Semburat merah oranye yang menghias ufuk Barat adalah pemandangan indah yang seringkali dinantikan orang. Tidak ada orang yang menyesalkan menghilangnya mentari karena mereka tahu bahwa mentari hanya bersembunyi. Esok, mentari akan tampil kembali dengan semburat fajar yang sama memukaunya. Senjakala atau bukan, mengapa tidak menikmatinya saja?
“Jalani saja, semua itu adalah proses. Proses yang berjalan dalam waktu. Yang bisa kita lakukan hanya menjalani dengan sebaik-baiknya,” demikian pesan Dan Gillmor ketika tahun 2007 saya menanyakan bagaimana nasib jurnalisme warga tanpa kejelasan pola pendekatan bisnis pendukungnya. Sekitar tahun 2010 dalam sebuah seminar di Universitas Terbuka, saya pernah membahasnya dalam tulisan “Akan Matikah Jurnalisme Warga?”
Dan Gillmor, yang menjadi pendiri dan juga Direktur Knight Center for Digital Media Entrepreneurship, sebelumnya adalah jurnalis media konvensional yang masuk ke ranah jurnalisme warga. Bayosphere, yang didirikannya Mei 2005 harus terhenti perjalanannya pada Januari 2006. Tapi dunia terus berputar…
Beberapa portal jurnalisme warga sudah gulung tikar, tetapi nyatanya Kompasiana semakin sesak dikunjungi pengunjung sehingga seringkali tercermin dari kesulitan-kesulitan berinteraksi di portal jurnalisme warga yang bernaung di bawah payung Kompas ini. Dalam istilah Pepih Nugraha, sebuah sekoci yang menempel di kapal besar yang melaju membelah lautan.
Bre Redana dalam tulisannya di Kompas mengatakan (baca selengkapnya di sini):
Di mana pun di dunia, jurnalisme berangkat dari semangat coba-coba, didasari kebutuhan untuk mengembangkan fondasi kultural bagi perkembangan masyarakat. Semangat tersebut menyemaikan atmosfer kerja yang setengahnya beraura misi suci, menegakkan kebenaran, mengembangkan compassion, mengeksplorasi truth alias kasunyatan. Para pelakunya adalah figur-figur otodidak, yang pada perkembangannya sebagian memiliki kewibawaan intelektual melebihi doktor.
Jadi ketika Pepih Nugraha mengatakan dalam tulisannya di blog Kompasiana:
Sebagai "orang koran", saya berkepentingan menjaga eksistensi Harian Kompas yang bermediakan kertas. Benar bahwa saya mengembangkan online dan bahkan media sosial Kompasiana, tetapi bukan berarti saya turut melemahkan, atau kasarnya kalau itu terjadi, mempercepat kematian "media kami".
Saya melihat Kang Pepih, panggilan akrab Pepih Nugraha di Kompasiana ini, juga berangkat dari semangat coba-coba yang berusaha menyediakan sekoci-sekoci penyelamatan kalaupun sampai kapal besar harus karam.
Semangat coba-coba itu bukan timbul dari pesimisme akan masa depan media cetak, namun sepertinya justru berangkat dari kesadaran akan perlunya fleksibilitas dan evolusi untuk mengikuti kebutuhan zaman. Semangat coba-coba yang berusaha memperkuat kapal. Bagaimanapun, sekoci akan menjadi alat untuk sampai ke tujuan dan tidak terbenam ke dasar samudra.
Di sisi lain, ketergesaan media-media baru juga menjadi keprihatinan banyak orang. Tetapi, suatu proses evolusi yang seharusnya bisa menjadi media pembelajaran, bisa terhenti secara prematur bila para penyandang dana takluk pada kondisi yang “terlihat” dan melepaskan nilai-nilai idealisme mereka. Mungkin itu yang dimaksudkan Bre Redana dalam perkataannya, "Inikah senjakala surat kabar? Sekadar mengingatkan para juragan: di balik cakrawala senja, nilai-nilai di atas tetap diperlukan manusia.”