Belum lama ini saya melihat link YouTube trailer "Balibo Five" dari laman twitter yang terpampang di blog Ndorokakung . Saya sempat menengok film itu dan membatin, "Inilah usaha mereka untuk tidak lupa...". Satu hari berselang seorang teman lain menandai saya lewat akun Facebook tautan pada film yang sama. Hari ini (Sabtu, 5 Desember 2009) saya membaca di ruang opini Kompas cetak sebuah  tulisan dari Dadang Christanto, seorang perupa yang karyanya di Pantai Ancol dahulu sangat membekas dalam ingatan saya, berjudul ‘Film "Balibo Five" Dilarang?' Sebenarnya perlukah Lembaga Sensor Film melarang film itu diputar di Indonesia?
Ketika menengok potongan pendek dari "Balibo Five" di YouTube, sambil menunggu komputer saya yang sangat lambat, saya sempat berpikir betapa film ini akan membuat opini publik yang subyektif, dan menjadi referensi opini bagi generasi muda Indonesia yang tidak mengalami masa dimana Timor Leste menjadi bagian dari bangsa Indonesia dalam propinsi Timor Timur. Apalagi melihat pemeran Ramos Horta yang begitu ganteng, yakin banyak orang (baca: perempuan) yang jatuh simpati. Hanya, dalam kalimat pembuka yang diucapkan oleh sang reporter muda sebelum terjadi rentetan ledakan yang juga mengarah ke arahnya cukup jelas terkatakan bahwa mereka (para jurnalis itu) tahu benar bahwa akan ada pertempuran atau serangan ke tempat yang mereka liput itu, mereka justru sedang menantikan kebenaran kabar rencana serangan itu.
Karena itu membaca tulisan opini Dadang Christanto yang sudah menonton secara keseluruhan film tersebut di acara Brisbane International Film Festival (BIFF) bulan Agustus tahun ini, serta sudah mengikuti sesi seminar film tentang Indonesia di sana, membuat saya justru merasa bahwa film ini bisa menjadi jembatan terbukanya diskusi untuk menyembuhkan luka lama itu.
Luka Timor Leste bukan hanya milik satu negara, tetapi sudah menjadi duka banyak pihak. Indonesia sebenarnya adalah juga pihak yang terluka. Sebuah keputusan politik masa lalu yang ternyata berbuah pahit. Tudingan bahwa Indonesia adalah juga bangsa penjajah menjadi irisan luka yang sulit untuk mengering, terutama karena UUD 1945 jelas-jelas menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bahwa bangsa Indonesia mendukung terhapusnya penjajahan dari muka bumi ini. Jadi bangsa kita hadir sebagai penjajah atau sebagai saudara seperjuangan? Film "Balibo Five" itu dalam benak saya bisa jadi lebih mengambil sudut pandang pertama. Tetapi, melarang film ini beredar di Indonesia sama saja dengan memasangkan kembali kaca mata kuda kepada generasi muda. Apakah itu akan efektif? Bukankah lebih baik kita belajar untuk bisa mendiskusikannya dan melihatnya dari perspektif yang berbeda?
Saya pernah menulis untuk OhmyNews International (sebuah portal jurnalisme warga internasional berbasis Korea Selatan) berjudul "NSW Premier's Apology Is Not a Sign of Weakness". Tulisan itu sama sekali tidak bermaksud membela Sutiyoso (gubernur DKI Jakarta waktu itu) dalam kaitan peristiwa Balibo Five. Tulisan itu lebih untuk mengajak orang luar melihat situasi tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang saya bagikan dalam tulian itu adalah sudut pandang seorang warga yang hanya tahu masalah Balibo dari satu sumber suara, media nasional yang terbungkam. Artikel itu juga sebuah ajakan untuk melihat kepatutan perlakuan kepada seorang tamu negara.
Seorang kontributor Indonesia lainnya, Rudy Ronald Sianturi, pada saat yang hampir bersamaan menuliskan artikel "Remembering the Activist Priest Mangunwijaya and East Timor". Artikelnya lebih banyak berkisah mengenai Balibo Five, dan juga memperlihatkan sisi luka yang berbeda yang ditemuinya dari sudut pandang yang lebih dekat. Tulisan Rudy Sianturi yang tidak banyak disunting editor naik terlebih dahulu daripada tulisan saya. Dari tulisan itu kami kemudian juga menjadi lebih akrab di dunia maya. Sebuah komunikasi baru yang terjalin...
Dari contoh di atas terlihat bagaimana jurnalisme warga bisa menjadi jembatan dalam diskusi sejenis, dimana masing-masing pihak bisa memberikan masukan, baik berupa dukungan maupun berupa kritikan kepada film tersebut. Orang Indonesia bukan orang bodoh yang tidak tahu bersikap kritis. Tidak terputarnya film tersebut dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) Ke-11 seakan menjadikan kita sebagai bangsa yang hanya mau mendengar dari satu pihak saja. Akan lebih baik bila kini, ketika sebagian besar orang yang terlibat dalam kejadian itu masih ada, diadakan sebuah diskusi yang obyektif. Seingat saya dulu pernah ada tulisan dari wartawan Kompas (sayang saya tidak pernah membuat klipping khusus untuk Timor Timur, dan tulisan masa itu belum bisa digugel di internet) betapa dalam sebuah diskusi di masa lalu, Ramos Horta begitu emosional dan sulit diajak melihat perspektif yang berbeda itu tanpa bersikap emosional (maaf, ini hanya ingatan kasar yang bisa salah, perlu cek dan recek kembali, dokumentasi Kompas seharusnya bisa lebih akurat). Tentunya kala itu adalah masa yang berbeda, waktu ketika dia jauh masih lebih muda serta merasa terpojok sebagai pihak yang lemah. Kini dalam situasi yang berbeda, dengan kebijakan yang dianugerahkan oleh usia dan pengalaman hidup, mungkin diskusi yang lebih obyektif bisa ditegakkan.
Diskusi seputar film seperti "Balibo Five", seperti dikatakan Dadang Christanto, bisa mencuatkan banyak hal. Salah satu hal yang disebutkannya dalam artikel opini tersebut adalah kematian beratus-ratus wartawan setiap tahun di wilayah konflik perang. Sebuah kenyataan yang benar dan memprihatinkan. Ada banyak sudut pandang yang bisa timbul dari apresiasi terhadap sebuah film. Kita juga perlu berdamai dengan masa lalu, mengobati luka-luka yang masih belum mampu mengering. Hal itu tidak akan bisa dicapai dengan menghindari luka itu. Jadi perlukah film "Balibo Five" dilarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H