Sudah sebulan ini saya memperhatikan para pendukung Ahok semakin menjadi-jadi “gila”nya dalam menyikapi kritikan-kritikan yang ditujukan kepada Ahok. Sepertinya di mata pendukung Ahok itu Ahok sudah menjelma bak Dewa yang tidak mungkin berbuat salah sama sekali.
Tetapi kalau dibilang seperti itu, mereka marah sekali dan menyerang balik. Ketika saya membuat beberapa Artikel yang mengkritisi Ahok, Saya sering diejek sebagai pendukung Ridwan Kamil yang sakit hati pada Ahok. Ada lagi yang menuduh saya anak buahnya Lulung. Yang lebih parah lagi ada yang menuduh saya orang-orangnya Daeng Azis yang sakit hati karena Kalijodo diobrak-abrik Ahok.
Betapa repotnya Demokrasi yang seperti ini. Pemimpin mereka tidak boleh dikritik, tetapi sebaliknya mereka menyerang siapa saja yang berusaha mengkritisi “Dewa” mereka. Buat mereka membully siapa saja yang mengkritik Ahok adalah hal yang Sah dan Halal. Benar-benar Demokrasi yang aneh.
Ahok adalah Pemimpin yang Kasar. Ini adalah Fakta. Mau didebat bagaimanapun juga tidak akan bisa. Tidak usah membela diri, bahwa Ahok kasarnya hanya pada tikus-tikus koruptor. Faktanya kekasaran Ahok itu berlaku umum. Contoh : kepada Guru-guru Honorer yang bertahun-tahun menuntut hak nya juga dikasari oleh Ahok. Bahkan Ahok sempat menuduh mereka hendak menyebarkan kebohongan.
Begitulah Ahok yang selalu curiga dengan siapapun. Ahok menyebut DPRD DKI sebagai Sarang Siluman. (ada dana-dana siluman yang timbul di DPRD). Faktanya kemudian yang menyulap dana-dana Siluman itu lebih banyak yang merupakan anak buahnya. Lebih Siluman Birokrat DKI dibanding Silumannya DPRD DKI. Itu fakta dan Ahok memang asal nuduh.
Jangankan DPRD DKI, Jokowi sendiripun dituduh Ahok sebagai orang yang menanda-tangani usulan Proyek-proyek Siluman. Faktanya kemudian terbongkar, dirinya sendirilah (Ahok lah) yang menanda-tangani APBD Perubahan. Kalau sudah seperti ini bagaimana? Seorang pemimpin yang gampang sekali curiga dan menuduh? Masih bisakah disejajarkan sebagai Dewa?
Dan terakhir adalah soal Sabotase yang dilakukan oleh Bungkus Kabel. Begitu mudahnya Ahok mengeluarkan statement bahwa Ada orang yang menyabotase untuk membuat Jakarta Banjir sehingga nama Ahok menjadi jelek. Ini apa-apaan? Pemimpin kok gampang sekali curiga dengan semua orang? Faktanya kemudian, setelah sebulan mengerahkan ratusan polisi, pasukan katak TNI hingga pasukan Lele Ahok tidak ditemukan bukti bahwa telah terjadi Sabotase. Yang ada hanyalah pencurian kabel listrik dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan sabotase darimanapun.
Sampai disitu, Ahok pura-pura tidak mendengar hasil kesimpulan Polisi. Ahok sibuk dengan berbicara hal lain. Dosa dia yang menuduh orang melakukan sabotase dia lupakan begitu saja. Tidak ada tanggung jawab moralnya untuk mengakui bahwa dia salah melemparkan tuduhan. Yang seperti ini tidak mungkin terlihat oleh para pendukung Ahok. Mata mereka sudah tertup. Dewa tidak akan pernah bisa salah.Begitulah pikiran mereka.
Penulis Senior Kompasiana Menjadi Tim Pembully Musuh-musuah Ahok.
Kemarin saya berkomentar keras di lapak artikel Kompasianer Senior Tjiptadinata Efendi. Tjipta ini mirip pengamat politik Tjipta Lesmana yang suka ngawur dalam berpendapat. Tjipta Efendi membuat artikel yang membodohi pembacanya dengan memblow-up Relokasi PKL Tanah Abang adalah Keberhasilan yang nyata dari seorang Ahok. Tjipta memperkuat asumsinya dengan foto-foto kondisi Tanah Abang terakhirnyang bersih dan rapih. Dia berbicara lewat gambar dan analisa dangkalnya.
Kalau mau membuat reportase yang benar seharusnya melampiri ulasannya dengan testimony warga Tanah Abang dong. Kalau hanya pendapat sendiri itu sama saja pendapat asal-asalan. Menjadi jurnalis warga itu harus punya nurani. Harus tidak boleh berpihak. Beritakan apa adanya. Gali nara-sumber sebanyak mungkin barulah membuat suatu kesimpulan.