Kurang lebih 15 tahun sudah Polri dipisahkan dari TNI. Tetapi berbeda dengan TNI yang semakin Profesional karena mampu melakukan Reformasi, yang terjadi di tubuh Polri justru terjadi sebaliknya. Polri semakin terlihat tidak professional. Prestasi Polri semakin anjlok dan Polri semakin jauh dari rakyat, sangat jauh dari slogannya yang digadang-gadangkan, yaitu melayani dan melindungi rakyat.
Belasan tahun berlalu sejak reformasi tetapi tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri semakin buruk saja. Mulai dari keluhan-keluhan di sekitar bidang lalu lintas (suap di jalan, suap pembuatan SIM dll.), keluhan proses penerimaan/perekrutan Polri (kabar beredar di masyarakat biaya masuk Polri mendekati ratusan juta rupiah), hingga diskriminasi dalam pelayanan penegakan hukum yang dialami masyarakat. Laporan/ Pengaduan kerugian masyarakat pun jarang ditanggapi kepolisian bila tanpa mengeluarkan uang jalan bagi para penyidik.
Prestasi Polri juga sulit diukur baik karena pertumbuhan Tindak Kejahatan semakin tinggi. Khususnya curanmor dan pembegalan menjadi momok yang menakutkan buat rakyat. Polri tidak begitu mempedulikan hal ini. Di sisi lain personil-personil Polri banyak yang terlibat dalam backing-membacking bisnis hiburan, bisnis sekuriti dan lain-lain.
Personil-personil Polri yang terlibat kejahatan di jalanan juga semakin banyak. Banyak yang terlibat kejahatan narkoba, terlibat kejahatan penyelundupan dan penimbunan barang-barang illegal hingga kejahatan berat lainnya. Bahkan beberapa oknum petinggi Polri terindikasikan terlibat Tindak Korupsi dan Gratifikasi dengan kerugian Negara puluhan miliar rupiah. Sebut saja nama Labora Sitorus, Irjen Djoko Susilo, dan lain-lainya.
Semua itu membuat begitu banyak masyarakat yang mengeluh. Sayangnya tidak ada ruang yang dapat dipakai untuk menampung segala keluhan tentang ketidakprofesionalan Polri. DPR tidak perduli dengan urusan ketidakprofesionalan Polri, apalagi lembaga-lembaga pengawas Polri seperti Provost, Kompolnas, maupun LSM-LSM lainnya.
Masyarakat paling hanya bisa mengeluh di warung kopi atau paling mampu mengeluh lewat media-media sosial yang ada. Dan sebenarnya bukannya keluhan-keluhan itu tidak sampai ke elit-elit Polri tetapi memang mereka tutup mata tentang hal tersebut. Bahkan Jiwa Korsa antar personil Polri begitu kuat sehingga yang dinilai masyarakat ada kecenderungan yang kuat di Polri untuk melindungi Personil Polri yang bermasalah ataupun melanggar hukum.
Berpisahnya dari TNI ternyata juga membuat Polri menjadi sangat berkuasa atas penegakan hukum meskipun di sisi lain mereka semakin tidak professional saja. Bahkan sepertinya mereka membentuk Oligarki tersendiri ataupun semacam Kerajaan Kecil di lingkungan mereka.
Tahun 2015 Adalah Tahun Kegelapan bagi Polri
Tahun 2015 ini akhirnya semakin membuka borok Polri bahwa Polri selain begitu sering mengecewakan masyarakat luas ternyata beberapa tahun belakangan ini elite-elitenya yang berada di puncak pimpinan institusi ini semakin rajin berpolitik. Ujung-ujungnya yang terlihat adalah semakin besar ambisinya untuk berkuasa.
Budi Gunawan adalah salah satu petinggi Polri saat ini yang mampu melakukan penetrasi ke partai-partai politik. BG benar-benar menguasai/menjadi bagian dari PDIP dan koalisinya, berikut Wakil Presiden yang ada sekarang ini. BG pun mampu menjalin hubungan baik dengan partai-partai yang tergabung di KMP yang dipimpin Golkar kubu ARB.
Fenomena polisi berpolitik ini memang sangat tampak pada sosok BG. Keterlibatannya pada saat kampanye Pilpres 2014 membuat BG diharuskan oleh PDIP dan koalisinya untuk menjadi kapolri. Tetapi ternyata sepanjang karier BG diduga mempunyai masalah. Ada dugaan dari PPATKbahwa BG memiliki transaksi mencurigakan. Salah satunya BG pernah mendapat kucuran dana Rp 56 miliar untuk bisnis anaknya.
Soal rekening gendut BG pernah dilaporkan PPATK ke Bareskrim Polri tetapi kasus itu tidak dianggap sebagai kasus oleh Bareskrim Polri. Posisi BG terlalu kuat di internal Polri. BG juga didukung para petinggi Polri lainnya. Salah satunya yang menjadi Tangan Kanan BG adalah Budi Waseso yang merupakan calon besannya juga. Dan Budi Waseso juga diberitakan/diisukan memiliki hubungan keluarga dengan petinggi PDIP, yaitu Cahyo Kumolo yang saat ini menjadi menteri dalam negeri.
Kasus Rekening Tidak Wajar BG yang dilaporkan PPATK pada tahun 2010 ternyata tidak ditanggapi Bareskrim Polri sehingga PPATK melaporkannya kembali ke KPK. KPK pun akhirnya mulai menyelidiki kasus rekening ini sejak tahun 2013. Dan memang akhirnya KPK mengumumkan BG menjadi tersangka pada pertengahan Januari 2015 di saat Budi Gunawan diusulkan Presiden untuk menjadi kapolri.
Dan akhirnya terjadilah polemik berkepanjangan berkaitan dengan Budi Gunawan. Presiden Jokowi sudah telanjur memberhentikan Kapolri yang lama, Jenderal Sutarman. Akhirnya Presiden menunda pengusulan BG untuk menjadi kapolri. Di sisi lain Presiden dipaksa PDIP dan koalisinya berikut Wapres Jusuf Kalla untuk mengangkat Tangan Kanan BG, Budi Waseso menjadi Kabareskrim Polri. Dan mulai saat itu pula Polri menjadi beringas tak terkendali.
Penundaan BG menjadi kapolri dan pengangkatan Budi Waseso menjadi kabareskrim mulai menimbulkan “bencana”.4 Pimpinan KPK tiba-tiba dijerat kasus-kasus yang aneh. Begitu juga dengan pegawai-pegawai struktural KPK mendapat panggilan untuk dimintai keterangan oleh Bareskrim. Di sisi lain juga dari pegawai-pegawai KPK mengaku sering diteror oleh orang-orang yang tidak jelas.
2 pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad langsung dijadikan target Tersangka oleh Budi Waseso. Bahkan Bambang Widjojanto sempat ditangkap dan diborgol di Depok oleh petugas Bareskrim yang menjadi pengikut Budi Gunawan di Lemdikpol. Begitu juga dengan Abraham Samad yang dikenai tuduhan Pemalsuan KTP dan KK pada tahun 2007.Kasus-kasus sepele ini akhirnya membuat KPK kehilangan 2 Komisionernya (harus dinonaktifkan karena menyandang status Tersangka).
Selain KPK ternyata Kabareskrim yang baru juga membidik siapapun yang diindikasikan membela KPK. Media Tempo sempat dijadikan target oleh Budi Waseso. Bahkan Komnas HAM yang memprotes penangkapan/ pemborgolan BW juga disomasi oleh para penyidik Bareskrim yang notabene anak buah Budi Gunawan. Dan akhirnya Pegiat Anti Korupsi Denny Indrayana pun dikenai kasus oleh Budi Waseso.
Selanjutnya Polri mampu menekan Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar mau menyidangkan Gugatan Praperadilan BG terhadap KPK. Ini menjadi sejarah kelam dunia hukum Indonesia di mana Objek Penetapan Tersangka menjadi materi gugatan dari seorang tersangka. Dan tidak disangka-sangka oleh Hakim Sarpin yang ditugaskan mengadili, gugatan Praperadilan BG dikabulkan. BG pun lolos dari proses hukum yang sudah berjalan.
Di sisi lain perseteruan Polri Vs KPK masih saja memanas. Cicak Vs Buaya Jilid 3 ini benar-benar menyita perhatian publik. Dan akhirnya Presiden memperingatkan agar tidak boleh ada Kriminalisasi dan tidak ada yang boleh merasa paling berkuasa di atas hukum.Presiden pun meminta kedua institusi ini cooling down dulu sehingga pimpinan KPK yang ada dengan WaKapolri Badrodin Haiti membuat kesepakatan untuk itu.
Selanjutnya untuk BG sendiri meskipun sudah dinyatakan sementara bebas Tersangka oleh Presiden Jokowi tidak dilantik menjadi kapolri dengan alasan mayoritas publik menolak BG. Badrodin Haiti pun akhirnya dilantik menjadi kapolri sementara BG masih menjabat pada jabatan sebelumnya. Kasus BG di KPK pun dipaksa untuk diserahkan ke Kejaksaan Agung. Dan lucunya lagi oleh Kejaksaan Agung diserahkan kembali ke Bareskrim Polri. Sudah bisa ditebak bagaimana nanti akhirnya penyelesaiannya.
Sampai di titik itu kondisi perseteruan KPK Vs Polri mulai kondusif. Tidak terdengar lagi di Media adanya gerakan KPK mengusut kasus BG maupun tidak ada gerakan dari Bareskrim Polri untuk mengusut Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Tetapi tiba-tiba pada saat Presiden sibuk dalam peringatan Konfrensi Asia Afrika di mana perhatian publik tercurah ke sana Polri melakukan acara tersendiri, yaitu melantik BG menjadi wakapolri mendampingi Badrodin Haiti. Masyarakat memprotes keras tetapi sudah sangat sulit diterima karena hal tersebut sudah terjadi.
Balas Dendam Kembali Terjadi Berikut Pembangkangan terhadap Presiden
Dan ternyata benar seperti apa yang dikuatirkan masyarakat. Begitu BG menjadi wakapolri maka kendali Polri langsung berada di tangan Duo Budi, yaitu Budi Gunawan dan Budi Waseso yang didukung penuh PDIP dan koalisinya. Kapolri yang ada, yaitu Badrodin Haiti, pun menjadi Kapolri Boneka.
Sudah jelas ada perintah-perintah Presiden bahwa tidak boleh ada kriminalisasi dan pihak yang merasa paling berkuasa atas hukum. Sudah ada juga kesepakatan antara Kapolri dengan pimpinan KPK di mana dalam 2 bulan akan melakukan cooling down dulu untuk memperbaiki hubungan KPK dengan Polri.
Tetapi memang yang namanya Budi Waseso memang semakin buas ketika bosnya Budi Gunawan sudah menjadi wakapolri. Buwas tidak perduli dengan perintah Presiden, Buwas tidak peduli dengan kesepakatan yang ada antara Kapolri dengan pimpinan KPK.
Dalam 1 minggu terakhir Buwas melakukan maneuver-manuvernya sendiri. Ajang balas dendam terjadi lagi. Bambang Widjojanto sempat dijadikan tahanan (sudah Berita Acara Penahanan) tetapi akhirnya dibatalkannya sendiri karena sebenarnya bukti-bukti masih kurang. Begitu juga dengan Abraham Samad yang sudah mau ditahan di Polda Sulselbar tetapi akhirnya dibatalkan karena dijamin 5 pimpinan sementara KPK.
Tidak puas karena tidak berhasil memenjarakan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, maka Buwas (Budi Waseso) langsung membidik Penyidik KPK Novel Baswedan. Novel langsung ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa Gading kemarin dini hari. Novel dijerat tuduhan kasus usang tahun 2004 sewaktu Novel Baswedan menjadi Kasatreskrim Polres Bengkulu.Kasus Novel yang diindikasikan menembak pencuri sarang burung walet pada tahun 2004 ini dikasuskan pada tahun 2012 saat terjadi Cicak Vs Buaya jilid 2 yang akhirnya ditengahi oleh SBY (Presiden saat itu).
Penangkapan Novel Baswedan dini hari kemarin jelas-jelas melanggar kesepakatan antara Pimpinan Polri dengan Pimpinan KPK. Siang Kemarin setelah Shalat Jumat, Presiden Jokowi pun memerintahkan Novel Baswedan untuk tidak ditahan oleh Bareskrim Polri.
Tetapi apa yang terjadi? Oleh Kabareskrim Budi Waseso perintah Presiden itu dikatakannya lebay. Buwas menganggap Presiden melakukan intervensi pada kasus Novel Baswedan. Bahkan oleh Buwas, Novel langsung diterbangkan ke Bengkulu dengan alasan rekonstruksi kasus Novel tersebut. Celakanya Wakil Presiden Jusuf Kalla malah mendukung proses hukum yang dipaksakan oleh Buwas.
Jelas-jelas ini pembangkangan terhadap Presiden Republik Indonesia. Kabareskrim Budi Waseso yang notabene Tangan Kanan Budi Gunawan sangat tidak menghormati Presiden yang merupakan atasan/pemimpin tertinggi Polri. Budi Waseso juga tidak menghormati Presiden sebagai lambang Negara. Wakil Presiden pun juga tidak membantu Presiden malah mendukung petinggi Polri yang membangkang.
Tahun 2015 ini akan menjadi sejarah bahwa seorang Bareskrim Polri yang baru dilantik tanpa prestasi secara jelas-jelas membangkang perintah Presiden. Inilah Tahun Kegelapan bagi institusi Polri.
Tidak bisa tidak insitusi ini harus segera direformasi secepatnya sebelum menjadi lebih rusak lagi. Entah bagaimana nasib bangsa ini kalau institusi Penegak Hukum yang ada dikuasai orang-orang yang hanya ingin berkuasa tanpa peduli siapa pun termasuk Presidennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H