akan selalu terselip sebuah nama... 'Maut', bukankah itu namamu?

(RV070311)

http://artfuljunkie.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun