Mohon tunggu...
Retno Palupi
Retno Palupi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi-NIM 55521120057 Dosen Pangampu Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak, Universitas Mercu Buana

Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Pajak Internasional dan Pemeriksaan Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB1_Determinants of Risk Based Tax Audit_Faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Pemeriksaan Pajak

15 April 2023   22:37 Diperbarui: 15 April 2023   22:40 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAB 1

PENDAHULUAN

Pajak di negara Indonesia masih menjadi sumber penerimaan negara terbesar, yang berkontribusi sejumlah 57% dari realisasi pendapatan di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2014 sampai 2018. Pajak yang dikelola pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Bea Materai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PBB sektor P3, dan Pajak lainnya, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan otoritas pajak Indonesia di bawah Kementerian Keuangan. Indonesia menganut Sistem perpajakan self assessment system, yaitu Wajib Pajak (WP) diberikan kewenangan untuk mendaftarkan sendiri NPWP, menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang menjadi kewajibannya. Peran DJP dalam sistem ini adalah memberikan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak, serta melaksanakan pengawasan terhadap hak dan kewajiban wajib pajak dan calon Wajib Pajak. Pengawasan yang dilaksanakan DJP diantaranya  dengan himbauan- konseling, pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak kepada wajib pajak. Fenomena perpajakan Indonesia dapat digambarkankan dalam beberapa indikator yang diambil dari Laporan Tahunan dan Laporan Kinerja DJP, antara lain: Tax Ratio Indonesia tahun 2015 sebesar 11,60%, 2016 sebesar 10,80%, 2017 sebesar 10,70%, dan 2018 sebesar 11,40%. Tax ratio ini tergolong di bawah rata-rata di dunia yaitu sekitar 14% (world bank). Penerimaan pajak negara Indonesia dalam 5 tahun terakhir belum pernah tercapai. Kontribusi terbesarnya adalah pembayaran sukarela dari Wajib Pajak karena self assessment system. Namun kontribusi dari extra effort pemeriksaan berkisar pada angka 4% dari total seluruh realisasi penerimaan pajak. Fenomena yang lain, tingkat kepatuhan pelaporan SPT Tahunan dalam rentang waktu 2014-2018 tidak dapat melebihi 75% dari jumlah Wajib Pajak yang terdaftar, tetapi mempunyai tren meningkat.
Pengawasan yang dilakukan oleh DJP salah satunya adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menguji kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan pemeriksaan untuk tujuan lain berdasarkan peraturan perpajakan dan standar pemeriksaan secara objektif dan profesional meliputi pengumpulan dan pengolahan data, keterangan, dan bukti secara mendalam dan menyeluruh (Mardiasmo, 2018). Peran pemeriksaan ini diharapkan dapat
memberikan tambahan penerimaan (extra effort pemeriksaan), efek jera bagi Wajib Pajak yang diperiksa maupun Wajib Pajak lain, menghimpun data dari Wajib Pajak untuk menambah basis data perpajakan, bentuk pembinaan terhadap Wajib Pajak, dan membantu identifikasi peraturan perpajakan yang harus dievaluasi (OECD, 2006). Fenomena pemeriksaan pajak yang dilaksanakan oleh DJP bersumber dari laporan tahunan DJP dan Laporan Kinerja DJP antara lain:
1. ACR untuk wajib pajak orang pribadi di angka 0,62% pada tahun 2018, sedangkan untuk wajib pajak badan ada di kisaran angka 3,23% pada tahun 2018. Standar IMF adalah 3% - 5% (Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), 2018)
2. SKPKB terbit yang disetujui oleh wp yang diperiksa sebesar 25,78% untuk tahun 2018, yang merupakan produk hukum dari kegiatan pemeriksaan.
3. Wajib Pajak mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan berupa SKP yang diterbitkan oleh DJP masih cukup besar sekitar 22.046 permohonan.
4. Tahun 2018 Persentase rasio refund discrepancy pajak penghasilan (PPh) adalah 32,97% sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 6,23%. Berdasarkan fenomena pemeriksaan ini, menunjukkan adanya kualitas pemeriksaan pajak yang tidak baik ditunjukkan hasil pemeriksaan DJP sebagian besar tidak cukup bukti melawan Wajib Pajak pada upaya hukum tingkat banding dan peninjauan kembali.

Fenomena
Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kualitas pemeriksaan pajak diantaranya : variable Implementasi risk-based audit (pemeriksaan berdasarkan analisis risiko) dapat mengimprovisasi kualitas audit (Eutsler, 2017), mempercepat proses pemilihan audit, pelaksanaan audit menjadi lebih cepat direalisasikan, dan meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang diaudit (Mahmood, 2012), sedangkan (Dewi & Badera, 2015), (Januraga & Budiartha, 2015), (Murfadila & Ramdani, 2019) menyatakan bahwa penggunaan Teknik Audit Berbasis Komputer (TABK)mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit. Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa fenomena yang disebabkan oleh kualitas pemeriksaan pajak yang kurang baik dan masih ada hasil penelitian yang bertolak belakang, sehingga kualitas pemeriksaan tersebut akan diuji dengan memperhatikan faktor yang dipilih sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya serta fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, rumusan penelitian ini adalah adalah: "Pengaruh Implementasi Risk-Based Audit, Kompetensi, Skeptisisme profesional, dan Pemanfaatan Teknologi Informasi terhadap Kualitas Pemeriksaan Pajak".

Rumusan Masalah
Mengingat fenomena diatas, penelitian sebelumnya maka Identifikasi masalah dari penelitian ini yaitu:
Bagaimana pengaruh Implementasi Risk- Based Audit, kompetensi, skeptisisme
profesional pemeriksa pajak dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas pemeriksaan pajak.

Tujuan Penelitian

Penelitian mempunyai tujuan untuk menguji dan mengukur seberapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemeriksaan pajak di Indonesia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA


Definisi Variabel yang akan dilaksanakan penelitian antara lain risk-based audit adalah kegiatan pada pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhannya dinilai berdasarkan analisis risiko (SE-15/PJ/2018). Kompetensi yaitu merupakan pendidikan, pengetahuan,pengalaman, keterampilan dan/atau keahlian yang dimiliki seseorang sesuai dengan penugasan pemeriksaan, baik mengenai pemeriksaan, objek pemeriksaan, ataupun hal-hal tertentu yang mempunyai sifat khusus disebabkan penugasan pemeriksaan bidang tertentu, serta dapat berkomunikasi baik lisan maupun tulisan yang jelas dan efektif, Kompetensi professional antara lain mencakup pendidikan dan juga pengalaman (SPKN BPK- RI). Merujuk Sukrisno Agoes (2019:62), Skeptisisme profesional yaitu sikap yang meliputi pikiran untuk selalu mempertanyakan dan melaksanakan evaluasi secara kritis bukti audit. Teknologi Informasi merupakan teknologi yang dimanfaatkan guna memproses informasi dimana dalam pemanfaatannya harus berjalan dengan baik, dipelihara, aman, di-upgrade, dan diganti sesuai keperluan (Aminy, 2017). Merujuk kajian pustaka dan peneltian sebelumnya maka dapat disampaikan kerangka pemikiran penelitian ini. Pemeriksaan pajak yang berkualitas harus diawali sejak pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa guna memenuhi kriteria atas risiko ketidakpatuhan tinggi, sehingga pemeriksaan pajak dapat berfokus pada target risiko (OECD, 2006). Ketika menerapkan framework ini, DJP mengeluarkan kebijakan pemeriksaan yang salah berisi kriteria Wajib Pajak yang menjadi sasaran penggalian potensi dan pemeriksaan pajak (SE- 15/PJ/2018). Penelitian yang dilakukan oleh (Eutsler, 2017) menyatakan bahwa PCAOB risk-based inspection process mengimprovisasi kualitas audit dan menurut (Ali et al., 2018) menyatakan bahwa dalam lingkungan bisnis yang kompleks menggunakan model pemeriksaan berbasis risiko adalah hal yang sangat penting pada pemeriksaan pajak. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis variabel implementasi risk-based audit berpengaruh positif terhadap kualitas pemeriksaan pajak (H1). Menurut  pendapat (A. Arens et al., 2011) auditor harus faham mengenai standar dan kriteria yang digunakan serta kompeten mengumpulkan bukti audit untuk membuat suatu kesimpulan audit. DJP sudah mengeluarkan aturan tentang standar kompetensi menjadi seorang pemeriksa pajak (PER- 23/PJ/2013) dalam rangka menjamin pemeriksaan pajak yang berkualitas. Menurut (OECD, 2006) menyatakan bahwa kompetensi yang dimiliki pemeriksa pajak terdiri dari ageneralist dan a specialist. Sementara menurut (Agoes, 2012) berpendapat bahwa pengalaman auditor adalah merupakan bagian dari kompetensi auditor dimana mereka bisa menjabarkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada laporan keuangan dan mengelompokkan kesalahan ini menurut klasifikasi tujuan audit dan kriteria yang semestinya sehinga kualitas audit tetap terjaga. Berdasarkan uraian di atas maka ada hipotesis variabel kompetensi yang berpengaruh positif terhadap kualitas pemeriksaan pajak (H2). Menurut (Hayes et al., 2014) menjelaskan bahwa skeptisisme profesional yaitu memiliki pemikiran untuk mempertanyakan dan melaksanakan evaluasi bukti audit secara kritis. Merujuk standar pemeriksaan (PER-23/PJ/2013) yang menyatakan bahwa dalam melakukan pemeriksaan pajak, pemeriksa harus menggunakan keahlian dan keterampilannya secara cermat dan seksama. Dokumen bukti audit yang dipinjamkan oleh Wajib Pajak harus diperiksa dan dilihat kebenarannya secara formal dan material, dalam artian formal berarti dokumennya lengkap dan sah sesuai aturan sedangkan secara material adalah transaksi atas dokumen tersebut benar -- benar terjadi atau riil  dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya oleh (Hardiningsih et al., 2019), (Rahayu & Suryanawa, 2020) menyatakan bahwa skeptisisme professional berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Berdasarkan data di atas maka terdapat hipotesis variabel skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kualitas pemeriksaan pajak (H3).

Menurut (OECD, 2006) dalam melaksanakan pemeriksaan pajak adalah penggunaan teknologi informasi. Teknologi Informasi digunakan untuk menyeleksi Wajib Pajak yang akan diperiksa, memudahkan penyusunan rencana dan program pemeriksaan, mengumpulkan dan mengolah data elektronik Wajib Pajak, dan juga memastikan kebenaran pencocokan data dan penghitungan secara matematis ketika melakukan pemeriksaan pajak. Guna meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak pemerintah telah menerbitkan SE-25/PJ/2013 tentang pedoman e-audit, dimana pemeriksa pajak diberikan kewenangan untuk mengakses dan mengunduh data elektronik Wajib Pajak, serta dapat menggunakan tenaga ahli TI dari dalam maupun luar institusi DJP. Hal ini hampir sama dengan penelitian (Kristiyanto, 2014) menyatakan bahwa kualitas pemeriksaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pemanfaatan TI,  penelitian dari (Darono & Ardianto, 2016) menyatakan bahwa kemajuan pesat teknologi informasi di dunia bisnis membuat otoritas pajak menjadi lebih banyak bergantung pada alat dan teknik komputer. Berdasarkan uraian di atas maka terdapat hipotesis variabel pemanfaatan TI berpengaruh positif terhadap kualitas pemeriksaan pajak (H4). Peneliti melihat bagaimana pengaruh setiap variabel X terhadap variabel Y, untuk mengetahui signifikansi dari model penelitian ini. Berdasarkan fenomena dan penelitian sebelumnya, terbentuklah hipotesis variabel implementasi RBA, kompetensi, skeptisisme profesional, serta pemanfaatan TI secara simultan berpengaruh positif terhadap kualitas pemeriksaan pajak (H5).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun