Mohon tunggu...
Retno Agustin
Retno Agustin Mohon Tunggu... -

pembelajar etnografi dari kehidupan dan perjalanan. dikutuk berulang menjadi mahasiswa dan calon mabasiswa. pecinta kafe shop, pecandu kopi. tergila-gila bola dari layar kaca, giant screen maupun stadium.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Tentang Capres Sebelah dari Kawan Lama

8 Juli 2014   20:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:59 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan lalu, tepat sebulan lalu seorang kawan lama mengontak saya. Kami pernah menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Seperti biasa, kisah  perkawanan ini dipertemukan kembali melalui sosial media facebook. Mungkin karena melihat akun facebook saya dalam 3 bulan ini bermetamorfosa dari yang semula berisi kegembiraan mahasiswa di semester awal kuliah beserta karya kuliner ala mahasiswa menjadi akun Pro-Jokowi, dia mengontak saya melalui inbox untuk menyampaikan mengenai kegelisahan pribadinya mengenai capres sebelah dan sikapnya dalam pilpres kali ini. Kemudian dikirimkanlah dua lembar tulisan yang menggambarkan keberatannya atas pencalonan prabowo menjadi capres berikut alasan-alasan yang berakar dari pengalaman pribadi mengapa dia MENOLAK Prabowo.

Dalam pengantar surat dia menyebutkan, apabila akan mengedarkan surat darinya mohon untuk tak mencantumkan namanya. Sebulan lalu saya mengirimkan isi suratnya  ke beberapa kawan dekat yang masih ragu mengenai Kengerian Prabowo. Namun di akhir masa kampanye ini, saya memutuskan untuk mengunggahnya ke kompasiana dan sosial media, dengan pertimbangan agar pengalaman-pengalaman individual dalam politik Indonesia dapat menempati posisi penting dalam historiografi politik. Dan mungkin kelak lima tahun atau sekian puluh tahun lagi pengalaman ini masih bisa dilacak, dibaca dan dijadikan bahan pelajaran bagi mereka yang tertarik untuk berpolitik/berpartai ataupun menentukan pemimpinnya. Saya pun bersyukur dalam tiga bulan ini banyak orang menegaskan dirinya sebagai relawan Jokowi, sebagian bahkan menegaskan diri pensiun golput karena Jokowi ataupun gagal golput karena Jokowi, menyusul seminggu belakangan adalah mereka yang akhirnya memilih Jokowi, saya berharap surat ini masih mampu menyentuh dua tiga orang yang pada akhirnya tidak bisa tidak memilih Jokowi.

Surat ini ditulis bukan dengan tujuan pembunuhan karakter, surat ini ditujukan untuk menyelamatkan lebih banyak lagi ibu dan rakyat dari terbunuhnya karakter akibat bermain politik bersama capres sebelah.

"8 Juni 2014

Dear Retno,

Alasan mengapa saya tidak memilih Prabowo dan tentunya partai Gerindra pada pemilu legislatif yang lalu, mungkin dapat tercermin dari tulisan saya ini.

Alasan pertama, tentu saja “dosa” masa lalu Prabowo, terkait peristiwa di Timor Timur dan tentu saja yang paling membekas adalah Peristiwa 1998. Seandainya, bangsa Indonesia bukan bangsa yang terlalu “pemaaf”, terlalu ewuh-pekewuh ( menurut orang Jawa ), terlalu militer – sentris ( akibat terlalu lama dicengkeram kekuasaan Orde Baru ) dan seandainya bangsa kita menyadari, bahwa negara kita adalah negara dengan kekuasaan supremasi sipil dan bukan militer, tentu jenderal – jenderal post power syndrome seperti Prabowo tidak akan pernah muncul di kancah politik Indonesia.

Alasan kedua, dan ini merupakan alasan pribadi, yang membuat saya tidak mungkin mengungkapkan pendapat saya melalui media sosial adalah Mama saya. Sedikit kilas balik ke tahun 1999, beliau bergabung dengan Partai Amanat Nasional karena menganggap partai ini partai reformis ( walaupun seiring perjalanan waktu, partai ini seakan menjadi kacang lupa pada kulitnya, melupakan khittahnya dan hanya mengejar kekuasaan ). Tetapi saya sangat terkejut, ketika mengetahui sekitar awal tahun 2013 atau akhir tahun 2012, Mama saya bergabung dengan partai Gerindra. Mulanya saya sangat meyakini bahwa Mama saya bergabung ke Gerindra karena Barisan Sakit Hati PAN Kabupaten a.k.a kawan – kawan beliau bergabung. Dan sebagai perempuan yang aktif di aisyiyah, Mama jelas orang yang menarik untuk diajak bergabung. Sampai di situ saya hanya bisa menyampaikan protes kecil, karena toh, pilihan politik orang tidak dapat dipaksakan. Tapi, yang sangat membuat hati saya terhina adalah Mama saya bersedia menjadi pihak perantara suap menjelang pemilu legislatif kemarin. Kalau begitu, apa bedanya Mama dengan Deviardi pada kasus SKK Migas atau Susi Tur Andayani pada kasus Akil Mochtar ?

Saat sebelum masa kampanye, Mama saya pernah bercerita pada saya dan suami, bahwa Gerindra tidak akan melakukan pengerahan massa dan membuat jalanan berisik dan macet ( dan nyatanya ini tidak terbukti ) karena uang untuk membayar simpatisan bayaran itu akan digunakan untuk serangan fajar. Astaghfirullah, kalimat itu mudah sekali diucapkan, bahkan dengan nada bangga. Suami saya bertanya, diperoleh dari mana uang untuk serangan fajar tersebut, yang kemudian dijawab oleh Mama, berasal dari kantong masing – masing caleg.Pembelaannya, karena toh partai lain juga akan melakukan politik uang.

Tapi sungguh saya tidak menduga, bahwa pihak yang membagi – bagikan uang itu adalah Mama saya. Setiap orang mendapat Rp. 50.000,-. Berbeda dengan pengakuan sebelumnya, yang menyatakan bahwa uang itu dari caleg, ternyata, uang yang diambil di kantor DPC itu berasal dari pusat alias DPP. Berarti, politik uang itu dilakukan Gerindra secara masif bukan ? DPP menyetujui atau bahkan mengakomodir untuk melakukan Politik Uang bukan ? Dan tentu saja itu dilakukan untuk mengamankan pencalonan Prabowo sebagai presiden bukan ?

Saya sungguh merasa terhina, saya tidak menyangka Mama saya bersedia melakukan hal – hal hina semacam itu. Bahkan peringatan dari kami, anak – anak dan suaminya, tidak digubris, dengan alasan Politik Uang itu lazim karena baik pihak penerima maupun pihak penyuap butuh sama butuh.

Hal lain yang membuat saya semakin tidak menyukai Gerindra dan Prabowo, adalah bahwa Mama saya berubah menjadi pribadi yang agresif, kasar dan terbawa gaya hidup hedonis. Status di laman facebook Mama saya, komentar – komentarnya ( apalagi mengenai Jokowi, JK dan PDIP ) sungguh mampu membuat emosi dan telinga memerah ( seandainya bukan Mama, tentu sudah saya blokir ).  Beliau juga tega mendahulukan kepentingan partai diatas kepentingan keluarga. Papa saya mengeluh, setiap kali Papa memberikan uang pada Mama, esok harinya Mama pasti pergi ke kantor Gerindra. Dan sehari kemudian mulai marah – marah pada Papa karena menuntut Papa memberikan uang yang lebih banyak lagi. Hal yang sama juga terjadi pada saya. Belum lagi janji – janji seputar pileg kemarin. Saya hanya heran, Mama saya bukan caleg, hanya tim sukses, tapi bisa menjadi sefanatik itu. Usai Pilpres pada bulan Juli ini, Mama dijanjikan menerima Rp. 2.500.000,- sebagai upah atas hasil kerjanya selama pileg dan pilpres. Yang jadi pertanyaan,  apabila Prabowo gagal jadi Presiden ( dan semoga saja gagal),  apakah uang itu akan cair ? Sedangkan sebagai informasi saja, di area Yogyakarta, Solo, Magelang  dan Surabaya sekalipun, sepi dari atribut Prabowo. Mungkin saja ini karena Prabowo dan Gerindra kehabisan uang, karena saat pileg kemarin memasang iklan secara membabi buta dan hal ini menjadi logis, mengingat untuk berkoalisi dengan Gerindra, parpol harus menyetor mahar untuk mengganti biaya pileg kemarin. Hal yang dibenarkan oleh bendahara DPP Golkar, Setya Novanto saat wawancara dengan majalah Tempo, namun dibantah oleh Ahmad Muzani dari Gerindra. Ditambah lagi, anak buah yang direkrut Prabowo, baik di daerah maupun pusat, yang notabene preman, makin menguatkan doa saya agar Prabowo gagal menjadi Presiden. Apa jadinya kalau negara kita dipimpin oleh orang dengan emosi labil, seperti Prabowo ? Pemberitaan majalah Tempo menyebutkan, bahwa, saat PPP menarik dukungan pencalonan Prabowo sebagai presiden pada 2009, Prabowo murka dan melemparkan handphone ke arah Suharso Monoarfa, yang untungnya sempat menghindar.

Retno, maaf sudah membuang waktumu. Saya tidak akan memilih Prabowo, terlebih karena saya memiliki alasan pribadi untuk itu, bukan hanya karena like or dislike. Sekarang Retno paham kan, mengapa saya tidak mungkin posting di facebook mengenai Prabowo atau Gerindra ? Karena mama saya ada di balik itu. Saya tidak mungkin lapor ke Bawaslu mengenai politik uang, saya tidak mungkin tega melihat Mama saya jadi pesakitan.

Terima kasih banyak Retno. Sukses ya.... semoga Jokowi menang :-)"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun