Reformasi memang menjadi masa yang lebih menyenangkan dibanding era sebelumnya (orde baru). Kita yang sebelumnya seperti terhimpit pada masalah kebebasan berpendapat dan bersuara, seperti mendapat angin segar ketika masuk ke era reformasi.
Era reformasi tidak hanya mengubah atau menggeser kebebasan berpendapat, tetapi juga soal tata kelola pemerintah di daerah. Saat itu kemudian digodok UU tentang otonomi daerah dimana sebagian urusan pusat dilimpahkan kepada daerah. Seperti pendidikan. Beberapa aturan atau kebijakan soal pendidikian misalnya soal zonasi, seragam sekolah dll, dilimpahkan kepada daerah. Karena itu ada beberapa daerah seperti Sumatera Barat menetapkan para siswi untuk berjilbab dan memakai rok panjang, sedangkan daerah lain tidak menetapkan itu.
Begitu juga soal Perda tentang larangan berjualan pada siang hari saat bulan Ramadan. Aturan itu sering disebut Perda syariah yang kini ada atau berlaku di beberapa daerah. Perda syariah ini  terdiri dari beberapa aturan yang bervariasi.  Ada yang mewajibkan menutup warung dari jam 5 pagi hingga jam 5 sore, ada pula yang memperbolehkan warung tetap buka, asal tertutup gorden. Tentu, kita sering saksikan di berita-berita mainstream mengenai penggerebekan sejumlah warung makan yang membuka warungnya di tengah puasa, baik oleh aparat resmi maupun oleh ormas karena perda ini.
Intisari dari Perd aitu sebenarnya adalah toleransi untuk memberikan tanda bahwa ada pihak yang sedang berpuasa dan harus diperhatikan bersama. Hanya saja kemudian beberapa pihak menterjemahkan kepada bentuk lain. Di bulan Ramadhan, orang mengeluarkan sesumbar, yang puasa itu harus dihormati, dihargai, dan sebagainya. Sebagian dari kita menuntut kelompok yang tidak puasa untuk menghormati yang puasa atas dasar toleran. Perda syariah inilah perwujudan dari  tuntutan.  bentuk perda-perda syariah. Tuntutan berlebihan ini sejatinya bukan lagi toleransi, tapi intoleransi.
Toleransi bagi sebagian orang mungkin dilihat secara klasikal sebagai terminology sosial dan mungkin dianggap sebelah mata. Namun dalam konteks kita sebagai warga negara, secara kultural toleransi adalah laku hidup. Di beberapa pedesaan (rural) kita mendapati toleransi begitu kental mandarah daging di mereka. Sedangkan di daerah perkotaan, sebagia dari toleransi sudah terkikis. Sebagian mereka terpengaruh ideologi transnasional dan menjadi intoleran bahkan radikal.
Sehingga tidak mengherankan sikap-sikap intoleransi di beberapa kota besar, tersaji pada bulan  Ramadan sehingga terkesan menodai bulan itu sendiri. Perda-perda syariah ini rupanya masih ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dan menghantui masyarakat dari waktu ke waktu.
Ini adalah tantangan kita semua, untuk memperbaikinya atau paling tidak memberi prespektif yang lebih luas tentang toleransi. Bagaimanapun toleransi harus jadi laku hidup kita dan bukan sekadar basa basi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H