January 11, 2012 at 12:33am
mengenangmu seperti menancapkan belati berkali-kali tepat di jantungku, Rama. aku kembali terluka secara sempurna. bisikan-bisikan tentang perempuan sudra itu tak bisa lepas bahkan setelah aku lepas landas meninggalkan tanah air. bisikan itu menjadi semacam sugesti agar aku tetap berjalan di jalur sudra: menjadi babu orang China.
aku tak mengataimu jahanam karena telah memporak-porandakan seluruh dimensi hidupku. saat aku mulai tenang selepas kepergian ibu, kau justru menguak tentang kebenaran abusif yang justru....justru membuatku semakin terpuruk: aku sakit, rama...
kau boleh menertawaiku saat melihat kondisiku sekarang. rambut pendek yang selalu kau benci, kuku tak bercat yang selalu kau anggap tak cantik itu kini menjadi sandang bagiku, Rama... kau mungkin akan tertawa saat melihat aku, dengan sangat patuh mendengarkan wejangan dari bozku dan mengubur kekritisanku hanya sebagai bentuk respektivitas pada majikan. beda jauh saat aku masih mengajar di sekolahmu: kekritisan menjadi bagian dari hidupku. termasuk, dengan nyinyirnya aku membangkang orang tuamu, melawan pada atasan. pendiri SMA Nusantara yang di hormati dan disegani itu juga kukritisi seperti mahasiswa mengkrtitisi kinerja pemerintah!
rama....jangan kau sangka aku akan menangis di sini. karena air mataku telah lama kering saat kau dengan kejamnya mengataiku anak pelacur. ketika kau dengan bengisnya mengataiku perempuan sudra. ya...perempuan sudra....
ah, Rama...
Singapura yang basah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H