Mohon tunggu...
Revadra Delaniera Sofia
Revadra Delaniera Sofia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Menulis merupakan keahlian yang harus dipelajari oleh setiap siswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Minimnya Empati terhadap Genosida Israel, Refleksi pada Generasi Saat ini

29 Juni 2024   22:17 Diperbarui: 29 Juni 2024   22:17 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak 9 bulan terakhir, Gaza, Palestina telah kehilangan 30.000 warga sipil akibat serangan membabi buta dari penjajah Israel. Tidak puas menguasai tanah Palestina selama 75 tahun, kini pemerintah mereka berlomba-lomba meratakan Gaza menjadi tanah yang tandus. Membakar tenda-tenda pengungsi, menyiksa para tawanan, menghalang-halangi akses masuk donasi hingga mengakibatkan kelangkaan makanan bahkan air bersih merupakan siasat lain yang disengaja untuk menghapus penduduk asli Palestina. Dengan record kejahatan yang sedemikian buruknya, para pemimpin negara bahkan PBB masih belum bisa menghentikan pemusnahan massal yang dipimpin oleh Benjamin Nentanyahu ini secara permanen.

Sebagai sesama manusia, sudah semestinya kita berpihak pada para korban yang ditindas dan dinistakan oleh penjajah. Namun, faktanya masih banyak di antara kita yang menyepelekan bahkan mengolok-olok tragedi yang terjadi di Palestina saat ini. Hal ini mengundang pertanyaan: mengapa empati terhadap korban di Palestina begitu minim di kalangan generasi saat ini? Apa yang membuat mereka enggan melawan genosida melalui tindakan konkret seperti boikot?

Keterputusan Emosional di Era Informasi Berlebih

Generasi saat ini tumbuh dalam lingkungan di mana informasi mengalir tanpa henti dari berbagai platform media. Overload informasi ini membuat banyak orang menjadi kebal terhadap penderitaan yang mereka tonton lewat layer setiap hari. Tragedi yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Palestina, hanya menjadi salah satu dari sekian banyak berita yang dikonsumsi secara cepat. Dalam situasi seperti ini, empati menjadi barang langka, empati pun terkikis.

Normalisasi Kekerasan dalam Media

Media massa, termasuk film, video game, dan acara televisi, kerap menampilkan kekerasan secara eksplisit. Generasi muda yang terus-menerus terpapar adegan kekerasan ini cenderung menjadi terbiasa dan tidak lagi terkejut atau merasa empati saat melihat kekerasan nyata. Ketika kekerasan menjadi normal di layar, kekerasan di dunia nyata, seperti yang terjadi di Palestina, juga dipandang sebelah mata.

Desensitisasi Melalui Humor Gelap

Humor gelap semakin populer di kalangan generasi muda. Tragedi dan penderitaan sering kali dijadikan bahan lelucon, yang mengakibatkan desensitisasi terhadap isu-isu serius. Mengolok-olok korban dianggap sebagai humor yang tidak berbahaya, padahal sebenarnya tindakan ini sangat merendahkan nilai kemanusiaan. Humor gelap ini menciptakan jarak emosional antara individu dan realitas penderitaan yang dialami orang lain.

Sikap Apatis dan Individualistik

Generasi sekarang seringkali didorong untuk fokus pada pencapaian pribadi dan kebahagiaan individu. Sikap individualistik ini membuat mereka kurang peduli terhadap isu-isu kolektif yang tidak langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Akibatnya, tindakan solidaritas seperti boikot terhadap produk dari negara yang terlibat dalam genosida dianggap tidak relevan atau tidak memiliki dampak signifikan. Apatisme ini menjadi penghalang utama dalam upaya melawan ketidakadilan global.

Kurangnya Kesadaran dan Edukasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun