Mohon tunggu...
Retno Si Bongil
Retno Si Bongil Mohon Tunggu... Guru - guru koplak

sepenggal cerita kan ku jadikan sebuah kisah dalam khayal ku :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Percaya Kamu

25 Maret 2012   15:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia terus berlari dan berlari, meski tanpa arah juga tujuan dia terus saja berlari menyusuri bukit berliku yang sepi itu. Bulir-bulir air matanya ditumpahkan beserta seluruh rasa yang menyiksa batinnya. Sesak didada tak menyurutkan langkah kakinya untuk terus berlari menjauhi keramaian. Melangkah ke tempat sunyi senyap untuk menyendiri dan menangis dalam pelukan senja seorang diri. Peluhnya pecah karena sudah cukup jauh dia berlari hingga nafasnya memburu cepat seperti waktu yang telah ia lalui dibukit itu. Hanya menyeka peluh sambil tetap berlari ia melanjutkan pelarian ini. Adis tiba-tiba berhenti dibawah sebuah pohon besar yang telah tua dimakan usia. Masih terengah-engah Adis memejamkan matanya yang juga masih basah oleh air mata. Bulu matanya yang lentik basah akan bulir air yang berkilau tersengat cahaya sore yang sebetulnya begitu hangat. Bibirnya bergetar sepeti tak kuasa menahan peliknya kesedihan yang sedang dialaminya. Pelan-pelan dia membuka matanya yang sayu dan kini ia bertatapan dengan mentari sore yang indah itu. Terpaku dan mengalir jatuh perlahan dipipinya air mata itu. Kembali memejamkan mata dan bibirnya semakin kuat merapat dan juga semakin kuat bergetar. “Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrgggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhh,” teriak hati Adis. *** Lemas dan tak bersemangat yang kini tampak dari diri seorang Adis. Padahal sebelum itu terjadi, Adis merupakan gadis manis yang selalu ceria dengan tawa renyahnya. Langkah kakinya yang lambat memasuki loby kampus terlihat dari arah belakang oleh Cita, sahabat sekaligus teman sekelasnya. Memang tidak terlalu sulit untuk mengenali Adis karena ia selalu mengikat rambut panjangnya, memakai kaos dilapisi sweater dan sepatu kets belel miliknya. Cita bergegas untuk menghampirinya namun belum sempat tangannya merangkul sahabatnya itu, Cita melihat Adis terkulai lemas kemudian pingsan tepat didepan matanya. Cita langsung berlari dan menyambut tubuh Adis dan berteriak meminta pertolongan untuk membawa Adis ke ruang kesehatan. “Aduuuhhh,” rintihnya pelan sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berat. “Dis, elo nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Cita dengan penuh rasa khawatir. “Gue dimana Cit? Kepala gue sakit banget nih.” “Kalo gitu elo pulang aja ya?” “Gue nggak kenapa-kenapa kok, kita ke kelas aja yuk.” “Nggak kenapa-kenapa gimana? Tadi elo sendiri yang bilang kepala lo sakit, udah deh pulang aja gue anterin.” Bujuk Cita. “Nggak, ayo ke kelas.” Tolaknya sambil menarik tangan Cita. “Tapi nanti elo kenapa-kenapa gimana?” “Kan ada elo nenek bawel.” Sambil tersenyum kearah Cita seperti tak pernah terjadi apa-apa beberapa jam lalu. “Nyusahin!” kesal Cita. Mereka berdua pun berjalan memasuki kelas. Adis memang tersenyum namun itupun membutuhkan banyak sekali tenaga dalam dirinya. Hal itu dilakukan agar ia tak terus menerus melihat sahabatnya ini merasa khawatir pada dirinya. *** “Apa lo bilang? Elo mau ketemu Adis terus mau ngajak dia balikan sama lo? Eh lo ngaca dong, harusnya cowok kayak lo tuh nggak pantes buat cewek macem Adis itu. Sadar diri dong!” teriak suara nyaring Cita ditaman kampus yang membuat hampir semua orang disekitar taman melihat mereka. “Gue tahu kok gue salah, makanya sekarang gue mau minta maaf sama dia. Sekarang dimana dia?” nada suara laki-laki ini sedikit naik karena kesal dengan Cita yang sejak tadi tidak mau memberitahu dimana Adis berada. “Minta maaf? Menurut lo cukup pake minta maaf? Eh asal lo tahu ya, patah hatinya Adis sampe bikin dia pingsan dikampus kemarin. Lo sadar ga sih, dia tuh sayang banget sama lo tapi lo tega banget ya SELINGKUH sama TANTE-TANTE lagi! Gila lo! Nggak waras!” kali ini teriakan Cita berhasil membuat orang-orang disekeliling mereka menengok kearah mereka. Laki-laki itu hanya terdiam dan memejamkan mata mendengar kata- kata Cita yang sebenarnya itu adalah tamparan yang begitu keras untuknya dan juga hal memalukan ketika semua orang menertawainya. “Cita! Udahlah jangan teriak-teriak terus, lo ga malu diliatin orang-orang?” tiba-tiba Adis muncul dan berjalan perlahan menghampiri Cita untuk menahan emosinya yang meluap-luap. “Lo diem aja deh Dis, cowok kayak gini ga perlu dikasih hati. Manis dimulut sama tampang doang yang lo jual, Dit, tapi nggak punya otak buat milih yang mana yang bener!” tuding Cita kepada Adit dengan teriakannya. “Udah Cita, kita bisa selesaiin ini secara baik-baik ya. Jangan teriak-teriak kayak orang gila gitu ah, malu.” Sambil terus menenangkan Cita, Adis mengelus pundak sahabatnya itu. “Untung sahabat gue yang baik ini cepet dateng, kalo nggak udah abis lo sama gue.” Ancam cita dengan sedikit tenang namun masih penuh rasa amarah. “Oke semua udah tenang ya. Adit, nanti malem kita bisa bicara ditempat biasa kan jam 8? Kita pergi dulu ya.” Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Adit seperti dingin dan membeku. Hanya anggukan kepala yang mengisyaratkan kata iya pada Adis. Masih terdiam Adit menatap sosok perempuan yang ia tahu begitu mencintai dirinya. Angin berhembus sejuk melewati helai rambutnya. Adit menghela nafasnya sebelum ia pergi dari taman ini. *** Adis masih mengayun-ayunkan kakinya yang panjang itu dan menikmati angin malam yang mulai terasa sepoi-sepoi dan mengantarkan harumnya rumput dibukit ini. Tersenyum sendiri menatap bulan dan langit malam sambil menunggu Adit datang menemuinya sesuai dengan yang dikatakannya siang tadi. Tepat jam 8 Adit tiba dibukit itu dengan membawa sepeda motornya, masih berdiri disamping sepeda motornya, Adit menatap perempuan yang sedari tadi telah menunggunya duduk dan bermain-main sendiri. “Dis.” Dengan pelan ia memanggil Adis. “Oh kamu udah dateng, duduk sini aja.” Tangan Adis melambai seraya mengajak Adit untuk duduk disampingnya. “Liat deh, itu bagus ya.” Sambil menunjuk dan melihat kearah atas, Adis menunjuk bulan yang bersinar terang dan terasa begitu dekat dengan mereka. Adit hanya menuruti kata-kata Adis dan ikut melihat bulan dengan segala keindahannya. Dada Adit begitu sesak hingga pelupuk matanya sekarang terasa basah oleh air mata yang perlahan datang. “Dis, aku minta maaf banget soal kemarin itu. Aku bener-bener nggak ada maksud buat selingkuh, Dis. Aku dijebak sama Ronald.” Ceracau Adit dan Adis hanya menatap kosong kearahnya. “Aku ngaku aku pergi ke club sama anak-anak dan disana aku ditraktir minum sama Ronald tapi aku nggak tahu ternyata mereka semua udah punya rencana buat ngerjain aku. Dia ngasih bir yang kadar alkoholnya bener-bener tinggi sampe bikin kepala aku pusing banget dan aku dimasukin ke ruangan yang disitu banyak tante girangnya. Disitu aku masih sadarin diri dan aku nyoba buat keluar dari ruangan itu tapi lagi-lagi Ronald udah kompromi sama tante-tante girang disitu buat nelanjangin aku. Dan mereka merekam semua perlakuan tante girang itu terus dikasih tahu ke kamu seakan-akan aku ini cowok brengsek!” Adit mencoba menggambarkan situasi pada saat itu kepada Adis sambil mencoba meyakinkannya. “Aku minta maaf, Dis. Aku salah, nggak pernah dengerin omongan kamu sampe terjadi hal kayak gini. Aku bener-bener minta maaf, aku nggak mau sampe kehilangan kamu.” Untuk pertama kalinya Adis melihat air mata Adit mengalir diwajahnya yang penuh dengan penyesalan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Adis memeluk Adit dengan penuh kasih sayang. “Aku percaya sebenarnya kamu nggak kayak gitu, walaupun kamu bohong sama aku kalo kamu bilang kamu dirumah tapi aku yakin kok kamu nggak pernah ada main sama cewek lain apalagi tante-tante girang gitu. Iya kan?” alis Adis mengangkat penuh tanya sambil menatap lembut mata Adit yang masih mengeluarkan air mata. “Aku sayang banget sama kamu. Kalau pun itu mungkin, aku nggak mau pergi dari kamu apalagi harus kehilangan kamu. Ini hal tertolol yang pernah aku lakuin, aku minta maaf banget ya?” suara Adit yang terbata-bata jelas terdengar. “Aku juga sayang banget sama kamu, Dit. Tolong ya, jangan pernah sekali pun hancurin kepercayaan aku buat kamu.” Pinta Adis dengan penuh harap. “Aku akan jaga kepercayaan kamu buat aku, sayang. Kamu itu baik banget sih, aku nggak mau deh kehilangan kamu lagi. Udah cukup buat aku kehilangan kamu satu hari dan aku nggak mau ngulang hal tolol itu lagi.” senyum pun mengembang dari bibir Adit sambil mengelus mesra kepala Adis. Adis hanya membalas senyuman Adit dan kembali mengumpat dipelukan kekasihnya itu. *** ‘Waktu yang lama bukanlah jaminan tentang kepercayaan itu terjalin, namun kepercayaan itu terbentuk karena keterus terangan atas apa yang telah kita lakukan kepada pasangan. Walaupun itu menyakitkan namun kejujuran adalah sebuah bukti nyata dari arti kasih sayang.’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun