Kalau orang tua bisa saja siap untuk menuruti kenaikan tawaran, akan tetapi jika mau memutus rantai tawaran itu mari kita ganti hadiah dengan dorongan / encouragement yang lebih bersifat internal dan bersifat jangka panjang atau bertahan lama. Tapi hati hati ya, kita harus dapat membedakan antara dorongan dan pujian agar hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan.
Apa yang membedakan antara dorongan dan pujian? Dorongan bersifat spesifik pada perilaku dimana anak menjadi subjek, kita memberikan kepercayaan penuh pada anak, fokus pada progress, berusaha mendorong untuk mengevaluasi diri sendiri, dan mendorong untuk keberanian.
Sedangkan pujian bersifat umum atau tidak spesifik, orang tua menjadi subjek, terdapat kontrol, fokus pada kesempurnaan, membandingkan diri anak dengan orang lain, dan menjadikan takut untuk berbuat salah. Dorongan itu seperti vitamin yang menyehatkan. Pujian itu seperti permen yang bisa membuat sakit gigi.
Lantas, bagaimana penerapannya di rumah? Kita sebagai orang tua dapat memulai dengan perbanyak dorongan / feedback positif yang spesifik pada progress dan proses yang telah dilakukan. Perhatikan pilihan kalimat supaya maksud kita tersampaikan ke anak.
Kita dapat memulai dari hal-hal kecil, misalnya anak berhasil menuliskan pengalamannya selama liburan : Wah keren, hebat, sudah bekerja keras menyelesaikan tulisan. Bukan sekedar bilang, "tulisannya bagus ya". Ketika anak berhasil menyelesaikan makannya, jangan pelit mengatakan : Wah, terimakasih sudah menghabiskan makan hari ini. Ibu senang sekali, adek senang tidak makanannya habis?. Komentar kita cukup berhenti sampai disitu, tidak perlu ditambah-tambahi : besok dihabiskan juga ya. Ketika anak selesai mandi: Wah, hari ini mandinya bersih, terimakasih sudah mau membersihkan telinganya, bisa pakai sabun sendiri juga.
4. Prinsip membangun koneksi, bukan koreksi
Ini berarti upaya membangun kedekatan dengan anak supaya lebih mudah memberikan arahan, meembangun karakter baik pada anak dan lebih dekat dengan anak. Alih-alih langsung menyalahkan ketika melanggar sesuatu, kenapa tidak kita tanya dulu kenapa mereka melakukan itu, apa yang melatar belakangi perbuatan tersebut.
Bagaimana cara membangun koneksi dengan anak? Jadi, mari kita perbanyak menyapa anak dengan hangat, bermain bersama, berbincang bersama dan beraktivitas bersama. Perkuat dengan gesture yang tepat, yaitu menyamakan level mata dengan anak dan sikap tubuh terbuka. Validasi selalu emosi apa yang dirasakan anak, sehingga anak tahu kita peduli kepadanya. Jangan lupa selalu berikan kepercayaan pada anak, pahami bahasa cintanya. Hadir untuk anak atau berikan perhatian penuh pada anak, supaya anak tahu kita ada untuk mereka. Dengarkan masalah yang dihadapi anak, praktikkan prinsip mendengar aktif. Dengan bangunan kedekatan yang kokoh, itupun akan mempermudah kita untuk memberitahu anak ketika mereka melakukan kesalahan. Kalau ada istilah bonding is a must adalah benar adanya.
5. Prinsip memahami bukan menghakimi
Ini berarti kita berupaya berlaku menjadi semacam “detektif” yang mencari tahu dan bukan “polisi” yang menghakimi. Setelah kondisi emosi kita aman, mainkan peran sebagai detektif, sehingga kita bisa lihat lebih dekat apa yang sebenarnya anak kita ingin sampaikan. Jadilah orang tua sebagai detektif supaya bisa lebih memahami anak, yang dapat melihat lebih detail apa yang dilakukan anak dan gunakan itu sebagai bahan memberikan kalimat penghargaan. Apabila kita bisa masuk ke dunia anak-anak itu sebenarnya menyenangkan.
Dalam prinsip memahami ini, utamakan menggunakan curiosity question daripada judgemental statement. Dengan curiosity question yang mencerminkan keinginan untuk mencari solusi dan fokus pada penyebab, anak akan merasa dimengerti karena ditanya. Sedangkan apabila kita menggunakan judgemental statement yang didasari rasa kesal, tidak ada kendali emosi dan berfokus pada perilaku negatif anak, tentunya anak akan merasa dihakimi dan disalahkan.