[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Bawaslu (KOMPAS.com)"][/caption]
Berjuta-juta penduduk Indonesia terkejut mendengar pidato Capres Prabowo pada jam 14.20 kemarin yang menyatakan menarik diri dari keikutsertaannya pada Pemilu Presiden 2014 sekaligus meyatakan sikap untuk menolak Hasil Rekapitulasi Pilpres 2014 oleh KPU.
Seharusnya tadi malam tanggal 22 Juli 2014 adalah malam kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia karena telah berhasil melaksanakan sebuah proses Demokrasi yang berjalan dengan baik dan lancar sehingga Indonesia mempunyai Pemimpin yang Baru untuk 5 tahun kedepan.
Seharusnya tadi malam adalah malam yang melegakan baikbagi mereka yang kecewa karena Tokoh yang didukungnya tidak menang maupun mereka yang bersuka cita karena yang didukungnya menang. Mereka lega karena akhirnya Pilpres 2014 sudah dinyatakan selesai dan sudah ditetapkan sebagai pemenangnya sehingga Negara ini sudah memiliki kepastian akan siapa pemimpin berikutnya untuk 5 tahun kedepan.
Begitu juga mereka lega karena proses pemilu ini berjalan dengan kondusif dan lancar sehingga begitu dinyatakan selesai maka tidak ada kekuatiran lagi di hati mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kalau pilpres belum juga usai.Dan satu lagi kelegaan mereka adalah dengan selesainya Pilpres 2014 maka kehidupan mereka akan berjalan normal kembali. Sudah tidak ada lagi perdebatan siapa memihak siapa maupun perdebatann lagi tentang siapa angka 1 dan siapa angka 2 sehingga seharusnya malam ini bangsa ini kembali bersatu untuk menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya.
Tetapi Pidato Capres Prabowo itu sangat mengganggu masyarakat.Pidato itu memberikan begitu banyak beban bagi masyarakat. Dan pertanyaan kemudian, apakah Pilpres 2014 ini sudah selesai atau belum? Apakah yang sudah ditetapkan oleh KPU bahwa Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai PIhak yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden itu sudah berlaku?
Kalau PIlpres ini memang belum selesai maka kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya kekacauan masih tetap ada. Kalau memang pilpres belum selesai maka kemungkinan-kemungkinan perdebatan-perdebatan di masyarakat masih ada.Kenapa ini harus terjadi?
Mengapa tidak diselesaikan saja secepatnya sehingga masyarakat bisa kembali hidup normal? Mengapa tidak diselesaikan saja secepatnya agar masyarakat bisa merayakan Lebaran dengan tenang?
Prabowo dan Kebenarannya yang Absurd
Bahwa pada berkali-kali kesempatan setelah Hari Pencoblosan tanggal 9 Juli kemarin, Prabowo menyatakan pihaknya yang memenangkan Pilpres ini. Pada tanggal 9 Juli sore berdasarkan hasil quick count yang ditayangkan TV One dari 3 lembaga survey yang ada menyatakan bahwa Prabowo unggul dari Jokowi.
Akan tetapi keesokan harinya 3 lembaga survey tersebut menjadi sorotan masyarakat dan banyak pihak karena sepertinya hasil quick count yang dihasilkan lembaga-lembaga tersebut sangat meragukan kebenarannya. Bahkan pelaku pasar ekonomi langsung memberikan respon negative kepada saham-saham dari perusahaan-perusahaan pemilik stasiun TV-stasiun TV tersebut dengan menjual saham-saham tersebut semurah-murahnya.Dan itu diartikan bahwa masyarakat luas tidak percaya dengan kredibilitas 3 lembaga survey yang memenangkan Prabowo.
Akhirnya kemudian hasil quick count dari 3 lembaga survey tersebut tidak digunakan lagi oleh Prabowo dan selanjutnya Prabowo menggunakan perhitungan manual yang dilakukan oleh PKS yang merupakan salah satu partai pendukung Prabowo.
Dan menurut perhitungan PKS sejak tanggal 10 Juli hingga tanggal 17 Juli kemarin angka perolehan Prabowo masih diatas angka perolehan Jokowi sehingga kembali dalam berbagai kesempatan Prabowo mengulang kembali klaim kemenangannya.
Akan tetapisetelah tanggal 15 Juli dimana KPU sudah melakukan transparansi perhitungan dengan mengupload data scan formulir C1 ke situs resminya sehingga membuat siapapun juga dapat menghitung perolehan hasil suara Pilpres, mulailah Prabowo dilanda keraguan akan kebenaran perhitungan dari pihak pendukungnya (PKS).Apalagi pada saat itu bermunculan juga situs-situs independen yang ikut mempublikasikan perhitungan perolehan suara KPU berdasarkan data C1 yang sudah diupload dan dipublikasikan oleh KPU Pusat.
Di suatu sisi, PKS sebagai mitra koalisi Prabowo masih tetap selalu dan selalu menyodorkan hasil-hasil perhitungan suara berdasarkan hasil catatan para saksi PKS di lapangan (di TPS-TPS yang ada). Disamping itu pula PKS menginformasikan kepada Prabowo tentang dugaan-dugaan kecurangan yang terjadi pada sejumlah TPS terutama TPS-TPS di DKI Jakarta dan sejumlah TPS di jawa Timur.
Tentu saja dugaan-dugaan itu barulah merupakan kecurigaan dari para saksi-saksi dari PKS. Belun dapat dipastikan kebenarannya.
Sayangnya lama kelamaan Prabowo mulai percaya dan sekaligus menjadikan dugaan kecurangan yang ada sebagai kambing hitam akan kekalahan angka Prabowo yang terpublish oleh KPU dan situs-situs independen yang ikut menghitung hasil pemilu.
Selanjutnya pihak yang terkait adalah Bawaslu Propinsi DKI yang diketuai oleh Minah Susanti.Ketua Bawaslu merima laporan-laporan dari Ketua Tim pemenangan Prabowo-Hatta dan sepertinya MInah Susanti percaya dan beberapa kali memberikan rekomendasi kepada KPUD DKI untuk melakukan beberapa hal.
Bawalu DKI merekomendasikan KPUD DKI untuk melakukan perhitungan ulang di 15 TPS di Jakarta Utara pada tanggal 10 Juli dan KPU DKI sudah melakukannya dengan hasil yang sama yaitu Kemenangan Jokowi-JK pada TPS-TPS tersebut. Berikutnya tanggal 17 Juli Bawaslu DKI merekomendasikan KPUD DKI untuk melakukan Pencoblosan ulang 16 TPS di DKI.Tapi kemudian diralat oleh Bawaslu DKI bahwa hanya 13 TPS saja yang perlu PSU (Pemungutan Suara Ulang) atau pencoblosan.
Untuk itu kembali KPUD DKI telah melakukan PSU di 13 TPS dengan hasil tetap untuk kemenangan Jokowi-JK.Tetapi bersamaan dengan itu MInah Susanti kembali meminta KPU DKI melakukan Crosscheck ke 5.812 TPS karena menurut laporan tim Prabowo-Hatta terjadi kecurangan-kecurangan di TPS tersebut.Nah dalam hal ini KPUD DKI tidak menjalankan rekomendasi tersebut karena permintaan tersebut bersamaan dengan permintaan PSU di 13 TPS. Dan KPUD DKI pada tanggal 19 Juli 2014 sedang berkonsentrasi untuk melakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang) di 13 TPS yang ada berikutjuga masih melakukan proses perhitungan pada hampir keseluruhan di TPS-TPS yang ada di DKI Jakarta.
Dan hal inilah yang menjadi kata kunci dari tuduhan Prabowo bahwa KPU mengabaikan rekomendasi dari Bawaslu.Di titik inilah yang menjadi dasar alasan utama pihak Prabowo untuk menyatakan mundur dari Pilpres 2014.Memang setelah dari masalah itu PKS semakin memprovokasi dengan memberikan catatan kepada Prabowo bahwa di seluruh Indonesia diduga terjadi kecurangan di 21.000 TPS. Dan Prabowo langsung percaya.
Bila kita meneliti permasalahannya ini mungkin kita perlu memutar kembali rekaman perdebatan di KPU kemarin dimana Ketua KPU mempersilahkan kepada Ketua BawasluDKI untuk berbicara. Dan poin yang harus kita cermati adalah Minah Susanti menyatakan bahwa dirinya sebagai Ketua Bawaslu DKI tidak pernah merekomendasikan Pencoblosan Suara Ulang untuk 5.812 TPS di DKI. Ia hanya meminta KPU DKI untuk melakukan pengecekan proses pemilihan suara/ perhitungan suara di 5.812 TPS tersebut. Dan menurut Minah KPU DKI tidak melakukan rekomendasi tersebut.
Mari kita sama-sama berpikir jernih untuk masalah ini. Perdebatan antara Bawaslu DKI dan KPU DKI tentang tidak dilaksanakannya proses pemeriksaan di 5.812 TPS terjadi pada tanggal 19 Juli 2014. Kalaupun KPU DKI bersedia melakukannya tentu waktu yang ada tidak cukup karena jadwal penetapan Pemenang Pilpres adalah tanggal 22 Juli 2014. Apalagi yang dipermasalahkan barulah merupakan DUGAAN telah terjadinya kecurangan sehingga KPU DKI kurang/ tidak merespon rekomendasi Bawaslu DKI untuk melakukan pengecekan terhadap 5.812 TPS tersebut.
Saya tidak tahu pasti yang terjadi dengan Bawaslu Pusat. Apakah dengan sikap KPU DKI tersebut Bawaslu DKI melaporkannya ke Bawaslu Pusat atau tidak. Yang pasti jugadari Bawaslu Pusat pun tidak ada rekomendasi apapun ke KPU Pusat berkaitan dengan 5.812 TPS ini.
Jadi kesimpulannya adalah rekomendasi yang telah dikeluarkan kepada KPU hanyalah Rekomendasi dari Bawaslu Propinsi DKI kepada KPU DKI dengan 3 rekomendasi yaitu : Perhitungan Ulang di TPS tanjung Priuk (sudah dilaksanakan oleh KPU), Pencoblosan Ulang di 13 TPS (sudah dilakukan juga oleh KPU DKI) dan Permintaan untuk mencek ke 5.812 TPS di DKI (Tidak/ belum dilakukan oleh KPU DKI dengan alasan waktu yang tidak cukup dan belum ada bukti kecurangan melainkan baru merupakan dugaan saja).
Dan pertanyaan berikutnya adalah : Mengapa Mimah Susanti begitu yakin merekomendasikan KPU DKI untuk mengecek 5.812 TPS ini? Mengapa Minah Susanti tidak mencoba menetralisir kondisi tersebut di Bawaslu DKI terlebih dahulu? Apalagi laporan Tim Prabowo baru masuk tanggal 17 Juli 2014 (Sudah melewati batas waktu pelaporan ke Bawaslu).Dan mengapa Minah hanya berpikir tentang Pilpres 2014 di DKI saja dan tidak mempertimbangkan proses Pilpres 2014 ini secara keseluruhan yang sedang berlangsung di seluruh Propinsi?
Tuduhan Prabowo Yang Sangat Berlebihan.
Dan inilah isi utama dari pidato Prabowo di rumah Polonia kemarin. (saya memberi garis bawah pada poin-poinnya):
Mencermati proses pelaksanaan pilpres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kami menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya proses Pilpres 2014 sehingga hilangnya hak demokrasi warga negara Indonesia, antara lain:
1. Proses pelaksanaan Pilpres 2014 yang diselenggarakan oleh KPU bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai pelaksana, KPU tidak ADIL dan TIDAK TERBUKA. Banyak aturan main yang dibuat, dilanggar sendiri oleh KPU
2. Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhadap segala kelalaian dan penyimpangan di lapangan di berbagai wilayah tanah air diabaikan oleh KPU
3. Ditemukannya sejumlah tindak pidana kecurangan pemilu dengan melibatkan pihak penyelenggara pemilu dan pihak asing dengan tujuan tertentu hingga pemilu menjadi tidak jujur dan adil
4. KPU selalu mengalihkan masalah ke Mahkamah Konstitusi seolah-olah setiap keberatan dari tim Prabaowo-Hatta merupakan bagian dari sengketa yang harus diselesaikan melalui MK. Padahal sumber masalahnya ada pada internal KPU.
5. Terjadi kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematik pada pelaksanaan Pemilu 2014.
Atas beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka kami capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pengemban mandat suara dari rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 45 akan menggunakan hak konstitusional kami: MENOLAK pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum dan kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung.
Dan poin-poinnya adalah :
1.KPU sebagai Pelaksana Pemilu bersikap Tidak Adil, Tidak Terbuka dan melanggar peraturannya sendiri. Tuduhan ini terlalu naïf dan sangat berprasangka. Dengan dasar apa Prabowo mengatakan KPU tidak adil ? KPU sangat terbuka melaksanakan pemilu. Form C1 dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya. Dan peraturan mana yang dilanggar oleh KPU, Prabowo tidak menyebutkannya.
2.Rekomendasi Bawaslu kepada KPU terhadap segala kelalaian/penyimpangan di lapangan diabaikan oleh KPU. Ini tuduhan yang sangat berlebihan,tidak berdasar dan tidak terbukti sama sekali. Mungkin Prabowo lupa bahwayang terjadi pada setiap Pemilu di negeri ini baik Pilpres, Pileg, dan Pilkada tidak semua rekomendasi Bawaslu dapat dipenuhi oleh KPU.Dan bila masalah itu memang harus diselesaikan maka masih ada wadah lain yaitu mengajukan gugatan ke MK.
3.Ditemukan sejumlah tindak pidana kecurangan yang dilakukan Penyelenggara Pemilu dan PIhak asing. Ini adalah tuduhan yang ngawur dan tidak berdasar sama sekali. Kalau tidak mau disebut ngawur seharusnya Prabowo menyebut siapa-siapa pihak yang dimaksud. Apakah Pemerintah, apakah KPU, apakah Bawaslu, apakah Media Asing, apakah Konsultan Asing? Dan lain-lain sebagainya.
4. KPU selalu melemparkan tanggung jawabnya ke MK, semua pengaduan Prabowo-Hatta harus ke MK. Ini tuduhan yang sangat subjective dan penuh perasaan saja.
5.Terjadi kecurangan massif, tersruktur dan sistematik pada Pilpres 2014. Ini tuduhan yang serius. Berani melemparkan tuduhan seperti ini seharusnya berani membuktikan ada fakta-fakta tentang itu. Apakah Prabowo berani?
Dan akhirnya kesimpulan akhirnya adalah sejak Pilpres 2014 digelar Prabowo sebagai konstestan Pilpres memang tidak siap. Sejak menggunakan quick count dari 3 lembaga survey abal-abal sudah terlihat bahwa Prabowo hanya ingin mengulur-ngulur waktu saja.Selanjutnya semua data yang digunakan untuk mengklaim kemenangannya adalah palsu. Kasus di Inilah.com yang mempublish real count PKS ternyata sama dengan hasil Polling sebelum Pilpres menjadi bukti bahwa data milik PKS sangat tidak bisa dipercaya, akan tetapi Prabowo menggunakannya sebagai dasar klaim kemenangan.
Dan selanjutnya pada tanggal 17 Juli 2014 dimana data Scan Form C1 yang dipublis KPU sudah mencapai 90% sudah Nampak bahwa Kekalahannya berada didepan mata, maka Prabowo mencari cara lain untuk membatalkan hasil putusan.
Hal yang paling mudah dilakukan adalah menyatakan KPU curang dengan mencoba mengumpulkan bukti-bukti dari saksi-saksi PKS. Kita semua sudah mengetahui bahwa kader-kader PKS adalah mereka yang gemar merekayasa segala sesuatu shingga dengan suka rela mereka melakukan hal-hal tersebut dan menyerahkannya kepada Prabowo.
Dansatu point yang menjadi dasar paling kuat dari tuduhan Prabowo kepada KPU adalah menyatakan KPU tidak menjalankan Rekomendasi Bawaslu untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang di 5.812 TPS di DKI. Inilah landasan paling utama dari Prabowo untuk menggugat KPU.
Sayangnya Prabowo betul-betul keliru. Karena Bawaslu tidak pernah mengeluarkan rekomendasi seperti itu ke KPU. Yang ada hanyalah Rekomendasi dari Bawaslu Propinsi DKI kepada KPU Propinsi DKI pada tanggal 18 Juli untuk memeriksa 5.812 TPS dimana KPU DKI tidak berhasil melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H