Aku duduk lelah di tepi lapangan basket dengan kedua ring bergambar logo sebuah operator telepon seluler. Jersey putih hitamku terasa basah kuyup atas ulah tubuhku yang melakukan reaksi oksidasi hingga menghasilkan bulir-bulir keringat sebesar biji jagung. Aku segera meraih botol air mineral dan meneguknya hingga kekeringan di kerongkonganku sedikit mereda.
Pertandingan sore ini berlangsung dengan sengit. Pertahanan masing-masing tim yang sangat kuat membuat semangatku semakin terbakar. Pasalnya tim lawan kali ini adalah musuh bebuyutan tim SMAku. Bahkan di setiap kompetisi yang pernah kuikuti, aku belum pernah tak bertemu tim ini di babak final.
Kali ini timku unggul satu poin dari tim lawan oleh karena shootku di detik- detik terakhir. Tak biasanya aku bisa sekonsentrasi ini saat pertandingan akan berakhir. Sebuah kebetulan.
Aku dan hidupku memang takkan bisa terpisahkan dari hobiku yang satu ini. Memantulkan bola oranye di atas lapangan yang tak sehalus di gelanggang olahraga kotaku adalah salah satu kegiatan rutinku paling tidak seminggu dua kali. Aku tak pernah peduli seperti apa skillku, yang aku percaya kemampuan dapat tumbuh dari minat. Dan aku sangat minat dan sangat mencintai dunia yang sama dengan Kobe Bryan ini.
Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku menuju ruang ganti sekolahku. Tak berapa lama, kakiku terhenti saat mataku membaca kertas berwarna dasar merah yang tertempel di papan pengumuman. Kudekati kertas itu dan kubaca tulisan besar di atasnya; seleksi paskibraka tingkat kabupaten.
Setelah kubaca semua persyaratannya, aku segera meluncur ke ruang UKS untuk mengukur tinggi dan menimbang berat badan. Yess! Memenuhi syarat! Dengan girang, aku segera menuju ke ruang ganti. Aku merapikan kaos putihku sambil berkaca. Aku berandai-andai tubuhku dibalut dengan seragam putih-putih dan dengan tegap aku berjalan diantara pasukan berseragam yang siap mengibarkan bendera merah putih.
Namun seketika aku lemas saat aku menatap bayangan mataku di cermin. Mataku sipit. Dan aku baru berpikir tentang hal ini; aku seorang blasteran Jawa-Cina. Dan secara fisik, gen yang turun dari Papalah yang paling dominan, yaitu mata sipit dan kulit putih.
Ingatanku meluncur jauh ke beberapa tahun yang lalu. Ketika segerombol anak laki-laki dengan badan tinggi besar menghampiriku di dekat tiang bendera saat latihan upacara. Mereka tertawa melihatku membawa kain merah putih yang dilipat berada di tanganku.
“Hey! Kau tahu? Itu bendera Indonesia, bukan bendera Cina! Hahahaha”
Kata- kata yang terekam jelas lima tahun lalu itu seakan kembali berdengung di telingaku. Memaksaku untuk kembali menahan air mata yang sudah mengantri di mataku. Ya, aku keturunan Tionghoa, tapi aku Indonesia. Apa aku tak berhak untuk menjadi sedikit berharga di mata tanah kelahiranku?
Setelah kuperhitungkan dengan matang, aku membulatkan tekad untuk tetap mendaftar seleksi paskibraka. Aku harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Aku menyiapkan mentalku jika saja aku tak dapat lolos seleksi. Aku harus berbesar hati jika aku harus memendam dalam-dalam keinginanku untuk bisa menjadi salah satu dari pasukan putih-putih itu.
Pagi ini aku mengikuti serentetan tes. Mulai dari tes tulis dan tes fisik kulalui satu persatu dengan doa yang selalu kusimpan dalam hati agar aku memperoleh hasil terbaik. Aku tetap menanamkan optimisme yang tinggi dalam diriku, walaupun di sisi lain aku tetap menyiapkan hatiku agar tidak terlalu menyesali kalau saja aku tak lolos.
Bulan Mei menjadi bulan yang penuh dengan jadwal pertandingan basket. Sampai akhir bulan nanti masih ada tiga pertandingan yang harus kuselesaikan. Termasuk pertandingan sore ini. Aku harus bertanding melawan tim basket sekolah sebelah setelah mengikuti beberapa tes fisik yang melelahkan.
Di pertengahan pertandingan tiba- tiba kakiku terasa kram dan BRUUUKK lutut kiriku menghantam lapangan basket dengan sangat keras. Aku meringis kesakitan. Darahku berceceran di ujung lapangan basket. Semua yang berada di lapangan mengerumuniku dan segera membawaku ke rumah sakit.
Kakiku terasa sangat sakit dan berat, rasanya aku sangat sulit untuk menggerakkan kakiku. Kata dokter tulangku retak, dan aku terpaksa menggunakan kursi roda untuk membantuku berjalan. Dan aku akan menjalani hal terburuk dimana aku harus kehilangan waktu-waktu terindahku bersama lapangan basket, bola oranye, jersey putih hitamku, dan sepasang ring yang sudah taksempurna lagi bentuknya.
Sudah beberapa minggu ini, aku ke sekolah masih dengan menggunakan kursi roda. Untung saja teman baikku selalu mendorong kursi rodaku setiap pagi menyusuri koridor sekolah. Aku sama sekali tak punya nyali untuk melalui lapangan basket, dan aku memilih jalan lain.
Tak seperti biasanya, pagi ini papan pengumuman dikerumuni banyak orang. Aku melihat apa yang sebenarnya mereka lihat di papan pengumuman itu. Agni Mahardika Pertiwi. Namaku tertulis diantara peserta yang lolos seleksi paskibraka tingkat kabupaten. Tanpa komando, air mataku menetes. Aku lolos seleksi. Tapi aku tak bisa mengikuti pelatihan, karantina, apalagi upacara tujuh belas Agustus.
Aku bingung, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Tuhan. Padahal aku sudah berdoa agar aku mendapatkan yang terbaik. Aku sama sekali tidak menyiapkan untuk kemungkinan ini. Aku sangat kacau dan berantakan. Aku sungguh kecewa dengan apa yang Tuhan berikan.
Bel pulang sekolah meraung- raung di setiap penjuru sekolah, tanda sekolah sudah usai hari ini. Aku yang masih duduk di atas kursi roda menunggu Papa menjemputku di depan gerbang sekolah. Mataku tertuju pada beberapa anak di pinggir lampu merah depan sekolahku. Mereka memainkan gitar kecil mereka sambil menyanyikan lagu yang menurutku sangat tak pantas untuk anak seusia mereka.
Aku menghampiri mereka dan memasukkan selembar uang seribuan ke dalam kantong yang mereka sodorkan padaku. Aku mencoba mendekati salah satu dari mereka dan mengajak salah satu dari mereka mengobrol di pinggir trotoar.
“Adik sudah lama ngamen?”
Gadis kecil dengan rambut pendek itu hanya tersenyum malu- malu.
“Adik nggak sekolah?”
Ia menggeleng dengan wajah kusut.
“Kenapa?”
“Bapak meninggal dua tahun lalu, ibu ngurus adik di rumah. Jadi aku harus cari uang untuk makan, Kak”
“Adik yang sabar ya. Ngomong-ngomong, adik sudah bisa baca?” kataku seraya mengelus pundaknya.
“Sedikit” jawabnya singkat
“Di rumah, kakak punya buku cerita. Adik mau?”
“Mau mau, Kak” wajahnya berubah menjadi sumringah.
“Besok kakak bawakan ya.” aku tersenyum padanya. Tak berapa lama, mobil Papa berhenti di depanku. Aku segera berpamitan pada gadis kecil itu. Aku membuka kaca mobil dan melambaikan tanganku padanya. Ia tampak begitu senang saat kujanjikan sebuah buku cerita untuknya.
Keesokan harinya, aku menyiapkan tiga buku cerita yang akan kuberikan pada gadis kecil itu. Sepulang sekolah, ia sudah menungguku di pinggir trotoar seperti kemarin. Aku melambaikan tangan padanya. Ia mendorong kursi rodaku agar sedikit bergeser ke arah barat karena matahari saat itu sangat menyengat di kulit.
“Ini buku cerita yang kakak janjikan kemarin” ia meraih tiga buku cerita itu dari tanganku lalu membolak-balik sampulnya. Ia tampak senang.
“Adik ngamen di sini sama siapa?”
“Sama teman- teman. Ada yang di ujung pertigaan sana, ada yang di ujung perempatan belakang sekolah.”
“Banyak?”
“Iya banyak, Kak”
“Mereka juga nggak sekolah?”
“Nggak, Kak”
“Adik sama teman-teman adik nggak pingin sekolah?”
“Kalau sekolah, pasti pingin, Kak. Tapi kita dapat uang dari mana untuk biayanya? Lagipula keluarga di rumah juga butuh makan”
“Emm, kalau begitu besok kita ketemu lagi di sini ya Dik, ajak teman-teman adik juga”
“Kakak mau ngasih buku cerita juga ya ke teman-teman Ana?”
Aku hanya tersenyum padanya dan berpamitan karena seperti biasa, Papa sudah menunggu. Di dalam mobil, aku memberanikan diri untuk meminta bantuan Papa.
“Pa, Agni mau buat proyek sosial buat anak jalanan. Kira-kira Papa bisa bantu?”
“Apa rencana kamu, Nak?”
“Agni ingin belajar sama mereka setiap pulang sekolah, apalagi sebentar lagi ada libur kenaikan kelas, jadi Agni nggak begitu sibuk. Tapi Agni butuh dana untuk hal ini, Pa.”
“Kalau Papa sendiri sih, setuju sama ide kamu. Tapi jujur saja, kalau masalah dana, Papa takut proyek kamu suatu saat berhenti karena kehabisan dana.”
Aku sedikit kecewa dengan jawaban Papa.
“Tapi Papa coba usahakan untuk mencari donatur dari teman kerja Papa”
“Papa serius?” aku setengah tak percaya dengan jawaban kedua Papa yang membuatku senang bukan kepalang.
Papa hanya mengangguk sembari tersenyum menunjukkan kesungguhannya padaku.
“Makasih, Pa”
Aku baru ingat, aku masih menyimpan uang dari angpao ketika Imlek kemarin. Setelah kubuka, ternyata masih ada tiga lembar uang lima puluh ribuan dan selembar uang seratus ribuan, masih cukup untuk beberapa hari. Aku membeli beberapa kue dan makanan ringan yang kira-kira cukup untuk tiga puluh orang. Aku memasukkan semua makanan ringan itu ditambah beberapa buku pelajaran SD ke dalam tas. Aku semangat untuk menjalani hari ini.
Sepulang sekolah, aku melihat Ana. Gadis kecil itu sudah membawa teman-temannya ke depan sekolahku. Tak sebanyak yang kupikir. Ternyata hanya sekitar dua puluh anak. Aku mengajak mereka ke lapangan dekat sekolahku. Tempat dimana biasanya pasukan paskibraka berlatih dan bertugas nantinya saat upacara tujuh belas Agustus.
Di pinggir lapangan rumput itu mereka banyak bercerita padaku. Dan aku juga mengungkapkan keinginanku untuk belajar bersama mereka. Mereka mengangguk antusias. Aku memulai dari mengajari mereka membaca dan hitungan sederhana. Setelah mereka selesai belajar, aku memberikan makanan ringan untuk mereka. Mereka terlihat sangat lapar karena sudah seharian berada di bawah lampu merah.
Keesokan harinya berjalan sama seperti hari kemarin. Aku masih belajar bersama mereka di pinggir lapangan rumput dan mereka masih antusias dengan pelajaran yang kuselingi dengan permainan. Bedanya, hari ini aku tak sendirian saat mengajari teman-teman baruku ini. Dua teman dekatku tertarik dengan proyek sosial ini. Mereka ikut mengajari teman-teman kecilku untuk berhitung dan membaca.
Saat kami hampir selesai belajar, tiba- tiba salah satu dari teman kecilku berlari menuju gerbang lapangan. Aku mendekatinya, ia menunjuk-nunjuk satu pleton pasukan pengibar bendera yang sedang berlatih. Hatiku seperti tersayat. Seharusnya aku bisa berada di sana bukan di kursi roda ini.
“Kamu sudah diberi yang terbaik oleh Tuhan, Ni. Bahkan kamu juga sudah memberikanyang terbaik untuk bangsa kita.” Dari belakang, Rani mengelus pundakku seakan mengerti apa yang sedang aku rasakan. Aku menangis di pelukan Rani. Aku mencerna kata demi kata yang baru diucapkan Rani.
“Lihat wajah mereka, Ni. Mereka senang kamu ada diantara mereka. Mereka senang bisa belajar dengan kita. Dan kamu tahu? Kamu sudah sedikit membantu mewujudkan cita- cita bangsa kita, Ni!”
Aku terhenyak dengan kalimat terakhir Rani. Aku menghapus air mataku. Aku mengerti maksud Rani. Ada sejuta cara untuk mencintai negeri ini, bukan hanya melalui kata merdeka yang masih klise. Seharusnya aku sadar, aku sedang memerdekakan hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan. Seperti namaku, Agni Mahardika Pertiwi. Di dalamnya tersimpan doa agar kelak aku bisa menyalakan api kemerdekaan di Indonesiaku.
“Itu apa, Kak?” tiba-tiba Ana menghampiriku.
“Itu namanya pasukan pengibar bendera. Nanti tanggal tujuh belas Agustus, mereka akan mengibarkan bendera di sini.”
“Kita boleh lihat, Kak?”
“Boleh” aku tersenyum padanya. “Tapi ada syaratnya” lanjutku
“Apa, Kak?”
“Kita belajar dulu tentang Indonesia”
“Iya, Kak. Sekarang?”
“Besok saja, ya? Hari ini kita sudahi dulu belajarnya karena sekarang sudah sore, sekarang adik boleh pulang”
“Makasih, Kak. Ana pulang dulu ya”
“Iya, hati-hati” aku mengangguk dan membiarkannya berlalu dengan lambaian tanganku.
Rani tersenyum padaku lalu mendorong kursi rodaku keluar dari lapangan. Begitu pula dengan Andi, ia menenteng papan tulis kecil dan beberapa buku dan berjalan di sampingku. Kami bertiga sudah bertekad bulat untuk mengajak teman kecil kami untuk ikut upacara bendera di lapangan dekat sekolah kami, walaupun nantinya mereka tanpa seragam.
Pagi tanggal tujuh belas Agustus, lapangan sudah hampir penuh dengan peserta upacara. Aku sibuk menyiapkan teman-teman kecilku untuk berbaris. Rani dan Andi juga ikut merapikan posisi mereka. Kami sudah mempersiapkan mereka untuk mengikuti upacara hari ini. Mereka menyambutnya dengan semangat. Mereka datang pagi-pagi dan menggunakan seragam merah putih dari hasil donatur teman-teman Papa.
Akhirnya upacara dimulai setelah kami menunggu di lapangan hingga beberapa menit. Pasukan pengibar bendera sudah memasuki lapangan dengan seragam putih-putih mereka. Aku tersenyum, aku sudah menemukan yang terbaik dari Tuhan.
Pasukan pengibar bendera mulai menjalankan tugasnya. Melangkahkan kaki dengan tegap menuju tiang bendera. Hinggalagu Indonesia Raya berkumandang di telingaku.
Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu
Mataku mengikuti gerak bendera yang semakin melawan laju gravitasi. Semua yang berada di lapangan mulai dari bupati, kelompok guru, pelajar, hingga mahasiswa semuanya menunjukkan sikap hormat pada sang dwi warna.
Hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia raya
Keduapuluh teman kecilku berdiri tegak dengan sikap hormat sembari menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Hatiku tersentuh melihat kesungguhan mereka.
Indonesia raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Hingga bendera berkibar di ujung tiang, mataku tak henti menitikkan air mata. Dalam hati aku berharap agar aku bisa selalu mengabdi untuk tanah kelahiranku. Melalui jalan yang tak terselami, Tuhan memberikan cara untukku agar aku lebih berguna untuk Indonesiaku; negeri yang kucinta, tempat hidupku berawal dan berakhir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI