Retno Widyayanti, MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA
Mengharukan jika mengenang memori beberapa tahun lalu. Sepanjang sore anak - anak melepas penat aktivitas sekolah dengan bermain, dan bercerita bersama. Para pemuda aktif dalam kegiatan kerohanian, karang taruna dan lain - lain. Celoteh riang terdengar disetiap sudut pelataran rumah, melahirkan keceriaan dan semangat persaudaraan yang harmoni. Tapi saat ini para pemuda lebih senang menghabiskan waktu menggunakan handphone, laptop dan beragam teknologi lainnya. Interaksi sosial tetap terjalin dengan mudah tanpa harus bertemu langsung.
Saya masih ingat ketika tahun 90-an, telepon seluler bisa dikatakan barang ekslusif. Akses informasi dan telekomunikasi terbatas. Tak sedikit yang harus mengantri di Wartel dan Warnet. Harga telepon seluler pada masa itu sangat mahal, tarif SMS masih diatas lima ratus rupiah, dan untuk mengaktifkan kartu perdana harus mengeluarkan biaya diatas seratus ribu rupiah. Tapi saat ini dengan modal seratus sampai dua ratus ribu rupiah telepon seluler bisa kita dapatkan. Pihak operator pun berlomba menawarkan harga serendah mungkin melalui iklan yang kreatif. Pengaktifan kartu perdana cukup Rp 2.500, tarif SMS dan telepon tak lagi menguras kantong, karena tarif SMS dan telepon sangat murah bahkan gratis.
Perkembangan teknologi komunikasi ternyata berimplikasi pada perubahan lifestyle generasi muda. Dulu ketika tarif telepon seluler masih mahal, penggunaan komunikasi dilakukan seperlunya. Berbeda dengan sekarang, tarif yang murah mendorong generasi muda mengeksploitasi fasilitas yang diberikan, bahkan untuk hal – hal yang tidak penting. Ditambah lagi adanya internet yang mudah di akses lewat telepon seluler menjadikan generasi muda semakin keranjingan situs jejaring sosial. Berbagai kemudahan ini melenakan, tanpa disadari menjadikan mereka pribadi yang pasif dan konsumtif.
Perubahan lifestyle pemuda juga bisa dipengaruhi oleh maraknya paparan iklan komersial. Iklan yang disajikan semakin variatif dan menarik, mulai dari konten sederhana seperti penawaran produk secara langsung, disajikan dalam bentuk lawakan dengan menggaet artis yang sedang naik daun, sampai guyonan kocak yang saling menjatuhkan. Pesan yang disampaikan melalui iklan cenderung mem-blow-up gambaran gaya hidup masa kini yang tidak dapat terlepas dari teknologi komunikasi serta penggunaan situs jejaring sosial. Pesan yang disampaikan berulang – ulang lewat iklan secara tidak langsung terinternalisasi dan seolah menghipnotis komunikan untuk mengikutinya. Terlepas dari nilai itu positif atau negatif. Jika entitas iklan positif tidak masalah, tetapi sebagian besar konten iklan berupa kegiatan yang minim manfaat. Contoh : like this segala aktivitas facebook, update status, upload kegiatan lewat youtube, dll. Pesan semacam ini sebenarnya mendorong komunikan untuk melakukan perilaku pemborosan dengan semakin banyak menggunakan fasilitas komunikasi demi menunjukkan eksistensi diri yang berlebihan atau istilah gaulnya narsis.
Seharusnya fasilitas dan kemudahan yang ada bisa dimanfaatkan untuk hal – hal yang lebih produktif. Di Negara maju kecanggihan teknologi komunikasi mampu mempercepat pembangunan. Di Indonesia kemajuan teknologi komunikasi belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pembangunan. Lalu mengapa semua ini terjadi? Apakah karena pengaruh gencarnya iklan tarif murah yang melenakan, ataukah memang karena masyarakat kita belum bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi secara tepat dan efisien.
Tidakkah fenomena ini turut menjadi perhatian pihak operator? Alangkah baiknya jika ada filter konten periklanan. Operator seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan turut memperhatikan dampak yang mungkin terjadi. Bukan sekedar mengejar profit, tetapi juga perlu penanaman nilai budaya yang lebih arif. Pemerintah yang diwakili Kementrian Komunikasi dan Informasi seharusnya mampu meminimalisir dampak negatif dari menjamurnya iklan seluler. Dengan menerapkan regulasi secara optimal, Kementrian Komunikasi dan Informasi bisa menjalin kerjasama nyata guna mempopulerkan program – programpemerintah seperti program pendidikan BOS (Bantuan Operasional Sekolah), program kesehatan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), program kewirausahaan UMKM (Usaha Masyarakat Kecil Menengah), program pertanian KUR (Kredit Usaha Rakyat), dll.
Selama ini program pemerintah tersebut tidak tersosialisasikan secara maksimal kepada masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Sosialisasi dilakukan dengan ala kadarnya. Mentoknya pengiklanan dilakukan melalui media pemerintah seperti televisi dan radio yang secara kuantitas sangat terbatas dan pengemasan yang cenderung monoton. Alangkah baik nya sosialisasi dilakukan dengan memanfaatkan layanan operator seluler. Langkah ini dapat menjadi alternatif yang bombastik karena telekomunikasi seluler kini telah merambah disegala lapisan masyarakat. Hal ini juga merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan operator seluler.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H