Mohon tunggu...
Rizky Emirdhani Utama
Rizky Emirdhani Utama Mohon Tunggu... Politisi - Government Relations Specialist

Indonesia can't spell S_CCESS without "U"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasi Kekuasaan dalam Penanggulangan Covid pada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Filipina

16 November 2020   13:10 Diperbarui: 16 November 2020   13:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu hal terpenting dalam aspek kehidupan adalah bagaimana setiap manusia dapat memperolah jaminan kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. Namun, sudah hampir 1 (satu) tahun belakangan ini hampir seluruh negara di dunia sedang memerangi penyakit menular yang dikenal sebagai SARS-CoV-2 / Covid 19. Penyakit yang disebabkan oleh Virus Corona ini terdeteksi, pertama kali, muncul di Kota Wuhan China pada bulan Desember 2019. Organisas kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa virus ini menyerang saluran pernafasan sehingga dapat menyebabkan demam tinggi, batuk, flu, sesak nafas, nyeri tenggorokan hingga kematian.

Dengan demikian, pemahaman terkait pengaplikasian teori kekuasaan dalam konteks negara di tengah pandemi ini menjadi penting agar dapat mengetahui langkah taktis apa yang efektif dalam menanggulangi bencana non-alam ini. Pemerintahan negara yang memiliki peran strategis dalam penanganan wabah ini harus diawasi dengan penuh agar terciptanya kebijakan-kebijakan yang progresif. Fungsi pengawasan itu sendiri dipegang oleh masyarakat dan elemen-elemen lain yang sekiranya terkena dampak selama wabah pandemi. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga dituntut lebih responsif dalam mengambil sikap serta kebijakan yang dapat membawa dampak positif dan tidak merugikan masyarakat. Wacana kekuasaan yang diperankan oleh pemerintahpun harus memiliki dasar yang kuat dalam rangka meminimalisir terjadinya kesalahan,

Wacana kekuasaan yang dikenal juga sebagai “Discourse of Power”, menurut Michel Foucault seorang filsuf asal negara Perancis menyatakan dalam teorinya bahwa siapapun yang menjadi pemegang kendali dari episteme, maka akan pula mengontrol realitas. Pengetahuan atau episteme yang dihasilkan oleh individu-individu yang saat itu hadir dalam periode sebuah zamanlah yang akan dapat memegang kendali realitas. Oleh karena hal ini dapat menjadi pembuktian bahwa adanya sebuah relasi antara pengetahuan dengan kekuasaan. Pengetahuan akan menghasilkan sebuah kekuasaan dan sebaliknya dengan kekuasaan akan dapat dengan mudah untuk menghasilkan pengetahuan.

Buah pemikiran dari Foucault ini apabila diaplikasikan dalam konteks bernegara pada kondisi Covid-19 adalah masyarakat yang terkontrol tidak dapat menggunakan kekuasaan yang bersifat fisik, melainkan masyarakat terkontrol oleh wacana kekuasaan yang dikaitkan dengan pengetahuan. Pada saat yang bersamaan masyarakat juga menjadi hasil dari individu-individu yang memproduksi pengetahuan. Oleh karena itu, pembuat pengetahuan ini akan dapat mempengaruhi individu-individu lain yang sebagai penguasa, dalam hal ini adalah pemerintah. Sebaliknya, pemangku kekuasaan akan juga dapat mempengaruhi pemilik pengetahuan dengan tujuan untuk menghasilkan wacana kekuasaan.

Pemerintah negara dalam hal ini adalah pemilik kuasa yang dimandati oleh masyarakat. Pemerintah negara harus dapat menguasai serta dapat menggunakan pengetahuan terkait Covid-19 dari para ahli dan ilmuan yang berada pada bidang kesehatan yang dapat membuat wacana kekuasaan atau kebijakan yang kedepannya dapat diaplikasikan kepada masyarakat. Contoh dari wacana kekuasaan itu sendiri adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar di Indonesia. Kebijakan PSBB yang sudah diterapkan ini adalah bukti pengaplikasian kebijakan yang lahir dari kolaborasi antara individu-individu yang ahli dalam ilmu pengetahuan dengan individu-individu pemegang kekuasaan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki dampak dari pandemi COVID-19 ini mengalami banyak kerugian seperti dalam hal social, ekonomi dan budaya bahkan dengan adanya virus ini tidak sedikit orang-orang dari berbagai negara yang telah meninggal karena daya tahan tubuh mereka yang tidak kuat melawan virus tersebut. Di Indonesia, data hingga Minggu (01/11/2020) jumlah orang yang  terinfeksi  mencapai 412.784 orang, 13.942 meninggal dan 341.942 orang dinyatakan sembuh . Akibat dari pandemi ini Indonesia pun ikut terkena dampak dalam segi ekonomi dimana dampaknya membuat setiap negara harus mengeluarkan kebijakan guna mencegah penularan virus tersebut. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh berbagai negara mulai dari social distancing, Physical distancing, Lock Down, dan terkini di Indonesia dibuat regulasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sedangkan di belahan negara Asia-Tenggara lain, yaitu negara Filipina merupakan negara dengan kasus yang ditemukan dengan angka yang tergolong cukup tinggi, dikutip dari website resmi organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization), pertanggal 1 November 2020 kasus aktif di Filipina sampai pada angka 383 ribu kasus dengan 349 ribu dinyatakan sembuh dan 7.238 orang meninggal dunia. Ibukota Manila masih menjadi pencatat kasus aktif tertinggi dengan kasus mencapai 186 ribu penduduk.

Segala bentuk upaya sudah dilakukan dan dicoba oleh Menteri Kesehatan Negeri Filipina yaitu Francisco Duque dan juga Carlito Galves yang merupakan penanggung jawab atas gugus tugas virus corona nasional sekaligus mantan panglima militer Filipina. Adapun upaya yang terus ditingkatkan yaitu optimalisasi fasilitas perawat, jumlah tes yang dipertambah, dan lock-down serta pemberlakuan pembatasan parsial. Di Asia Tenggara sendiri Filipina merupakan negara dengan jumlah kasus tertinggi kedua setelah Indonesia. Pemerintah kedua negara menjadi poros Utama dalam keberlangsungan penanganan virus covid-19 di masing-masing kedua negara.

Dikutip dari aggregator statistic Statista, dari 30 negara yang terkena dampak pandemi covid-19, Filipina berada di peringkat ke-24 dalam hal tingkat pengujian. Komitmen pemerintah Filipina dalam penganan pandemic ini menjadi perhatian beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Pemerintah merespon pandemi ini dengan langsung menetapkan lock-down di negaranya, bahkan hingga saat ini Filipina masih memperpanjang pembatasan parsial selama 1 (satu) bulan.

Filipina memiliki beberapa kesamaan dalam menghadapi tantangan selama penanggulangan pandemi, hal tersebut dapat dilihat dari faktor geografis wilayah yang berbentuk kepulauan dan jumlah kepadatan penduduk yang padat. Sebagai negara berkembang dan masa pertumbuhan dalam berekonomi, Indonesia dan Filipina sama-sama dihadapi 2 (dua) krisis besar dalam pandemi itu yaitu; 1. Krisis Kesehatan, dan 2. Krisis Ekonomi. Adapun sebaliknya faktor pembeda yang cukup signifikan, hal itu dapat dilihat dari bagaimana respon pemerintah dalam membuat kebijakan terkait penanganan pandemi di kedua negara. Kendali pemerintahan pusat yang kuat dapat dilihat dari Filipina yang berani melakukan lock-down penuh dalam skala nasional sampai tanggal 19 Agustus 2020 lalu. Tercatat Indonesia sejak awal pandemi diberlakukan, baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah belum pernah melakukan lock-down secara penuh seperti yang dilakukan di Filipina dan beberapa negara lain.

Oleh : Rizky Emirdhani Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun