Lagi, penyerangan di tempat ibadah terjadi. Kali ini terjadi di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Ironisnya, Suliyono, sang pelaku penyerangan merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Dan yang menjadi korban adalah Romo Karl Edmund Prier, yang ketika itu sedang memimpin misa. Publik kembali tidak menyangka, apa yang melatarbelakangi pemuda tersebut berani mengeluarkan pedang, dan bernafsu ingin membunuh misionaris asal Jerman itu. Dan yang tidak masuk akal lagi, hal itu dilakukan di tempat ibadah. Sebuah tempat yang dianggap suci, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Lagi-lagi, tindakan radikal ini kembali ditunjukkan oleh generasi muda. Anak muda masih menjadi sasaran empuk provokasi radikalisme. Anak muda yang tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan, pemahaman agama yang kuat, dan pengetahuan tentang keberagaman Indonesia, akan mudah diprovokasi sentimen SARA, seperti yang dilakukan oleh Suliyono tersebut. Bagaimana mungkin, seorang Romo yang memimpin misa, tiba-tiba diserang dengan menggunakan pedang? Tidak masuk logika.
Hal semacam ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Pada Agustus 2016 lalu, seorang remaja juga menyerang dengan pisau dan bom, di Gereja Katolik Santo Yosep. Aksi ini berhasil digagalkan oleh jemaat. Jauh sebelum itu, kelompok teroris juga pernah melakukan aksi bom Natal pada 2000.Â
Serangan bom di sejumlah gereja ini dilakukan oleh Dulmatin dan kelompoknya. Satu tahun kemudian, pada 2001, bom kembali meledak di Gereja Santa Anna dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan. Kedua gereja tersebut terletak di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Masih banyak contoh lagi, yang tidak bisa disebutkan satu per persatu.
Banyaknya generasi muda terpengaruh paham radikalisme ini, tidak bisa dilepaskan dengan maraknya provokasi radikalisme di dunia maya. Jaringan teroris terus memanfaatkan perkembangan teknologi, untuk mempermudah menyebarkan paham yang mereka yakini. Dan cara ini terbukti telah mampu merubah anak muda yang awalnya toleran, bisa berubah menjadi intoleran.Â
Tidak jarang juga mereka sering mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah dianggap telah melakukan sistem pemerintahan yang sesat, yang tidak pernah berpihak kepada umat muslim sebagai mayoritas. Padahal, hal ini mereka lakukan agar sistem khilafah yang mereka impikan bisa terwujud di Indonesia. Dan sistem itu jelas bertentangan dengan Pancasila, dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Di tahun politik seperti sekarang ini, provokasi SARA semacam ini berpotensi akan marak terjadi. Masyarakat diharapkan tidak mudah terpancing, dan menyerahkan sepenuhnya pada aparat penegak hukum. Indonesia adalah negara hukum, dan sangat menghargai yang namanya kebagaman. Dari Aceh hingga Papua, mempunyai adat dan budaya yang berbeda. Bahkan bahasa lokal dan kepercayaannya pun juga berbeda. Sudah bukan eranya mempermasalahkan perbedaan agama, budaya ataupun bahasa. Kita semua sama. Kita semua bersaudara. Mari saling berdampingan dalam keberagaman, mari saling bergandengan tangan demi terciptanya harmoni dalam persatuan dan kesatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H