Ngomongin budaya yang ada di Indonesia tercinta ini ga akan ada habisnya kan? Seperti yang kita tahu beragam suku tentu membuat keberagaman dalam kebudayaan. Kita semestinya menjaga, mencitntai, dan juga melestarikan budaya peninggalan para pendahulu kita. Yuk sedikit menilik salah satu kebudayaan keren yang ada di Jawa.
Jathilan termasuk dalam jenis tarian daerah Jawa yang paling tua dan masih populer hingga sekarang ini. Jathilan ialah seni gerak atau seni tari yg sudah lumayan tua umurnya, berkembang pesat di Jogja, Jawa Tengah sampai sebagian Jawa Timur. Di daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta Jawa Tengah seringkali ditemui pagelaran maupun festival dengan jathilan sebagai penampilan utamanya. Jathilan sendiri berasal dari bahasa Jawa yakni "jaran thil-thilan" dalam bahasa Indonesianya adalah kudanya bergerak tidak beraturan. Nah hal ini dikarenakan tarian jathilan nantinya akan tidak beraturan.
Sebenarnya ada banyak macam tarian jathilan ini seperti jathilan kuda lumping, perwayangan, prajurit, dan lain-lain. Mulai dari kostum, aksesoris, dan juga properti yang digunakan dalan jathilan ini diselaraskan dengan jenis jathilan yang ditampilkan. Bila jathilan kuda lumping maka para penari biasanya akan memakai properti berupa jaran kepang (berasal dari bambu dan dianyam, maka disebut kepang) dan pecut untuk dimainkannya. Kemudian bila berkisah perwayangan maka kostumnya menyesuaikan dengan tokoh yang diperankan seperti kostum Petruk, Gareng, Semar, Anoman juga kethek serta aksesoris yang digunakan akan lebih banyak. Tak lupa biasanya tokoh prajurit juga membawa tongkat maupun pedangnya.
Ada dua versi yang berbeda dari kisah jathilan. Penasaran kan? Simak selengkapnya dibawah ini.
Versi pertama menceritakan bahwa jathilan mencerminkan semangat yang tinggi saat Raden Patah dan Sunan Kalijaga serta dibantu prajurit untuk melawan kekejaman tentara kolonial Belanda. Hal ini bertitik balik pada kesenian wayang yang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga yang bertujuan sebagai sarana pendekatan dan menarik hati rakyat pada saat itu kemudian kegigihan Sunan Kalijaga dan Raden Patah ini dituangkan dalam bentuk seni tari jathilan.
Sedangkan versi kedua ialah menceritakan bahwa jathilan adalah penggambaran dari prajurit Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Hemengku Buwono I yang juga melawan penjajahan Belanda. Lanjutan versi ini adalah jathilan kuda lumping adalah cermin dari prajurit penunggang kuda yang pemberani dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro, yang juga direfleksikan dalam patung Pangeran Diponegoro yang terkenal berada di dekat Monas, Jakarta Pusat dan juga Magelang.
Menonjolnya dari jathilan ialah merupakan refleksi dari tarian seorang ksatria yg sedang atau bertugas di medan perang, ditandai dengan seseorang ksatria yang naik kuda dengan membawa pedang di tanganya.
Banyak cerita tentang jathilan ini yang masih simpang siur sejarahnya, namun mau berasal dari kisah apapun kesenian jathilan ini masih sangat eksis dan digemari oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Benarkah jathilan identik dengan roh halus?
Biasanya dalam serangkaian pertunjukan tari jathilan terbagi dalam beberapa babak. Babak pertama ini diiringi oleh musik jawa yang masih santai dan juga gamelan lembut yang artinya para pemain jathilan menunjukkan kemahirannya dalam tarian yang gemulai. Pada babak awal ini tariannya dan para pemain masih sangat tersusun rapi. Kemudian pada babak kedua seringkali mulai menunjukkan peperangan antar penari dengan iringan musik gamelan yang bertempo lebih cepat dibandingkan dengan babak pertama. Babak ini adalah permulaan dari puncak penjathil, biasanya di babak ini juga penonton sudah mulai greget bahkan ketakutan.
Selanjutnya ialah babak ketiga dimana para penjathil sudah mulai tak terkendali, tariannya tidak beraturan karena telah dirasuki oleh roh halus yang mistis. Dalam bahasa Jawa disebut dengan "ndadi". Karena kerasukan roh halus maka para penari tidak sadarkan diri dan berbuat hal-hal diluar nalar manusia. Mulai dari berguling-guling, melukai dirinya sendiri, teriak, menangis, memakan bunga, dedaunandan sesajen, juga ayam segar yang masih hidup. Asli sih banyak penonton yang ketakutan. Bahkan banyak juga penonton yang ikut "kesetrum" atau kerasukan roh halus. Jadi bagi kamu yang nonton jathilan sampai pada babak penari yang kerasukan jangan melamun ya, apalagi pikiran kosong.
Bila dirasa penjathil telah terlalu lama dan berbahaya hingga dapat mengganggu penonton dan mebahayakan dirinya sendiri saat kerasukan roh halus alias "ndadi" pawang pun akan turun tangan. Tapi bukan pawang hujan ya, melainkan pawang tari jathilan yang dipercaya dapat mengendalikan roh yang merasuki penari. Biasanya pawang ini sudah ahli dan dianggap tetua dalam suatu paguyuban jathilan.
Oh iya tetapi di masa sekarang ini banyak juga jathilan yang dikreasikan agar tarian tidak monoton, disebut dengan pakem baru. Pakem baru cenderung banyak inovasi dan menarik karena tariannya dapat dinikmati oleh generasi muda. Pake baru ini lebih ditekan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya kepada generasi muda. Kreasi jathilan modern membagi dalam lima babak tarian dan dalam satu babak dimainkan oleh perempuan semua.
Melestarikan budaya tentu sangat penting dilakukan agar budaya itu tak lenyap ditelan zaman. Hidup di masa kemajuan teknologi tam seharusnya membuat kita meninggalkan kebudayaan nenek moyang. Jangan sampai budaya kita tidak dikenal oleh anak cucu di masa yang akan datang apalagi kalau diklaim oleh negara lain, bisa jadi masalah nantinya. Oleh karenanya ayo lestarikan budaya mulai dari hal disekitar kita.
Jadi udah tertarik nonton jathilan? Jangan lupa ajak temanmu juga ya agar lebih seru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H