Saya cukup terperangah membaca di WA grup, sahabatku Indri sekarang jualan nasi gudeg di pasar pagi. Di era pandemi ini dengan terpaksa perusahaannya harus merumahkan karyawannya sampai waktu yang belum ditetapkan. Tetapi sangat tidak menyangka jikalau dia yang dahulu kita menyebutnya "Princess" mau berjibaku di pasar pagi tanpa asisten.
Dulu dia tidak bisa tanpa riasan lengkap, meski tidak tebal. Penampilan yang elegan dan selalu wangi. Tangannya yang bersih selalu dengan hiasan kutek, sepertinya tidak pernah berkawan dengan dapur, asap kompor maupun cucian. Ada emak yang setia sebagai asisten rumah tangga di rumahnya mulai dia menikah hingga sekarang. Suaminya yang bekerja di hotel hanya masuk dan dibayar 10 hari kerja saja dalam sebulan di era pandemi ini.
Terlihat jualannya laris manis. Semua pembeli dilayani dengan ramah, dengan kekuatan senyuman yang khas. Sekalipun tanpa make up, tapi tetap cantik karena bawaan lahir sebagai "Princess". Setelah dagangannya habis bersih, saya ngobrol sejenak, mengorek perjuangannya sampai menjadi penjual nasi gudeg.Â
Dia harus belajar membuat gudeg dan pirantinya selama sebulan dari saudaranya yang tinggal di Surabaya, sementara dia tinggal di Sidoarjo. Proses belajar itu dilakukan setiap hari perjalanan Sidoarjo-Surabaya PP.
Karena faktor ekonomi sudah mulai melemah, terpaksa dia juga harus memberhentikan emak si asisten rumah tangganya. Sekarang ini dia harus bangun jam 12 malam untuk mulai memasak untuk berjualan di pasar pagi. Belum lagi kalau ada pesenan nasi gudeg besek yang menjadi favorit jualannya. Sedari siang dia sudah harus belanja ke pasar. Sebuah pemandangan yang berbeda.
Di era pandemi ini, banyak pula orang orang yang tidak siap terpuruk, terjatuh atau mungkin tersingkir dari kenyamanan hidup. Ada yang mampu bangkit, tapi ada juga yang tergolek lunglai. Seberapa kuat ketahanan mental kita menghadapi masalah kehidupan di tengah pandemi Covid 19 yang kita tidak tahu kapan akan berujung. Salah satu dengan parameter Adversity Quotient. Lalu, apa yang dimaksud dengan Adversity Quotient (AO)?
Kecerdasan adversiti atau Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah atau hambatan dalam kehidupan
Jika kita tidak mampu bermigrasi dalam kondisi yang penuh ketidak pastian saat ini, maka kita akan ditinggalkan bahkan bisa saja dilupakan oleh dunia.Â
Intinya kalau kita tidak move on tidak kreatif dan tidak inovatif menghadapi perubahan perubahan yang terjadi di dunia, maka kita tidak akan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Ada cerita lain dari kakak saya seorang manajer keuangan di Jakarta, karena pandemi ini harus dirumahkan untuk batas waktu yang belum ditetapkan. Setelah mulai menggeliat roda perekonomian Indonesia, dia mulai WFH dengan dipotong gajinya 50%. Masih menurut cerita kakak, ingin rasanya protes, tapi memang kondisi yang tidak memungkinkan masih bersyukur ada pendapatan per bulan.Â
Akhirnya dia menambah penghasilan dengan berjualan sayur secara online. Kakak saya yang notabene tidak pernah bersentuhan dengan pasar tradisional harus bangun pagi pagi sekitar jam 3, berbelanja memenuhi orderan para pelanggan di apartemen sekitar rumahnya. Mengirimnya dari lantai ke lantai, dilanjut dari pintu ke pintu apartemen untuk memenuhi order pelanggannya.Â