Tahun 2018 mendatang, Indonesia kembali akan menggelar pilkada serentak di berbagai daerah. Ajang demokrasi ini dimaksudkan untuk mencari para pemimpin daerah, yang mampu menjalankan amanah yang telah telah diberikan masyarakat. Amanah yang dimaksud adalah menjalankan kekuasaan secara adil, tidak sewenang-wenang, dan tetap mengedepankan toleransi dalam keberagaman. Namun dalam perhelatan untuk mendapatkan kursi kekuasaan, tak jarang para partai, calon, hingga para pendukung, menggunakan berbagai cara untuk saling menjatuhkan. Cara-cara itu bisa dengan cara positif, hingga negatif.
Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, merupakan contoh yang paling gamblang. Jika kita tidak ingin pilkada serentak di berbagai daerah pada 2018 mendatang, semestinya tidak ada adu domba, ujaran kebencian, hingga tindakan intoleran yang terjadi sepanjang masa kampanye pilkada. Di ibukota, tindakan negatif itu masih saja kita temukan setiap hari. Di dunia maya, antar pendukung bisa saling mencaci, membenci hingga saling mencari kejelekan. Di dunia nyata, tak jarang aksi persekusi, intimidasi, hingga ancaman dalam berbagai bentuk dilakukan. Yang lebih ironi lagi, setiap adu domba dan ujaran kebencian yang dimunculkan, seringkali disusupi sentimen SARA.
Cara-cara adu domba ini tentu tidak sehat, untuk mendewasakan sistem demokrasi negeri ini. Apalagi sentiman agama ikut-ikutan dimasukkan dalam politik. Agama semestinya menjadi acuan dalam mendekatkan diri dengan Tuhan, bukan acuan untuk mendapatkan dukungan massa. Apapun agamanya para calon pemimpin negeri ini, semuanya mempunyai hak yang sama. Tidak peduli mayoritas atau minoritas, sepanjang bisa menjalankan amanah, bisa bersikap jujur dan adil, bisa berpotensi menduduki kursi kekuasaan. Begitu juga dengan masyarakat yang penuh keberagaman ini, juga harus bisa dewasa menerima kekalahan dan kemenangan. Ingat, pemimpin terpilih harus menjalankan amanah selama 5 tahun kedepan. Jika kita salah dalam memilih pemimpin, akan berdampak pada kebijakan yang diambil selama 5 tahun kedepan.
Saat ini, jelang pilkada serentak, partai pengusung mulai menetapkan bakal calon yang akan diusung. Para tim sukses juga telah mulai menyiapkan berbagai strategi, untuk memenangkan bakal calon. Sebelum jauh kedepan, mari kita semua saling mengingatkan. Agar pesta demokrasi ini tidak dimanfaatkan sebagai ajang untuk memecah belah bangsa. Jika kita sepakat menamakan hal ini sebagai pesta demokrasi, semestinya kita juga sepakat menjadikan ajang lima tahunan ini, sebagai upaya untuk saling merekatkan keberagaman. Karena Indonesia ini beragam, sudah pasti bakal calon yang diusung juga bisa merekatkan keberagaman.
Masyarakat diharapkan juga semakin dewasa. Saatnya membekali diri dengan kecerdasan, dan pemahaman agama yang kuat. Karena tidak jarang sebagian kelompok ikut menggunakan ayat suci, untuk mencari dukungan kelompok mayoritas. Masyarakat harus kritis, terhadap janji-janji yang ditawarkan. Dan masyarakat juga harus semakin jeli. Hal ini dimaksudkan agar kita tetap waspada, terhadap upaya-upaya kelompok tertentu yang mencoba menyusup, dan memanfaatkan momentum pilkada serentak ini.
Mari belajar pada pengalaman yang sudah-sudah. Konflik sengaja dimunculkan, untuk membuat kondisi yang tidak kondusif. Ketika kondisi semakin tidak kondusif, hal ini berpotensi menyebarnya ujaran kebencian dan adu domba. Jika hal ini terjadi, maka kelompok intoleran, kelompok radikal, bahkan kelompok teroris bisa memanfaatkan kondisi ini. Namun jika kita sudah mengantisipasinya jauh-jauh hari, maka kekhawatiran diatas bisa kita minimalisir atau kita cegah. Sekali lagi, jangan mudah diadu domba atas nama apapun. Karena adu domba, berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H