Bogor (18/3) - Pada siang hari ini terik matahari sehabis hujan sangat terasa panas sehingga menyengat sebagian besar jalanan kecil di daerah Ciampea, Kabupaten Bogor ini. Ada banyak sekali lahan sawah di samping kiri dan kanan jalan sembari para petani sedang mengelola lahannya masing-masing. Setelah menulusuri jalanan yang penuh tanjakan di sana, terlihat satu petani yang terlihat berbeda, bertubuh kurus, rambut putih, dan terlihat tua renta. Beliau sedang mengelola lahan pertaniannya ditengah panasnya matahari siang. Beliau adalah Pak Acang. Benar saja difisiknya yang terlihat sudah tidak muda lagi, Pak Acang sudah berumur tujuh puluh tahun lebih. Pak Acang pun sampai lupa dengan umurnya secara spesifik, beliau menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai patokan umurnya. Lalu, apakah anda pernah berfikir bila anda dilahirkan sebagai petani? Ya, itulah yang dialami oleh Pak Acang. Beliau terlahir dari keluarga yang sudah memiliki tradisi bertani secara turun-temurun. Dari kecil, beliau sudah diajarkan untuk bertani oleh orang tuanya. Beliau pun sekarang sebagai pengelola utama dari lahan milik keluarganya dari turun temurun.
Di lahannya tersebut Pak Acang menanami berbagai macam tanaman, diantaranya adalah padi, palawija, ketimun, kacang, dan ubi. Setelah ditanya bagaimana proses penanamannya, Pak Acang hanya menjawab “Saya membeli benihnya di pasar, lalu saya sebar benihmya di lahan saya ini, lalu saya tunggu selama dua puluh dua hari” begitu katanya. Masa panen dari tanamannya tersebut rata-rata adalah tiga bulan. Pak Acang juga memberitahukan hambatan-ambatan yang dialami saat sedang masa panen. Dari mulai hama sampai dengan yang paling sulit di atasi yaitu burung-burung.“Kalau hama saja masih bisa membasminya dengan menyemprotkan pestisida, tapi kalau sudah burung-burung yang mengganggu saya hanya bisa pasrah” ujar pria yang berkulit sawo matang ini. Beliau juga mengatakan air di daerahnya tersebut sangat tidak bagus sehingga menghambat proses panen dari tanaman-tanaman Pak Acang.
Hasil kerja Pak Acang ini ada yang untuk pribadi ada juga yang untuk dijual.”Kalau padi saya kelola untuk diri sendiri, untuk makan sehari-hari, sedangkan kalau seperti ubi, timun, dan kacang biasanya saya jual ke pasar atau ke TU.” Ujar Pak Acang. Setelah selesai berbincang-bincang dengan pak Acang, tidak jauh dari lahannya terlihat satu lagi petani yang sedang bekerja keras mengurusi lahannya, rasa penasaran ingin berbincang pun timbul dari hati. Akhirnya maksud hati pun terkabul. Petani lainnya tersebut bernama Pak Sanip.
Ternyata Pak sanip memiliki persamaan identik dengan petani sebelumnya, Pak Acang. Mereka sama-sama dilahirkan sebagai seorang petani. Pak Sanip juga mendapatkan ilmu bertaninya dari orang tuanya. Dari kecil beliau sudah bertani membantu orang tuanya. Namun, bedanya Pak Sanip berumur lebih muda dari Pak Acang, memang fisik dari Pak Sanip terlihat lebih bugar dari Pak Acang.
Begitulah dua petani yang saya temui di daerah Ciampea, Kabupaten Bogor ini. Keduanya memiliki persamaan, sama-sama terlahir dan sudah bertani dari kecil. Mereka berdua juga sama-sama bekerja keras diusia yang sudah tidak muda lagi. Mungkin mereka tidak terlihat, tapi tanpanya orang-orang seperti kita tidak akan tercekupi seperti sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H