Menjelang Natal, selalu muncul polemik yang mempertanyakan perlu atau tidak mengucapkan selamat kepada para rekan dari agama lain yang merayakan Natal. Selalu ada pro dan kontra dan para tokoh agama moderat biasanya menyarankan agar melihatnya dari aspek sosial dan tidak membenturkannya dari ajaran agama.
Agar kepala kita kembali dingin dan tidak selalu mempertentangkan sesuatu, kita mungkin ingat saat Sri Paus Franciskus berkunjung ke Indonesia pada awal September lalu. Dari serangkaian kunjungannya, beliau juga bertemu dengan para pemuda yang berlatar belakang berbeda yang mengikuti salah satu program dari KWI.
Yang paling menarik perhatian adalah pertemuan Sri Paus dengan Imam Besar Masjid  Istiglal (waktu itu) yaitu Nasarudin Umar (menteri agama sekarang) Gestur keduanya sangat mencengangkan banyak orang karena Sri Paus (yang duduk di kursi roda ) dengan spontan mencium tangan Nasarudin Umar. Dan secara spontan juga Nasarudin Umar menciun dahi dari Sri Paus.
Kejadian itu menarik banyak sekali orang dan memancing perdebatan. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Bagi orang yang tidak suka, mereka mengatakan sikap Imam besar itu adalah toleransi yang kebablasan. Bagi yang netral dan suka, mengatakan bahwa Imam Besar punya sikap yang baik terhadap kolega yang berkeyakinan berbeda.
Yang tak kalah menarik adalah, kejadian itu adalah pada saat dua tokoh besar itu menyempatkan diri melihat ujung dari jembatan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Itu adalah simbolisasi dari bagaimana kebinekaan atau keberagaman di Indonesia berlangsung dengan baik. Bahkan saat di sebuah pidato, Sri Paus mengatakan Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang kompleks. Sejak dahulu memang pluralisme di Indoensia tidak jadi masalah. Bahkan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, kesadaran beraneka itu sangat tampak dengan Pancasila sebagai filosofi bangsa. Nenek moyang kita tumbuh dengan suasana toleransi yang begitu baik.
Namun nyaris tiga dekade ini, keberagaman dan toleransi itu mendapat ujian oleh kelompok radikal ekstremis. Dalam konteks perayaan Natal misalnya, menurut mereka memfasilitasi umat Kristen sama saja dengan menggadaikan akidah, tasyabbuh (penyerupaan), toleransi kebablasan, dsb.
Marilah kita kembali merenungkan apa sih makna agama bagi kita dan lingkungan kita. Alangkah eloknya jika kita kembali pada spirit beragama dan bernegara seperti awal kita menjadi satu bangsa . Saling menghargai dan menghormati agama masing-masing .
Semoga terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H