Mohon tunggu...
Retty Hakim
Retty Hakim Mohon Tunggu... Relawan - Senang belajar dan berbagi

Mulai menulis untuk portal jurnalisme warga sejak tahun 2007, bentuk partisipasi sebagai warga global.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Terindah: 100 Tahun Penuh Syukur

30 Juli 2022   16:55 Diperbarui: 30 Juli 2022   17:03 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Harta yang paling berharga, adalah keluarga..., Istana yang paling indah adalah keluarga...," demikian lirik lagu Harta Berharga (OST Keluarga Cemara). Kecintaan pada keluarga, perjuangan untuk menghidupi dan membesarkan keluarga adalah umum bagi orang tua, khususnya bagi seorang ibu yang biasanya paling disibukkan dengan urusan rumah tangga. 

Menjadi sangat istimewa ketika seorang ibu menceritakan perjalanan kehidupannya hingga menjelang usia 100 tahun. Sebuah buku biografi yang dibuat dengan tujuan berbagi kisah agar menguatkan anak dan cucu dalam setiap perjalanan kehidupan mereka. Suatu ajakan untuk senantiasa bersyukur dan saling menjaga sebagai keluarga. Sungguh, suatu warisan yang tidak ternilai.

Kemampuan Bernadette Wirayadi (Tan Sioe Eng) untuk bercerita, bahkan melalui zoom, untuk keperluan wawancara buku ini sangat mengagumkan untuk wanita seusianya. Kerendahan hatinya dan imannya pada Tuhan sangat kuat terpancar dalam kisah yang dibagikannya. 

Memang perjalanan kehidupannya harus terhenti beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke-99. Walau demikian dalam penanggalan Tionghoa, melewati Imlek pertama dalam kehidupan seorang anak adalah tahun pertamanya, sehingga dalam kalender Tionghoa, usia Bernadette Wirayadi sudah melewati satu abad.

Buku yang ditulis bersama oleh Retty N. Hakim dan dr. Francinita Nati ini memang dituliskan dengan cara berkisah sang tokoh. Dr. Francinita Nati, yang dikenal dengan panggilan Francine, harus teliti memeriksa tahun-tahun dan penulisan nama-nama yang dikisahkan oleh ibundanya. 

Perjalanan panjang ibundanya yang hampir mencapai satu abad tentunya memiliki banyak fragmen yang menarik. 

Dr. Francinita Nati berbalut kebaya ibunda mengisahkan proses penulisan buku (dok: dr. Francinita Nati)
Dr. Francinita Nati berbalut kebaya ibunda mengisahkan proses penulisan buku (dok: dr. Francinita Nati)

Keturunan Tionghoa Makassar yang lahir tahun 1922 di Kepulauan Aru dan besar di Makassar ini mengisahkan bagaimana keahliannya memasak akhirnya bisa membantu kehidupan keluarga. 

Bantuan suami dan anak-anak yang senantiasa bersatu, bahu membahu saling membantu merupakan pendukung utama keberhasilannya. Tidak lupa juga, beliau mengingat begitu banyak orang yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menolongnya. 

Restoran Tamalatea  yang dulu beliau dirikan pernah menjadi restoran yang dikenal semua orang peranakan Makassar yang tinggal di Jakarta. 

Nasi campur Makassar dan berbagai masakan Makassar dan kue-kue tradisional Makassar menjadi makanan khas yang dicari orang ketika berada di daerah Pasar Baru atau Krekot.

Sempat membuka restoran Makassar di Singapura, beliau juga berbagi sedikit kisah bagaimana terpaksa tidak meneruskan restoran tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun