Tak dipungkiri ketika Pilkada Jakarta pada tahun 2016 dan 2017 isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk memuluskan calonnya. Namun, sebenarnya sebelumnya, isu SARA sudah dipakai pada Pilpres 2014. Jokowi ketika itu dituduh adalah seorang PKI yang pada kenyataannya tak terbukti. Kabar yang ditiupkan itu hoax. Sayangnya banyak orang percaya.
Pada perembangannya tak hanya menyangkut hajatan berbau politik. Tapi banyak segi kehidupan kita yang sudah tercemari oleh hoax. Hoax menjadi satu hal yang serius dan harus ditanggulangi dan diminimalisir oleh yang berwenang. Hoax dalam perkembangannya kini, sudah menjadi pemicu fenomena putusnya pertemanan , gesekan antar masyarakat dan tak jarang membuat kawan menjadi lawan.
Kenapa masyarakat mudah percaya pada hoax. Mudah tergoda oleh Hoax ?
Menurut psikolog seperti dikutip dari harian Kompas disebutkan bahwa orang percaya hoax jika informasi yang terkandung dalam hoax tersebut sesuai dengan keyakinan atau sikapnya. Misalnya persepsi seseorang terhadap petugas kecamatan yang suka pungli. Jika dia mendengar atau mendapati petugas itu memungut pungli untuk pelayanannya maka dia mengafirmasi keyakinannya itu . Dia bertambah yakin dengan opininya. Padahal bisa saja seorang petugas kecamatan tak melakukan pungli karena Negara kini punya beberapa perangkat yang memperkecil tingkat korupsi. Tapi karena presepsi itu sudah tertanam baik, maka sukar dihilangkan.
Kecenderungan seseorang untuk mengecek soal soal yang sudah diyakininya  cenderung minim dibandingkan dengan apa yang terjadi pada lawan opininya. Jadi pada soalan itu dia tidak akan mengecek apakah memang seorang pelayan masyarakat korupsi atu tidak. Banyak juga pelayan masyarakat seperti pegawai kecamatan yang memang tidak melakukan pungli.
Penyebab kedua adalah keterbatasan pengetahuan. Kini karena kemajuan teknologi, banyak orang menggantungkan pasokan beritanya pada social media dan gadget. Bisa saja wa grup yang diikutinya menyebarkan hoax. Lalu karena informasi yang dia terima hanya senada maka yang ia percayai adalah berita-berita itu saja.
Berbeda halnya dengan orang yang punya pengetahuan luas. Jika dia menerima informasi yang sekiranya meragukan dia akan mencari tahu lebih lanjut, membandingkan dengan informasi lain baru kemudian mengambil kesimpulan. Dia akan selalu punya cara untuk membandingkan info A dengan info B. Dan sebagainya. Sehingga dia tidak bisa begigu saja percaya pada hoax yang disebarkan mungkin oleh orang terdekatnya.
Karena itu, secara teoritis menurut para psikolog, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berfikir secara kritis. Bagi seorang yang kritis, dia akan membandingkan dengan info lain. Atau sederhananya dia akan mengevaluasi informasi dan tak segan membuka literasi media untuk mengecek informasi itu.
Hal ini kita bisa lihat ketika bergulir isu Ratna Sarumpaet yang sebarkan hoax bahwa dia dipukuli padahal dia menjalani operasi plastic , sehingga wajahnya lebam. Orang yang sudah pro pada RS dan malas mengecek peristiwa itu akan begitu saja percaya. Tapi jika orang yang selalu skeptic, dia akan membandingkan dan mencari informasi lebih lanjut.
Mungkin dalam penelusurannya dia menemukan pernyataan dari dr Tompi yang berpendapat berbeda soal itu. Selaku dokter bedah plastic, dia menyangsikan lebam yang dialami RS itu berasal dari pukulan sekelompok orang. Sehingga saat itu memang ada orang yang percaya pada kejadian itu ada pula yang tidak.
Berangkat dari hal ini maka kita harus selalu mengecek semua informasi yang kita terima. Dengan begitu kita tak akan terjerembab pada hoax yang menyesatkan.