Mohon tunggu...
budi santoso
budi santoso Mohon Tunggu... -

Pelindung Fiskal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Saga Pajak: Sudahlah, Sebaiknya Kemenkeu Ikhlas

17 Juli 2014   10:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:06 6215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : hariansib.co

[caption id="" align="aligncenter" width="466" caption="Menkeu, Chatib Basri mengenakan ulos didampingi Dirjen Pajak, A. Fuad Rahmany (kanan) dan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut I. (sumber : hariansib.co)"][/caption]

Ada- ada saja alasan yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan ketika ditanyakan apakah perlu Ditjen Pajak dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Chatib Basri meneruskan “warisan” Menteri Keuangan sebelum-sebelumnya yang berat hati melepas Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan, terlepas dari siapapun pembisiknya. Sebagai seorang akademisi dan penganut pemikiran ekonomi yang progresif, sungguh aneh jika Chatib Basri berfikir seperti tersebut, apakah ada yang menekan beliau atau memang buah pemikiran beliau, menarik untuk dikupas sehingga dapat mencarikan solusi yang tepat.

Banyak alasan alasan yang beliau kemukakan mulai dari Masalah koordinasi (yang sudah saya bantahkan dalam tulisan saya di kompasiana berjudul Alasan Kenapa Ditjen Pajak Harus Terpisah dari Kemenkeu) hingga yang terbaru yaitu bahwa IRS secara struktur tidak sama sehingga lembaga pajak RI tidak bisa seperti di amerika serikat. Ada beberapa poin yang kami ambil dari wawancara beliau yaitu

Pertama, Menurut beliau seperti yang kami kutip dari Detik, Menteri Keuangan Chatib Basri menilai IRS di AS sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mencapai target penerimaan. Berbeda dengan Ditjen Pajak yang memiliki kewajiban untuk memberi setoran dalam jumlah tertentu kepada anggaran negara. “Kalau IRS, mereka nggak ada tugas seperti Ditjen Pajak. Mereka selama ini berjalan hanya mengkoleksi “kata Menteri keuangan.

Kedua, Menurutnya, keikutsertaan Ditjen Pajak dalam anggaran negara karena terkait dengan pengelolaan defisit anggaran agar berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) sesuai dengan UU Keuangan Negara. Oleh karena itu, Ditjen Pajak memegang peranan penting dalam pengelolaan anggaran negara."Sekarang kalau dipisahkan dan bersifat kolektif, maka sulit untuk meningkatkan penerimaan agar defisit tak lewat 3%," sebutnya.

Ketiga, Selain itu, Ditjen Pajak juga bertanggung jawab dalam berbagai insentif fiskal. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah kerap kali memberikan insentif pajak kepada dunia usaha atau masyarakat secara umum."Nanti nggak ada lagi tax holiday atau tax allowance. Jadi ada kerangka makro yang di dalamnya pajak memiliki peran," ujarnya.

Mari kita kaji satu per satu. Untuk hal pertama yaitu Ditjen Pajak memiliki Target Penerimaan. Pajak mendominasi hampir 78% total penerimaan Negara sehingga menjadikan pajak sebagai sector paling strategis untuk membiayai pembangunan. Setiap tahunnya pemerintah menetapkan target untuk membiayai belanja belanjanya. Kenapa ditetapkan target? Menteri keuangan lupa bahwa system anggaran yang dianut oleh Indonesia adalah menentukan belanja terlebih dahulu baru kemudian sector penerimaan dipaksa untuk mencari uang guna menutupi belanja tersebut yang apabila kurang ditutup dengan HUTANG . Artinya sistem budget inilah yang harus diperbaiki dimana secara logis belanjalah yang harus mengikuti jumlah uang yang ada dan tugas berat untuk melakukan perbaikan tersebut ada di Dirjen Anggaran di bawah Menteri Keuangan.

Di samping itu, memberikan target penerimaan kepada Menteri Keuangan lebih salah dibanding langsung ke Dirjen Pajak. Saat ini Menteri Keuangan adalah atasan Dirjen Pajak sehingga target penerimaan pajak pun seharusnya menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan padahal Menteri Keuangan adalah Bendahara Negara. Di mana pun, yang namanya bendahara bertugas mengelola uang masuk bukan merangkap juga sebagai pencari uang masuk. Berdasarkan fungsi manajemen saja sudah salah dimana fungsi penerimaan digabungkan dengan fungsi pengeluaran. Hal ini akan mengakibatkan salah satu fungsi akan ditekan ketika harus memilih memberikan insentif pajak atau menaikan penerimaan pajak. Kedua fungsi ini seharusnya terintegrasi di puncak pimpinan republik ini yaitu presiden. Jelas di sini fungsi penerimaan WAJIB dipisahkan dari fungsi pengeluaran dan hal ini sudah lama disadari oleh Negara Negara lainnya.

Terakhir di sesi ini adalah pernyataan bahwa IRS hanya bertugas melakukan collection. Ditjen Pajak juga hanya melakukan collection, untuk membuat kebijakan, Ditjen Pajak dipaksa berduet dengan Badan Keringanan Fiskal ( BKF ) namun target penerimaan pajak hanya melekat pada Ditjen Pajak.

Sesi Kedua, kembali masalah koordinasi. Defisit penerimaan mengakibatkan Ditjen Pajak harus tetap berada dalam Kementerian Keuangan adalah salah besar karena ditjen pajak bukan satu satunya unit yang menghasilkan penerimaan walau hampir 78% penerimaan berasal dari pajak. Secara struktur, Unit unit yang menghasilkan penerimaan banyak yang berada di luar Kementerian Keuangan mulai dari yang bergerak di MIGAS dan MINERBA sampai dengan unit yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Hal tersebut bukan menjadi alasan harus berada di dalam Kementerian Keuangan.

Besarnya dominasi pajak terhadap penerimaan Negara secara total justru makin menjadikan alasan pajak harus dipisahkan dari Kementerian Keuangan semakin Kuat dan wajib menjadi fokus presiden langsung. Fungsi penerimaan harus dalam pengawasan presiden langsung karena mulai dari fungsi inilah amanah pembukaan UU 1945 untuk mensejahterakan warga Negara Indonesia bermula.

Ketiga, insentif fiskal adalah kewenangan ditjen pajak. Lucunya inisiatif untuk melakukan insentif fiskal pasti bukan dari ditjen pajak. Logisnya begini, jika Ditjen Pajak melakukan insentif fiskal maka penerimaan Negara dari pajak akan digembosi. Insentif fiskal ditujukan untuk mendorong investasi. Ada sedikit bahan diskusi untuk pembaca sekalian.

Sinar Mas melalui PT Energi Sejahtera Mas yang bergerak di bidang industri oleokimia terbarukan mendapatkan insentif pajak dari pemerintah melalui keputusan Menteri Keuangan No. 271/KMK.011/2014 pada tanggal 27 Juni 2014.Pabrik di bawah naungan pilar bisnis Agribusiness & Foods ini berlokasi di Dusun Nerbit Kecil, Kelurahan Lubuk Gaung, Kota Dumai, Riau. Nilai investasi dari pabrik ini sebesar Rp 2,8 trilyun. Pabrik ini akan memproduksi bahan kimi terbarukan berbahan dasar minyak inti kelapa sawit (palm kernel oil). rincian tax holiday tersebut berupa pembebasan pajak penghasilan 100 persen selama tujuh tahun dan pengurangan sebesar 50 persen selama dua tahun berikutnya. Ia mengatakan, insentif dari pemerintah itu resmi diterima pada 3 Juli, yang tertuang dalam Keputuan Menteri Keuangan Nomor 271/KMK.001/2014 tertanggal 27 Juni 2014.

Insentif ini diberikan kepada investasi dengan syarat syarat tertentu guna menjamin perusahaan tersebut dalam tumbuh dan maju. Namun di sisi lain, penerimaan pajak dari perusahaan ini akan defisit sebesar 100% dalam waktu tujuh tahun dan 50% dalam waktu dua tahun berikutnya. Apakah perusahaan lain seperti yang tidak memiliki modal 1 T mendapat perlakukan yang sama, lalu apakah ada yang menjamin jika perusahaan ini kelak tidak melakukan transfer kekayaan ke perusahaan lainnya kemudian dimatikan di tahun ke 10 sehingga di tahun ke 10 negara tidak mendapatkan apapun… lalu bagaimana dengan prinsip keadilan dan pajak untuk pembangunan yang dapat dinikmati oleh segenap bangsa. Kemajuan ekonomi perusahaan ini hanya dinikmati oleh segelintir orang dan hanya memperkaya lagi orang orang yang memang sudah kaya sehingga fungsi pajak sebagai pemangkas kesenjangan TUMPUL. Gini Ratio yang hampir 0,5 menunjukan bahwa ketimpangan antara orang miskin dan kaya sudah sangat besar.

Dari kasus di atas, Insentif fiskal murni harus dikoordinasikan dengan presiden sehingga pihak pihak berkepentingan dalam insentif ini harus setara secara struktur dan kewenangan. Dirjen Pajak sebagai pemegang kewenangan insentif fiskal dan penerimaan negara, Kepala BKPM yang mengemban misi pertumbuhan investasi, Menteri Keuangan yang mengemban misi stabilitas fiskal dan Mengkoperekonomian harus setara karena masing masing memiliki kepentingan sehingga masing masing dapat memberikan argumen ke presiden dimana nantinya presiden yang memutuskan. Selama ini kepentingan dirjen pajak terhadap penerimaan walaupun sebagai pemegang wewenang insentif disinyalir tidak begitu didengarkan karena yang memutuskan di final adalah Keputusan Menteri Keuangan. Ditjen Pajak hanya bias pasrah jika ada insentif pajak namun target penerimaan tidak direvisi.

Ketiga poin yang dikemukakan Menteri Keuangan tentu berdasarkan opini beliau terlepas ada unsur paksaan atau tidak, namun seperti beliau bilang harus juga dilihat kepentingan nasional saat ini apakah dibutuhkan atau tidak. Hak memutuskan tersebut ada di Presiden baru kelak. Presiden baru kelak sangat berkepentingan terhadap pajak karena program program kerja yang mereka tawarkan pada saat pilpres membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Mengulas sedikit mengenai wacana pemisahan Unit Pajak dari Kementerian Keuangan serta fleksibilitas kewenangan begitu juga insentif. Ketiga hal ini dapat berbarengan dan menjadi satu paket. Dari info yang saya dapat, Ditjen Pajak memiliki tim yang mengurusi hal tersebut sehingga tinggal diajak berdiskusi dengan presiden baru, sehingga tidak perlu ketiga hal ini dibenturkan.

Selanjutnya, IRS bukanlah satu satunya contoh di dunia ini, jika ditelaah berdasarkan hasil survey OECD tax administration 2013, hampir seluruh Negara di dunia ini, institusi pajaknya berbentuk badan dan berada di bawah presiden bahkan Reformasi pajak dimulai dari pembentukan struktur badan penerimaan pajak di bawah presiden, pemenuhan 9 kewenangan yang harus dimiliki lembaga pemungut pajak, Pengesahan UU Badan Penerimaan Pajak sampai dengan kewenangan dalam operasional pemungutan pajak.

Jika memang apa yang dikemukan Menteri Keuangan benar adanya, maka yang diubah adalah bagaimana agar lembaga pajak menjadi seperti IRS bukan karena tidak sama dengan IRS, maka lembaga pemungut pajak di Indonesia tidak bisa seperti IRS.Pemikiran tersebut seharusnya dikemukakan.

Tuntutan masyarakat sudah demikian hebatnya, tidak sehat jika selalu mencari alasan untuk menolak pemisahan Ditjen pajak dari Kementerian keuangan. Masyarakat juga memiliki kepentingan agar penerimaan pajak meningkat terutama karena masyarakat berharap adanya perubahan kesejahteraan yang dimulai dari dibangunnya infrastruktur pemicu ekonomi sebagaimana yang dijanjikan oleh para peserta PILPRES dam pembangunan infrastrktur tersebut adalah dari pajak yang masyarakat bayarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun