Mungkin bagi orang banyak, beliau bukan sosok yang dikenal. Namanya Gregorius Kunar Abadi, tapi bisa jadi sebagian orang yang mengenalnya memanggilnya dokter Auw. Tentunya itu karena mereka lebih dahulu mengenalnya sebagai dokter G. Auw Koen Eng, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tahun 1962. Perantau dari Makassar yang berhasil merampungkan kuliahnya di Surabaya ini kemudian kembali ke kampung halamannya dan membaktikan hidupnya selain sebagai dokter umum, juga sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Hari Minggu, 4 Agustus 2019, beliau menghembuskan nafas terakhir di usia 87 tahun. Yang mengejutkan bagi saya ketika berselancar di internet, saya menemukan seorang peneliti yang menulis di jurnal internasional, Â menyebutnya sebagai Professor G. Kunar Abadi. Hideo Hasegawa dan Andarias Mangali, peneliti dari Jepang, dalam tulisannya "Two New Nematode Species of Bunomystrongylus N. Gen. (Trichostrongylina: Heligmonellidae) Collected from Bunomys SPP. (Rodentia: Muridae) of Sulawesi, Indonesia" menerangkan mengenai cacing Bunomystrongylus abadii n. sp.Â
Kami tahu beliau pernah meneliti cacing, tapi terus terang tidak pernah mengetahui banyak mengenai penelitiannya. Di mata kami dan mungkin sebagian besar pasiennya, beliau adalah tetap seorang dokter umum yang sederhana dan baik hati. Memang, tampaknya ia tidak pernah menerima pengangkatan sebagai profesor.Â
Rasanya saya lebih sering memanggilnya dokter Kunar daripada Om Kunar, mungkin karena beliau memang tidak pernah lepas dari profesinya itu.Â
Ketika dikunjungi pada saat sore hari, pasti beliau bersiaga menerima pasien yang datang ingin berobat. Beliau tidak pernah memilih-milih pasien. Siapapun yang membutuhkan pertolongannya dibantunya. Tidak heran kalau saat lebaran rumahnya juga tidak pernah sepi dari makanan lebaran. Itu semua kiriman dari pasiennya.Â
Kabarnya, tidak jarang juga ada kiriman pisang setandan atau hasil kebun lainnya yang berasal dari pasiennya. Biasanya itu adalah tanda terima kasih karena dokter tidak menarik biaya pengobatan bagi mereka yang kurang mampu.
Pasiennya memang berasal dari segala kalangan. Pasien-pasien kelas atas yang cocok dengan pengobatannya menjadikannya dokter keluarga mereka. Sementara tukang becak yang biasa nongkrong di pelabuhan juga akrab dengannya. Tidak jarang bila ada kapal yang berlabuh dan ada pelaut yang membutuhkan dokter, maka tukang becak akan dengan sigap mengantarkan mereka ke rumah dokter Kunar.
Anak-anak saya juga banyak dibantu oleh Opa dokter. Walaupun tinggal berjauhan, berbeda pulau, karena saya tinggal di Pulau Jawa dan beliau tetap di Sulawesi, keluarga saya selalu meminta pertimbangannya (jarak jauh) bila kami sakit.
Selain sebagai dokter, kami juga mengenalnya sebagai fotografer. Hasil jepretannya tidak kalah dari fotografer profesional. Selain stetoskop, rasanya kamera adalah barang yang paling sering dijinjingnya. Kami beruntung memperoleh banyak foto bagus karena hobby memotretnya.
Tugasnya di dunia tampaknya sudah berakhir dengan baik. Beliau pergi tetap sebagai seorang dokter umum yang sederhana. Selamat jalan Opa dokter, semoga generasi cucu-cucu ini akan meneladani pelayananmu yang penuh kasih dan dedikasi. Bukan gelar yang kau kejar, tetapi kepuasan untuk berbuat sesuatu bagi sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H