"Hidup bukan untuk disia-siakan. Hidup itu untuk diperjuangkan. Sesulit apa pun Tuhan memberikan ujian, maka jalanilah dengan tegar. Jika kamu sudah tidak mampu, maka berdoalah dan minta pertolongan pada Tuhanmu".
Ketika pikiranku menerawang masa lampau, kata-kata itu selalu teringat di dalam pikirku. Seakan terukir di hati dan pikiranku. Kata-kata itu adalah pesan terakhir almarhum ayahku dulu. Sosok Beliau yang selalu bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi setiap harinya sudah seperti pahlawan bagiku. Walau tak selalu bisa makan setiap harinya, namun dengan kehadirannya saja sudah membuatku merasa kenyang. Senyum di dalam penderitaannya membuaku selalu tenang. Meskipun akhirnya aku selalu menangis ketika gambaran senyum itu selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku. Tak pernah sekali pun kulihat kesedihan terukir di wajahnya. Yang ada hanya helaan napas lega karena bisa melihatku baik-baik saja.
Namun, semua itu kini sudah sirna. Yang tersisa hanya kenangan semata dan gambaran-gambaran senyum darinya yang selalu menemani malamku. Semenjak Beliau sudah tidak ada lagi dunia ini, maka aku melanjutkan perjuangannya. Aku mengurus ibuku yang sakit-sakitan. Demi untuk sebuah pil guna meringankan rasa sakit ibuku, aku rela harus bekerja setiap hari. Meskipun akhirnya aku tak dapat makan dan merasakan kehidupan normal, namun mau bagaimana pun juga, aku tetaplah setitik harapan bagi ibuku.
Percikan sinar matahari pagi itu membangunkanku dari tidur. Ketika kubuka kedua mataku, ternyata aku berada di bekas bangunan itu lagi. Aku ketiduran lagi di tempat ini. Batinku. Aku beranjak dan segera pergi. Aku harus mengumpulkan beberapa plastik dan barang-barang bekas. Ibuku pasti sudah menunggu kehadiranku. Apalagi, obat yang seminggu lalu kubelikan untuknya, sudah semakin sedikit.
Sambil membawa sebuah karung berisikan plastik-plastik bekas, aku berjalan gontai. Mungkin karena efek kelelahan. Badanku terasa pegal-pegal. Dan juga kepalaku memang terasa sedikit pusing. Namun seperti biasa, aku pergi ke daerah pertokoan di kota demi mengorek beberapa tempat sampah untuk mendapatkan plastik-plastik bekas.
Kota dipenuhi dengan orang-orang dan kesibukan mereka masing-masing. Segerombolan remaja dan anak-anak memakai seragam sekolah. Beberapa kali kupandangi mereka. Hal yang wajar bila kupandangi mereka yang bahagia tersenyum simpul, menggunakan seragam sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terpungkiri karena aku menginginkan hidup semacam itu. Berangkat sekolah bersama teman-teman. Mengunjungi rumah teman untuk mengerjakan tugas. Dimarahi guru karena telat. Aku menginginkannya. Namun semenjak saat itu, keinginan tersebut telah kukubur dalam-dalam di benakku.
"Eh! Jangan sembarang mulung di sini!" pekik salah satu pemilik toko padaku.
"Ma-maaf, Pak," kataku pelan kemudian segera pergi.
Hal itu sudah bukan hal yang baru lagi. Aku sudah seringkali dimarahi oleh para pemilik-pemilik toko. Mau bagaimana lagi? Ini adalah pekerjaanku. Mau tidak mau, aku harus melakukannya.
Aku seringkali merasa bahwa Tuhan tidak adil. Tatkala pikiran itu meracuniku, bayangan dan kalimat-kalimat bijak ayahku selalu mengusirnya. Oh, Tuhan. Maafkan aku atas dosa-dosaku. Batinku.
Plastik bekas yang kukumpulkan sudah cukup banyak. Aku pun segera pergi ke tempat penjualan plastik bekas. Setelah ditimbang, ternyata hanya bernilai 25.000. Dan itu artinya, aku hanya mendapatkan 10 kg plastik hari ini. 1 kg plastik bekas hanya bernilai 2.500. Walau terbilang sangat rendah, tetapi bagiku itu sudah cukup untuk sarapan ibuku pagi ini. Aku segera membeli dua nasi bungkus kemudian membawanya pulang. Tentu saja aku juga memasang sebuah senyum simpul untuk ibuku.
"Assalamualaikum,Bu."
Aku segera memasuki rumah.
"Kamu sudah pulang, Nak?" ibuku beranjak dari tempat tidurnya.
"Iya, Bu. Ini aku bawa sarapan untuk Ibu," kuberikan sebungkus nasi pada ibuku.
"Terimakasih, Alfan. Kamu sudah sarapan, Nak?" tanya ibuku seraya meletakkan sebungkus nasi di atas meja.
"Belum. Alfan mau sarapan bareng Ibu."
"Ya sudah. Yuk, berdoa dulu sebelum makan!" kata ibuku terbatuk-batuk.
"Iya, Bu," aku pun segera duduk di ranjang ibuku.
Ibuku mengangkat tangan. Berdoa.
"Amin!"
"Tunggu sebentar, Bu. Alfan ambilkan piring sama sendok dulu," aku segera melangkah menuju dapur.