Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) akan menghentikan tunjangan fungsional dosen-dosen perguruan tinggi yang masih berpendidikan sarjana. Penghentian tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen yang disahkan pada 2005 (Republika, 30/10).
Para dosen terutama yang pendidikan terakhirnya masih sarjana agaknya menjadi sasaran utama berita yang muncul di berbagai media cetak ataupun daring  pada Minggu lalu ini. Ya, penghentian tunjangan untuk dosen sarjana akan diterapkan. Sebagian media menyebutkan penghentian akan diberlakukan awal November. Sebagian lainnya mengonfirmasi penghentian dilaksanakan awal tahun mendatang. Namun, yang jelas penghentian itu pasti pelaksanaanya.
Penghentian tunjangan ini berangkat dari UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 46 nomor (2) dinyatakan “Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum (a)lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; (b)lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Pasal ini kemudian dijelaskan dalam ketentuan penutup pasal 82 nomor (2) bahwa pemenuhan kualifikasi akademik paling lama 10 tahun sejak berlakunya UU.
Jika melihat petikan UU di atas, tak salah memang jika akhirnya pemerintah mengeluarkan kebiijakan penghentian tunjangan sebagai bentuk sanksi sementara. Jika dihitung, sepuluh tahun dari berlakunya UU berati tahun 2015 lalu seharusnya menjadi tahun terakhir dosen-dosen lulusan sarjana diberi kesempatan mengurus kelanjutkan studi mereka jika masih tetap ingin menjadi dosen. Sayangnya, hampir lewat setahun dan UU ini masih belum berjalan semestinya.
Data Juni 2015 mencatat sebanyak 3.245 dari 8.591 dosen di wilayah 1 Â Kopertis saja masih berstatus sarjana strata 1 (S1) (kabarmedan.com). Jumlah yang hampir mencapai setengah ini harus menjadi perhatian dari pemerintah jika ingin menerapkan sanksi di atas. Apabila tunjangan diberhentikan dan lebih jauh dosen dapat diberhentikan sementara karena belum memroses kelanjutan studi magister mereka, itu artinya akan ada sekitar 3000 dosen yang tidak dapat menjalankan fungsi mengajar di kelas. Perlu diingat bahwa kebutuhan dosen di Indonesia belum lagi memenuhi kuota. Sering satu dosen mengampu dua hingga tiga mata kuliah pada kelas yang sama. Tentu kita tak ingin kegiatan belajar mengajar di kelas terhenti karena dosen-dosen sarjana yang diberhentikan sementara ini.
Selidiki Alasan
Dalam sebuah pertemuan di Universitas Gadjah Mada tahun 2014 lalu, Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ali Ghufran Mukti pernah menyebutkan bahwa dosen S1 seringkali hanya mencari jabatan struktural tanpa memiliki misi kependidikan (tribunjabar.com). Ini mungkin hanya satu alasan atau kasus yang melatabelakangi dosen S1 tak mau melanjutkan pendidikan mereka.
Tak sedikit dosen yang beralasan tidak melanjutkan ke jenjang magister karena alasan tak ada waktu atau bahkan karena memang malas harus sekolah dan belajar lagi. Dosen-dosen seperti ini baiknya dievaluasi apa tujuan dan motif mereka berada di perguruan tinggi. Jangan sampai profesi dosen yang juga pokok kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dipegang oleh orang-orang yang mencari kepentingan pribadi semata- seperti yang disebutkan oleh Ali Ghufran di atas- tanpa memikirkan visi dan amanat perguruan tinggi yang sesungguhnya.
Pemerintah perlu menyelidiki apa faktor dan alasan sesungguhnya  para dosen ini masih belum melanjutkan pendidikan mereka. Apakah memang karena alasan-alasan seperti yang disebutkan di atas atau ternyata ada alasan lain yang tingkat urgensinya tinggi sehingga memang tak memungkinkan para dosen ini melanjutkan studi mereka. Perlu kiranya bagi pemerintah mengetahui kendala yang ada di lapangan. Ini akan memudahkan pemerintah sendiri dalam mengambil tindakan dan kebijakan dan tidak sekadar menetapkan peraturan tanpa tahu kondisi nyatanya.
Dukungan dan Motivasi
Tentu kita sepakat bahwa amanat UU ini berniat dan bertujuan baik, yakni untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Kita juga paham bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih butuh pengembangan dan target-target besar untuk bisa mensejajarkan diri dengan universitas negara-negara lain jika tak ingin menyebutnya menyaingi. Â Sebab itu kita membutuhkan peningkatan kualitas keilmuan para dosen agar meningkatkan pula kualitas keilmuan para mahasiswa, masyarakat, dan bahkan bangsa.
Salah satu hal yang penting adalah dukungan dan motivasi dari pemerintah sendiri. Dukungan di sini dapat berarti luas baik moril maupun materil. Untuk menyekolahkan 3.000 lebih dosen tentu tidak sedikit biayanya. Maka, pemerintah harus menyiasati hal ini. Jangan sampai hanya meminta dosen untuk melanjutkan studi mereka tapi tidak dibarengi dengan dukungan anggaran yang mencukupi. Jangan sampai anggaran tersendat sehingga malah menelantarkan para dosen sebagai aset bangsa ini.
Dukungan atau motivasi ini juga dapat berupa penyebaran semangat menuntut ilmu di kalangan para dosen. Mengingatkan kembali para dosen pada visi misi perguruan tinggi dan peran dosen yang tak hanya mengajar tapi juga mengembangkan keilmuan dan penelitian untuk kemajuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H