Hari belum jam 8 pagi, sebelum masuk kerja seperti biasa menghirup dulu secangkir kopi di sebuah warung kopi. Hal ini biasa saya lakukan, karena sebagai "orang baru" / pendatang di sebuah kota, mungkin ini cara saya berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Sambil menikmati secangkir kopi, di warung yang datangi, ada beberapa orang yang sedang asyik bercengkerama. sambil berbasa-basi saya menawarkan kopi dan sebungkus rokok di depan meja. Terlintas, memang terdengar selintas topik yang sedang dibicarakan memang sedang trending topic di Indonesia. apalagi, kalau bukan masalah hasil vonis sidang Ahok.
Di daerah yang jauh dari Jakarta, topik ini ternyata juga sampai disini. Yah, sebagai pekerja di bidang  IT dan telekomunikasi saya patut merasa bangga, telah menjadi salah satu gajah mada yang menghubungkan negeri ini lewat jalur komunikasi. Hmmm
Menarik apa yang mereka perbincangkan, bahkan terlihat orang yang sudah tua tampak sekali memonopoli percakapan. Ia tampak sedikit membela ahok yang dinyatakan bersalah. Padahal menurutnya, kasus penistaan agama ini seperti kasus aneh dan yang mendengarkan pun meng"iya"kan. Namun, ada satu kata yang keluar dari percakapan ini dan membuat saya tertegun. Bahwa mereka jadi tidak percaya dengan orang-orang yang berpolitik. Orang berpolitik itu seperti orang gak punya Tuhan, begitu selintas yang saya dengar, yang salah jadi benar yang benar jadi salah. Sambil tersenyum, saya bergumam dalam hati, perkataan itu bukannya identik dengan kerjaan Pengacara.Â
Selesai menyeruput segelas kopi saya pun bergegas tugas, namun dalam perjalanan kata-kata itu seperti merasuk juga ke jiwa. Tapi, benarkah? dan mungkin ada benarnya. Kalau dilihat dari sisi pengalaman yang saya lihat dan miliki memang ada sedikit benarnya. Dari beberapa teman yang memang terjun ke dunia politik, memang ada beberapa perubahan dari mereka yang telah menjadi anggota suatu partai atau kader, seperti hilangnya rasa toleransi, bahkan "maaf" seperti memilih teman. bahkan arah bicaranya pun kadang selalu menyinggung lawan politiknya, seolah-olah menunjukkan dia dan partainya yang benar.Â
Dan menurut saya, perubahan beberapa teman tersebut lumayan drastis, dulu saat masih jaman sering "nongkrong" doktrin satu untuk rame-rame itu terlihat sangat kental. Apalagi dalam urusan rokok dan kopi. sebungkus segelas, rame-rame ha ha ha. Dan rasa itu seakan hilang. Saat ini setelah beberapa dari kawan berpolitik, saya sebagai orang netral sangat merasakan, apa yang namanya lain di mulut lain di hati. Saat bertemu bareng-bareng, oke-oke saja, tapi pada saat dengan si A, B, C atau D Â apa yang dibicarakan yah itu tadi beda partai beda pendapat, dan dia yang paling benar.
Saya sebagai orang awam mungkin melihat sesuatu kasus itu secara akal sehat dan logika. bahkan mungkin tahu mana yang benar dan salah. Tapi, yang saya temui ketika bertemu dengan teman yang sudah berpolitik istilah 1 + 1 = 100 itu hal biasa. Bait pada lagu Bento ...hobiku menjagal ,, jagal siapa saja, yang penting senang ,, aku menang, ,,, persetan orang susah,, karena aku ,,, yang penting asyik ,,, skali lagi asyik...Â
Tapi yah, ini cuma pengalaman dan mungkin opini saya saja,,, semoga tidak benar adanya ...
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H