Sobat Kompasiana, beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 25 Mei 2023 malam diselenggarakan festival rakyat yaitu Kirab Mbah Demang. Warga Jogja Barat khususnya yang berdomisili di Jl. Godean dan sekitarnya pasti tidak asing dengan tradisi lokal ini. Sejak jaman Ibun Enok duduk di Sekolah Dasar, tentunya familiar dengan kirab ini. Biasanya beberapa hari sebelum diadakan kirab Mbah Demang, di pinggir Jalan Godean sekitar Nogotirto banyak pedagang musiman yang berjualan dari makanan sampai mainan dari gerabah. Untuk memeriahkan acara tersebut ada juga pasar malam di Lapangan Desa Banyuraden. Namun, Ibun Enok sendiri sebenarnya tidak mengetahui secara pasti sejarah di balik Kirab Suran Mbah Demang. Akhirnya Ibun Enok tergelitik untuk membaca berbagai sumber dari media online. Mau tahu bagaimana sejarah di balik kirab ini? Mari kita simak bersama.
Mbah Demang ini dikenal dengan nama Cokrodikromo, pada masa kecilnya dipanggil Asrah. Cokrodikromo adalah anak seorang Bekel (pamong desa pada jaman dahuu). Konon kabarnya, Asrah sewaktu kecil perilakunya nakal, sehingga sempat dititipkan kepada Demang Dawangan, seorang pejabat pemerintahan yang dikenal mempunyai sikap tegas. Asrah dididik mandiri untuk menggembala itik dan mencari kayu bakar ketika pulang oleh Demang Dawangan.
Setelah dewasa, Asrah dibiasakan untuk melakukan puasa, bertapa selama sebulan dan mandi setiap tanggal 7 Sura (Sura adalah bulan baru dalam kalender Jawa). Orang Jawa mengenal kebiasaan ini dengan "laku prihatin". Laku prihatin membuat Asrah dikenal sakti dan bijak, karena sering bertemu dengan tokoh-tokoh bijak. Tokoh-tokoh bijak ini mengajarinya kesejatian hidup dan memberinya sebuah kitab. Salah satu contoh kesaktiannya, suatu ketika setelah sebulan bertapa dan mengalami turunnya kesadaran, Ki Demang Dawangan meneteskan cairan kanji ke mulut Asrah hingga kembali sadar. Kemudian dengan sisa kekuatannya, Asrah mencari kitab yang ia terima ketika bertapa. Akhirnya ditemukan di pinggir Sungai Bedog.
Kesaktian dan kebijakannya itulah kemudian diangkat menjadi mandor perkebunan tebu dan dipercaya menjadi Demang pabrik gula di daerah Demak Ijo. Saat menjabat demang inilah ia lalu berganti nama menjadi Demang Cokrodikromo. Demang Cokrodikromo konsisten untuk melakukan laku prihatin dengan puasa makan garam, laku tapa bisu mengelilingi rumahnya dan mandi setahun sekali pada tanggal 7 Sura tengah malam. Selain itu, beliau juga selalu memberi hidangan kepada tamu yang datang berupa Kendi Ijo, nasi dibungkus daun pisang dengan lauk ketan tholo dan gudangan.
Nah, sobat kompasiana, ternyata dari sejarah singkat tersebut, untuk mengenang kebaikan Demang Cokrodikromo maka keluarga besar Cokrodikromo menyelenggarakan sebuah upacara adat dan Kirab Suran Mbah Demang yang dilaksanakan di bulan Sura. Kirab Suran Mbah Demang dimulai pada malam hari, tanggal 7 Sura setiap tahunnya.
Sampai saat ini, tradisi ini terus dilestarikan sebagai salah satu atraksi budaya lokal dan senantiasa diapresiasi oleh warga dan pemerintah desa setempat. Banyak peserta kirab yang berasal dari warga Banyuraden, bahkan ada yang turut serta dari Kajor dan Sumberan serta sekitar Desa Banyuraden. Selain kegiatan kirab, diselenggarakan juga upacara adat yang diawali dengan pembagian Kendi Ijo kepada pengunjung setelah tengah hari tanggal 7 Sura di sekitar pendapa Mbah Demang. Selanjutnya diadakan doa tahlil di pendapa dan tabur bunga di makam Mbah Demang pada sore harinya.
Prosesi inti upacara adat dimulai pada malam hari sekitar Pukul 21.00 WIB dengan kirab dari Padepokan Patran Eyang Ki Juru Permono (seorang ahli nujum kerajaan Mataram) "Sanggar Widya Permana" di dusun Cokrowijayan menuju Pendopo Mbah Demang di Dusun Guyangan, Desa Banyuraden. Acara ditandai mulai dengan pelepasan sepasang merpati putih oleh Pemangku Adat Desa Banyuraden, Murdianto Murdopuspito dan penyebaran udig-udig yaitu mata uang koin yang dicampur dengan beras kuning, jagung, kembang, dan empon-empon.
Kirab diawali dengan dua buah gunungan yang tersusun dari daun pisang, lombok abang, kacang panjang, wortel, jambu air merah, buah labu, terong ungu dan buah nanas sebagai mahkotanya. Biasanya jalan yang dilalui kirab mulai ditutup Pukul 20.00 WIB. Kirab dikawal pasukan paguyuban bregodo rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dan sejumlah pasukan bregodo dari beberapa padukuhan di Kecamatan Gamping. Saat kirab ini ada beberapa pusaka antara lain pusaka Kyai Blencong, Bende, tombak dan kitab Ambeyo serta foto Mbah Demang Cokrodikromo dan foto Eyang Ki Juru Permana Patran. Kirab selesai sekitar Pukul 23.00 WIB dan prosesi dilanjutkan dengan salawatan di pendapa dan Srokal (mandi Jamas keluarga besar/trah Mbah Demang) di sumur petilasan Mbah Demang.
Dilakukan pula pengambilan air sumur oleh abdi dalem Keraton dan kerabat Puro Pakualaman dalam rangka untuk mencuci sejumlah pusaka milik keluarga Puro Pakualaman (Tombak Kanjeng Kyai Buyut, Tombak Kanjeng Kyai Paku Baru dan puluhan pusaka penderek), kereta pusaka (Kanjeng Kyai Manik Kumala, Kanjeng Kyai Manik Brojo dan Kanjeng Nyai Roro Kumenyar dan perangan Gongso), gong dan bende. Prosesi upacara adat dilengkapi juga dengan penyerahan simbolis sebuah pacul dan caping kepada perwakilan kerabat Demang Cokrodikromo di hadapan ogoh-ogoh macan putih yang dilakukan oleh Pemangku Adat Desa Banyuraden yang diawali dengan percikan air terhadap macan putih.
Seluruh rangkaian acara ini diselenggarakan di sekitar rumah Mbah Demang, di Banyuraden, Gamping, Sleman, tepatnya di Jalan Godean, sekitar 3 KM dari kota Yogya. Tertarik? Semoga tidak ketinggalan ya untuk menyaksikan Kirab Suran Mbah Demang di tahun mendatang. Mari kita cintai dan lestarikan budaya asli Indonesia yang sarat makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H