Mohon tunggu...
Retno Nawangsih
Retno Nawangsih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Baru 16 tahun menikmati segarnya oksigen dan baru 10 bulan merasakan seragam putih abu- abu yang di lengan kanannya bertuliskan RSBI SMA Negeri 2 Pare. Selalu mencoba mengungkapkan sesuatu melalui deretan huruf~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Sammy, dan Black Toblerone

13 April 2013   21:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365865040208125739

31 Desember 2012

“Sasta, ini sudah jam delapan. Kamu bisa lebih cepat sedikit?”

“Iya Bu, bentar lagi juga selesai”

“Ibu tunggu kamu di depan lift.”

“Eh, jangan jangan, Bu. Ini Sasta udah selesai kok.”

Ibu menggandeng tanganku dan cepat- cepat menuju lift. Ayah menekan tombol angka tujuh. Tak sampai sepuluh menit, kami bertiga sudah berada di lantai tujuh. Aku segera menuju ke arah Kiki; anak pemilik hotel ini sekaligus sahabatku yang dulu juga bersekolah di Surabaya dan harus berpindah ke Salatiga saat SMP. Ia menuntunku menuju pintu dekat panggung sembari merapikan rambutku yang tergerai.

“Do the best ya, Sas!”

“Oke” aku tersenyum meyakinkannya.

Aku melangkah ke belakang sebuah piano mewah. Aku belum pernah menyentuhnya sekalipun. Dan mungkin ini piano termewah yang pernah kusentuh. Warnanya cokelat mengkilat, tuts hitam putihnya terlihat bersih. Ah, sepertinya aku akan sangat menikmati permainanku kali ini. Tidak rugi Kiki membujukku untuk ikut menjadi pengisi acara ini.

“Some people live for a fortune, some people live just for the fame..

Some people live for the power yeah, some people live just to play the game..”

Aku melantunkan verse pertama If I Ain’t Got You setelah intro dengan nada dasar E minor. Seperti biasanya, audiens memberikan tepuk tangan, dan aku membalas mereka dengan tersenyum. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan untuk mengambil hati mereka. Seperti yang telah kupelajari dari panggung- panggung sebelumnya, melangkah ke center panggung dan memberi hormat pada audiens setelah satu penampilan.

Tanpa tergesa- gesa, aku ke belakang panggung sambil membawa sheet lagu. Mataku tertuju pada Kiki yang tersenyum padaku sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Aku tersenyum ke arahnya dan ia berlalu menuju pintu keluar sambil melambaikan tangannya.

Tapi tiba- tiba, tangan kiriku merasa tertarik sesuatu, kulihat ada sebuah gelang yang tersangkut gelangku. Kulihat seorang laki- laki dengan kemeja hitam polos dan berambut spike. Sepertinya aku pernah melihat wajah ini. Dan sepertinya laki- laki ini juga berpikir hal yang sama.

“SASTA!”

“SAMMY!” kami berteriak hampir bersamaan dengan mimik wajah yang sama. Terbelalak.

31 Desember 2010

“Sasta, Ayah dan Ibu ada acara di aula lantai 3. Kamu bisa bersama anak Pak Ferry yang tadi dikenalkan padamu daripada menunggu Ayah dan Ibu sendirian.”

“Sammy?” aku mengernyitkan dahi.

“Iya, dia pasti sendirian juga.”

“Tapi Bu, aku kan baru kenal dia tadi siang.”

“Tidak apa- apa, Nak.” tiba- tiba Pak Ferry muncul di depan kamar bernomor 403 sambil memegang gagang pintu dan tersenyum ramah. “Nanti biar saya suruh Sammy untuk mengajak Sasta jalan- jalan.” pria seusia Ayahku ini kembali melempar senyumnya.

Ayah mengusap rambutku, kemudian berlalu bersama ibuku. Aku memasuki kamar bernomor 402. Menutup pintu, lalu menghidupkan televisi. Aku meletakkan punggungku di atas tempat tidur dengan sprei putih dan selimut coklat.

Tak lama setelah aku terbuai dengan tempat tidur empuk itu, tiba- tiba ada seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku membuka pintu itu pelan- pelan. Seseorang dengan t-shirt biru muda yang ditutup dengan jaket berwarna hitam berdiri di depan pintu.

“Sammy?”

“Jalan- jalan?”

“Emm, tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.”

“Oke”

Aku menutup pintu, mengganti kaos unguku dengan dress casual warna putih, menyisir rambut dan memoles wajahku dengan bedak tipis- tipis. Aku kembali membuka pintu kamar dan berjalan mengikuti langkah Sammy.

Kami memasuki lift dan menuju lantai 1. Keluar dari area hotel dan menghirup udara segar di sekitar sini. Aku masih mengikuti langkah Sammy dari belakang.

Kami berdua masih bungkam. Mungkin sama- sama masih belum menemukan kata yang tepat untuk membuka pembicaraan yang menurutku akan menjadi membosankan karena sama- sama baru kenal tadi siang. Bahkan hanya kenal nama. Itu yang namanya kenal? Belum memenuhi kriteria menurutku.

Aku masih mengekor. Ia yang (menurutku) juga tak tahu arah hanya mengikuti feelingnya. Yah, semoga saja aku kami tidak tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Jangankan tahu arah, memijakkan kaki di atas tanah inipun ini baru pertama kalinya. Yang penting di keadaan seperti ini adalah: SOK TAHU. Iya, tidak ada pilihan lain.

Langkahnya berhenti setelah kami berjalan sekitar lima belas menit dari hotel. Ia menghentikan kakinya yang dilapisi sepatu Converse itu tepat di depan penunjuk arah yang bertuliskan “Air Terjun 1km”. Ia menoleh ke arahku.

“Berani?” tanyanya singkat persis seperti di depan kamarku tadi. Bedanya kali ini kalimatnya bernada sedikit menantang.

“Siapa takut.” aku mengiyakan tantangan Sammy.

Aku masih di belakang Sammy. Masih menjadi ekor laki- laki yang cukup tampan cuek ini. Rambut spikenya masih tampak sama seperti ketika aku bertemu dengannya tadi pagi.

Beberapa menit setelah kami berjalan, akhirnya kami sampai di dekat air terjun yang dimaksud penunjuk jalan tadi. Cukup curam dan sangat deras airnya. Sammy duduk di atas sebuah batu besar. Akupun juga duduk di dekat batu besar yang diduduki Sammy.

“Hei!” aku refleks berteriak setelah ia dengan tiba- tiba memercikkan air ke mukaku. Aku membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Mata lebarnya ia kucek karena kemasukan air.

Kami bermain air untuk beberapa menit sambil menghilangkan lelah setelah menempuh perjalanan tadi. Selain karena air terjun yang ia percikkan berkali- kali padaku, gerimis yang tak diminta datangpun juga ikut- ikutan membuat baju kami basah kuyup.

Kami tertawa bersama, melepas penat yang kami rasakan. Tanpa peduli apa yang kami tertawakan. Entah setan apa yang hinggap padaku dan membuatku terbiasa dengan keberadaan makhluk berjakun ini. Aku seperti sudah mengenalnya bertahun- tahun.

Kami tiba di hotel masih dengan baju yang basah kuyup. Berbeda jauh dengan pertama kali aku dan Sammy keluar dari hotel. Kali ini kami banyak berceloteh. Tentang hobi, sekolah, sampai keluarga masing- masing. Semuanya menjadi bahan perbincangan kami.

Sampai kami tiba di depan kamar masing- masing. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum maniiiiis sekali. Aku segera masuk kamar. Aku sendiri tidak tahu hormon apa yang memaksaku untuk senyum- senyum sendiri. Tersenyum untuk hari ini, hari terakhir tahun 2010.

“Dari mana, Nak? Kok bajunya basah kuyup?” Ibu menghentikan acara senyum- senyum sendiriku.

“Dari air terjun, Bu. Tadi Sammy yang ngajak. Hehe” kataku sambil nyengir.

“Ya udah, mandi sana. Nanti kita ada acara jam 9 malam.”

“Siap bos!”

“Kamu ini.”

“Hehe”

Setelah makan malam dengan sup tom yam kesukaanku aku, Ayah, dan Ibu menuju ke lantai 7. Aku melihat tulisan- tulisan tentang tahun baru yang akan datang beberapa jam lagi. Di meja ujung bernomor 15 aku melihat Sammy. Ia menghampiriku dan mengajakku untuk menghabiskan tahun 2010 ini bersama- sama. Ia nampak percaya diri dengan kemejanya yang dikancingkan hingga leher.

“Sudah, sama Sammy sana, Sas. Udah ditunggu tuh.” Ibu menggodaku diikuti tawa ringan Ayah yang seakan setuju dengan pernyataan Ibu. Aku tersenyum ke arah mereka dan bergegas menuju ke arah Sammy.

Ia membawakanku salad dan cokelat hangat yang menurutku sangat pas untuk hawa dingin seperti ini. Sembari menonton acara di panggung utama, aku menghabiskan cokelat hangat yang ia bawakan. Band, akustik, sulap, hingga capoeira dipertunjukkan di atas panggung yang menjadi gawe besar kantor Ayahku karena tercapainya target tahun ini.

Ia masih tertawa denganku. Tertawa, sama seperti yang kami lakukan sore tadi. Saat aku sedang asyik menikmati akustik, ia memberiku 3 black Toblerone. Aku mengucapkan terima kasih dan membuka 1 bungkus, ia menyuruhku untuk memasukkan sisanya ke dalam tasku. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

Tak terasa tahun 2011 semakin mendekat. Kami menghitung detik demi detik pergantian tahun. Hingga mulut kami mengucapkan “Satu” dan kami meniup terompet bersama. Tapi entah kenapa, tiba- tiba ia memelukku, erat sekali. Sampai- sampai aku tidak bisa bernapas dibuatnya.

“Happy new year..” bisiknya di telingaku. Aku masih diam. Tidak tahu kalimat apa yang perlu dan harus kukeluarkan saat itu. Yang pasti kembang api yang bertebaran di langit luar sepertinya merasakan hal yang sama denganku.

31 Desember 2012

Setelah ia tampil dengan lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya, Sammy kembali menghampiriku. Ia yang dulu hilang begitu saja, sekarang muncul kembali tetap dengan rambut spikenya.

Ia kembali menyapaku, memberiku Toblerone. Persis seperti pergantian tahun kala itu. Bersama dengan meriahnya suara kembang api yang seakan menyindirku “Masih ingat dua tahun lalu?

Sammy mengajakku keluar dan menikmati hawa malam Salatiga. Sambil menikmati kembang api yang masih bergantian menunjukkan pesonanya. Warna- warninya seakan memeriahkan langit yang sedang muram. Ia memelukku di bawah langit dengan warna- warna indah itu. Kembali membisikkan kata- kata yang kupikir sama seperti dua tahun lalu. Tapi kalimat yang ia bisikkan tahun ini beda, menjadi “Aku sayang kamu, Sasta.” seperti yang ia tuliskan di kertas dan ia selipkan di bungkus black Toblerone yang kubawa pulang dulu.

Ia melepaskan pelukannya tiba- tiba dan mengambil jarak dariku. Sesaat setelah itu, Kiki muncul dari balik pintu keluar. Ia tersenyum padaku dan aku membalas senyum manisnya itu.

“Makasih ya Sas, udah jadi pengisi acara di sini.”

“Sama- sama, Ki. Nggak rugi aku jauh- jauh dari Surabaya ke Salatiga untuk malam pergantian tahun kali ini.”

“Oh iya. Kenalin Sas, ini pacarku, Sammy.” ia menggandeng lengan Sammy sambil tersenyum.

“Sammy..” ia mengayunkan tangannya padaku.

“Sasta..” aku menyambut tangannya. Persis seperti Pak Ferry yang dua tahun lalu mengenalkannya padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun