matamu kail pancing
merobek padatnya isi tenggorokan dan tak bisa dilepas
malam itu kau memelukku erat
tanpa mengucap kata sebelumnya
lenganmu lengang bagi tubuhku yang tidak ingin bergerak bebas
hangat!!
bahkan lebih hangat dari perapian puncak gunung yang dibuat oleh para pendaki
aroma tubuhmu sampai di batang hidung
menusuk kenangan untuk nanti kuingat
malam menggulung warna merah pada amarah senja sore tadi
"jangan lepaskan pelukku" ucapmu berbisik
anggukku mengiyakan dikeheningan dan suara tetesan sisa hujan pada ranting tengah malam
bibirku dijahit oleh bekas kail pancing yang menekan di tenggorokan
tidak ada kata lagi
jarinya masuk ke sela-sela kosong
membentuk rasa yang tidak asing sebagai penguat genggamannya
seperti memberi jarak pada kalimat- "semua akan baik-baik saja"
tak ada angin yang menyapa kami
seolah-olah tahu bahwa itu akan menjadi sapaan terakhir baginya
peluknya semakin erat
memberi isyarat, sebentar lagi
sebentar lagi fajar akan tiba
dan kau akan bebas,
-tidak
kita akan terikat oleh kenangan
hatiku terus berbicara
sampai pada waktu yang tidak melambat sekalipun
kini fajar telah tiba
di sepanjang perjalanan
mampu kuingat raut wajah kesedihan itu
tatapannya seperti sumur dimusim kemarau
tubuhnya sudah tidak hangat lagi
lambaian tangan atas beban kosong sebagai akhir dari kata yang tidak terucap
tidak ada yang lebih perih dari luka yang terkena garam
tidak ada yang lebih hancur dari kerikil yang dipukul oleh pekerja keras
tidak ada yang lebih hancur dan perih dari pekerjaan yang tidak diinginkan -perpisahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H