Penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari sudah semakin marak, perkembangannya yang pesat dan konsisten mengundang banyak kecemasan oleh karena ancaman-ancaman yang mulai tampak.
Dalam waktu hanya beberapa tahun, perkembangan AI (artificial intelligence) sangatlah pesat, pada awalnya hanya mampu membangun kalimat dengan satu dua kata dan itupun jauh dari sempurna. Namun sekarang, kemampuan AI telah melampaui batas manusiawi dalam beberapa hal, kemampuannya untuk membuat sebuah produk yang berkualitas dengan waktu yang sangat cepat membuatnya menjadi alternatif yang lebih praktis di depan mata banyak pengusaha. Hal ini menyebabkan terancamnya lowongan kerja yang tersedia untuk masyarakat, terutama bagi para seniman.
AI mampu menggambar dan menciptakan karya seni yang sudah cukup memuaskan, walaupun cenderung terdapat beberapa kesalahan karena mereka hanyalah sebuah mesin yang dilatih untuk membuat karya seni dengan cara menganalisis karya-karya yang sudah ada. Seorang seniman yang hebat mampu menciptakan karya seni yang jauh lebih berkualitas daripada AI, tetapi dalam hal kegunaan seni dalam kehidupan sehari-hari misalnya untuk membuat sebuah logo, desain spanduk, dan lain-lainnya, AI dianggap jauh lebih praktis oleh karena kecepatannya dan fakta bahwa banyak dari alat-alat AI tersedia di internet secara gratis. Hal ini membuat banyak pengusaha cenderung memilih menggunakan AI daripada harus membuang waktu dan dana demi memperkerjakan seorang desainer ataupun seniman.
Suatu hal yang menurut saya menarik adalah bagaimana cara AI sendiri belajar dan dilatih untuk menciptakan karya-karya seni. Seperti seorang murid yang mempelajari sebuah materi dengan bantuan buku, AI sendiri perlu sebuah dataset, dari mana mereka mampu menyaring, mengolah, dan memperalat data tersebut demi membuat sebuah respon yang layak. Hal ini dianggap sebagai fase pelatihan AI, dimana mereka dilatih dibawah pengawasan seorang ahli hampir mirip dengan bagaimana seorang guru mengawasi dan memandu murid-muridnya.
Suatu contoh singkat adalah model AI yang dilatih untuk mengidentifikasi jenis sampah mau itu organik ataupun tidak, maka dataset yang digunakan berupa sebuah kumpulan foto sampah organik dan anorganik yang sebelumnya telah dikasih label oleh pengembangnya. Tidak jauh berbeda, sebuah AI yang mampu menciptakan karya seni juga pada awalnya diberikan dataset berupa kumpulan karya seni yang telah dibuat oleh seniman lain, dengan sedikit input terkait apa yang digambarkan pada karya tersebut, AI mampu menemukan pola-pola antara satu seni dengan yang lain, hingga pada titik mereka mampu mengidentifikasi objek, anatomi dan lain-lainnya. Intinya adalah pelatihan sebuah model AI tidak lepas dari campur tangan manusia, karena sebelum AI dilatih mereka hanyalah sebuah sistem yang dibuat sedemikian rupa hingga mereka mampu untuk belajar.
Alhasil, tidak heran jika pada zaman sekarang AI telah menjadi sebuah alat yang sangat efektif  dan mampu berkompetisi dengan ahli-ahli dalam berbagai bidang. Hal ini menunjukkan betapa suksesnya perkembangan teknologi yang bersifat cukup eksponential, tetapi tidak tanpa risiko terkait kesejahteraan manusia. Hal yang bisa kita lakukan adalah untuk menggunakan AI dengan bijaksana, jangan bergantung pada mereka maka kita setidaknya mampu mengembangkan talenta maupun kemampuan-kemampuan kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H