aku terjaga di kota lelah
matahari rendah, bulan di bawah
di pertempuran waktu
orang-orang menenteng muka
aku yang lelah; menjampi-jampi jam-jam
yang sangat malam. seberapa banyak jantung?
sebanyak asap yang melindap di udara malam
dunia kuganti dengan selimut kumal
aku tidak lagi peduli pada matahari
aku sendiri pada ruang hitam dengan satu lilin
dan gulita ini melecut jiwa yang terperangkap
hidup tidak pernah mudah
aku mau menjadi takut, menjadi diam
yang terbunuh oleh waktu
sungai-sungai yang melaju pada pembuluh
kubakar dengan sekorek api kegilaan
dan hari ini, aku menatap dian nan hitam
aku mau menggenggam obor,
yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menatap
tawa para perawan, para penyamun,
para pemuda,
yang lapar dengan kata-kata
yang menari pada sajak-sajak yang mengalun di telinga mereka
yang jujur dengan ketidakjujurannya
yang indah dengan ketidakberdayaannya
menangkap malam
mencengkeram siang
melukis resah
di pasar-pasar
di kafe-kafe
di jalan-jalan
di mesjid-mesjid
di sarang-sarang penyamun
aku mau menerjemahkan angin
agar kutemukan bungaku yang terhempas
di bawah bulan yang mungkin sedang malu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H