Mohon tunggu...
Nursuhadi  Bodong Widyasuhadi
Nursuhadi Bodong Widyasuhadi Mohon Tunggu... lainnya -

...Kalah Pilurdes Desa Sriharjo yang ke-3 tahun 2013....

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengundurkan Diri Itu Kejantanan, Tradisi, atau Aib?

27 Januari 2012   08:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang belum lazim dan membudaya di Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi para pemimpin kita adalah : Keberanian untuk melepaskan atau mengundurkan diri dari jabatanya karena telah dianggap gagal memimpin, kegagalan tersebut bisa disebabkan karena ‘masalah’ atau karena memang gagal menerapkan program kerja, visi dan misinya sebagai konsekuensinya menduduki jabatan penting yang diamanatkan oleh rakyat atau anggotanya.

Bisa dihitung jari, ada berapa pemimpin di Negara tercinta ini yang berani membuat keputusan mengundurkan diri dari jabatan pentingnya, karena telah gagal membuktikan kepemimpinanya. Malah banyak yang beralasan dirinya tidak membuat kesalahan, danitu sudah sesuai dengan aturan kenegaraan, kelitnya, sehingga dia terkesan sudah benar dan tak perlu mundur atau kehilangan jabatan tersebut.

Banyak kita lihat saat ini, banyaknya protes warga yang memprotes kebijakan-kebijakan para elit pemegang keputusan, yang telah dianggap membuat keputusan yang hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi merugikan banyak orang dan justru yang menderita kerugian itu adalah rakyat kecil kebanyakan. Apakah memang sudah menjadi tradisi? Bahwa keberadaan rakyat kecil hanyalah untuk dijadikan tumbal mereka? Tumbal untuk melestarikan jabatan pentingnya agar tak lepas ketangan orang lain?

Kalau dugaan tersebut benar, sangat memprihatinkan pola pikir pemimpin tersebut. Dan sudah saatnya para rakyat kecil melakukan protes akan keputusan atau kebijakan yang telah dibuat para pemimpinya yang notabine mereka dahulu yang memilih juga rakyat sendiri! Kalau begitu siapa yang seharusnya disalahkan? Pemimpin atau Rakyat?

Tapi ada kemungkinan bahwa ‘Mengundurkan diri’ bukan ciri khusus budaya di Indonesia. Dan kelihatanya juga tidak bakalan masuk dalam perundang-undangan Negara Indonesia. Juga tidak akan disetujui oleh anggota dewan yang terhormat walaupun di usulkan untuk ditetapkan sebagai peraturan. Bahkan sebaliknya akan banyak ditentang dan tidak disetujui oleh anggota dewan yang terhormat.

Seandainya ‘mengundurkan diri’ ditetapkan dengan Inpres(instruksi Presiden), Permen(peraturan menteri) atau PP (peraturan pemerintah) pasti akan mendapatkan sorotan tajam oleh mereka pen’duduk’ jabatan penting tersebut. Bisa jabatan setingkat menteri kabinet, setingkat Dewan bahkan jabatan-jabatan penting di daerah sampai yang paling rendah yaitu RT mereka akan memberikan jawaban ‘Tidak setuju!’

Jadi sudah jelas, bahwa ‘mengundurkan diri’ bukan dan tak perlu dijadikan tradisi di Negara Indonesia sebagai bentuk perwujudan yang menunjukan suatu kegagalan dalam memimpin anggotanya.

Kalau begitu kemungkinan ‘mengundurkan diri’ itu erat hubunganya dengan kejantanan seseorang. Artinya seorang pemimpin yang telah dianggap gagal dan berani secara Gentle menyatakan mundur dari jabatan yang diembanya. Dapat dikatakan mempunyai keberanian tinggi, karena pengunduran dirinya menyangkut masadepan, dan soal harga diri! Kita melihat, di Negara kita harga diri lebih tinggi daripada kredibilitas dirinya, atau kualitas kepemimpinanya bener-benar sudah teruji dan mereka inilah yang mampu menunjukan kemampuanya dalam memimpin anggotanya. Ciri yang dapat dilihat bahwa seorang pemimpin ini mempunyai keahlian memimpin salah satu cirinya adalah Dalam mengambil keputusan, setiap keputusanya adalah bijaksana. Dan setiap kesalahan yang dibuatnya selalu mau mengakui bahwa itu adalah kesalahanya, bukan melemparkan kepada orang lain bahkan kalau perlu sudah menyiapkan kambing hitam.

Dapat disimpulkan bahwa kejantanan erat kaitanya dengan ‘harga diri’ maka sekarang yang perlu dipertanyakan adalah seberapa tinggi para pemimpin kita itu mempunyai harga diri? Semakin tinggi harga dirinya maka semakin rendah keberanianya untuk mengundurkan dirinya dari jabatan penting yang didudukinya. Sehingga apabila bersalah maka orang-orang yang mengagung-agungkan harga diri ini pasti akan mengajak yang lain untuk mengakui kesalahanya, bahkan kalau perlu membuat orang yang tak bersalah untuk disalahkan, demi menyelamatkan dirinya atau posisinya.

Sekarang tentang Aib, sudah jelas bahwa aib tak perlu dipublikasikan, kalau perlu ditutup rapat jangan sampai bocor kemana-mana!

Jadi apa kesimpulanya mengundurkan diri dari jabatan itu tradisi, kejantanan atau aib? Kesimpulan bebasnya adalah para pemimpin itu tak perlu mengundurkan diri dari jabatanya sebelum dia dan seluruh keluarganya, anggotanya, kelompoknya, menjadi yang terkaya, terhormat dan paling ter di Negara ini.

Yang perlu dirubah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah peribahasaAnjing Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu! Ada yang berani mengubah?

Kalau ada yang mengajukan diri mundur dari jabatan pentingnya karena bukan kesalahan, maka orang tersebut ada ketidakberesan dengan kejantanan dalam dirinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun