Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) membuka gerbangnya bagi masyarakat dan pelaku dunia pendidikan yang cinta pada perkembangan iptek dan inovasi untuk mengunjungi Puspiptek Innovation Festival 2018 di Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan dari tanggal 27 -- 30 September 2018. Uniknya, peserta yang hadir bukan hanya peserta lokal melainkan juga tamu-tamu internasional dengan usia yang beragam.
Sabtu siang, 29 September 2018, tampak cukup banyak pelajar berseragam pramuka berjalan ke luar dari Graha Widya Bhakti. Sementara itu, beberapa keluarga justru sedang menuju ke lokasi Booth Kid's Science & ASEAN India. Sayangnya, sebagian besar booth dalam kondisi kosong, mungkin karena menjelang waktu makan siang. Ternyata, sebagian besar peserta booth dari ASEAN dan India masih mempresentasikan ide inovasi mereka, atau justru sedang berkeliling agar dapat menambah masukan kreatif bagi mereka.
Dari laman National Innovation Foundation India tercatat bahwa Shweta membuat ide tersebut bersama Jaskiran Goraya saat ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah karena ide tersebut masuk dalam kategori kelas 9 -10.
Tampaknya keberhasilannya mendapatkan IGNITE Awards membuat gadis yang suka mengolah ide-ide kreatifnya ini semakin rajin membuat ide. Tahun 2012 ia kembali mendapat IGNITE Awards 2012 dengan ide untuk merelokasi awan hujan dari daerah yang sering hujan ke daerah yang sedang kekeringan. Dua ide lainnya berasal dari pencapaiannya di IGNITE Awards 2013 yaitu alat pengganti bohlam lampu dan alat untuk mereduksi kemarahan dan kekesalan yang bila digunakan di kepala akan membantu menurunkan ketegangan bahkan di tengah kemacetan yang terparah sekalipun.
Menurut Shweta, alat untuk menurunkan ketegangan itu mungkin akan memerlukan dua puluh tahun penelitian baru bisa berhasil, tapi salah satu prinsip dasar untuk inovasi adalah harus bersabar. Ia memberi contoh, "Saya datang ke Indonesia tahun 2018, tujuh tahun setelah memenangkan Award pertama saya. Bahkan saya memenangkan beberapa awards, sementara ada juga yang baru pertama memenangkan award dan langsung mendapat undangan ke sini."
Ide dasarnya adalah ketika orang ketakutan maka denyut nadinya akan berubah dan akan terbaca oleh alat di jam tangannya dan akan mengirimkan sinyal untuk menyemprotkan cairan tersebut.Untuk membuat prototipe alat tersebut, Aparna mengakui banyak dibantu oleh kakaknya yang kuliah teknik.
Satu-satunya peserta dari Indonesia yang berhasil saya temui adalah dua pelajar dari Tim Robis, kependekan dari Robotik Bismillah. Tim Robis ini beranggotakan Sofia, Samsul, Holid, Riska, dan Lisna dari SMK Bismillah, Serang, Banten. Ide utamanya adalah membantu teman-teman tunanetra. Dengan bantuan teknologi, dibuat tongkat yang mampu membantu "melihat" rintangan di depan tongkat, demikian juga peralatan ini bisa membantu pemakainya untuk mengirimkan pesan minta bantuan, dan bagi keluarga bisa untuk mencari posisi keberadaan tunanetra tersebut.Â
Hal itu sangat memotivasi mereka untuk selalu lebih baik lagi. Apalagi ketika mereka di Lombok, ada sekolah tunanetra yang langsung memesan sejumlah tongkat tersebut. Kami juga melakukan beberapa inovasi hingga bisa seperti ini tampilannya, sebelumnya kotak pemrogramannya agak besar, sekarang sudah kami perkecil.
Menarik sekali bila anak-anak dari sejak bersekolah sudah berani mengemukakan ide dan berani mempresentasikan dan mencoba mewujudkannya. Mungkin ada ide-ide yang terlihat sepele.Â